Senin, 26 Oktober 2009

YOGA

Is Yoga Right for You?
by: James Pendergraft



A lot of women perform yoga exercises not just to lose weight or maintain proper body weight but also because they want to be healthy emotionally and mentally. Yoga is also known to contribute to the decrease of a number of problems during menstruation, pregnancy, and menopause. There is research to prove this, but it’s easy to see the physical, mental, and
emotional benefits evident on those women who practice yoga.

Yoga Helps You Cope with a Busy Lifestyle
If you are still undecided about yoga, then there are a number of things about it that will help you decide. One of these is its relevance to today’s world, even if it is one of the most ancient
practices of all times.
Yoga is considered as the perfect solution that helps women cope with their busy days and the resulting mental and physical stress. This is especially true if they are working moms who need to deal with the pressures of both work and home. Sitting behind a desk or even driving a car for several hours every day would already result in a woman’s having shoulder and back problems that will not only affect their lives at the office but also at home when they are dealing with the family and household chores.

Choosing the Best Yoga Style Helps
Deciding if yoga is really right for you would also require you to choose the yoga style that will fit your lifestyle, personality, and needs. If you are a working mom, your yoga needs might differ from those women who are just working at the office for long hours every day. As such, it is very important to find the perfect teacher or trainer who has the right knowledge about yoga who is not only qualified and accredited but also compassionate and sensitive to what you really need.
Yoga Styles:
1. Vini Yoga.
This is a personal practice that could be developed through the incorporation of meditation, proper breathing, and posture as well as prayer and rituals. The amount of all these aspects that could be incorporated into your yoga practice will have to be changed though as a woman and her needs change and develop. Therefore, if you are still a student or a young professional, then the physical aspects of yoga might be more important for you, while older women might focus more on the spiritual, mental, and emotional aspects.
2. Ashtanga Yoga.
Also considered as the power yoga, this style is known to be flowing and athletic. Breathing is very important in this yoga style as a woman flows through a series of postures. This is able to generate a lot of sweat and body heat, thus helping women detoxify their bodies.
3. Ananda Yoga.
This yoga style makes use of temperate poses. This is gently meditative and perfect for those who would like to practice a yoga style that helps them to look inwards so they can
focus on making their emotions better.

Sabtu, 24 Oktober 2009

BP

Bersikap Tegas terhadap Siswa Nakal

Judul: Bersikap Tegas terhadap Siswa Nakal
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian IPS / SOCIAL SCIENCE.
Nama & E-mail (Penulis): Siswanto,SE
Saya Guru di Nganjuk
Topik: Siswa yang Nakal harus di Tindak sesuai apa yang dilakukan
Tanggal: 10 Oktober 2007

Bersikap tegas terhadap siswa Nakal Dalam mengajari anak kita harus tegas dan disiplin. Jangan terlalu keras dan lunak. Kalau mereka dibiarkan begitu saja bertindak seenaknya maka kita sebagai guru akan disepelekan. Untuk itu hal-hal yang harus dilakukan guru adalah :

1.

Jangan pilih kasih terhadap murid kalau salah harus diberi sanksi melihat kesalahan.
2.

Tidak boleh main pukul karena ini akan mendidik anak untuk bertindak keras dan tidak baik untuk perkembangan anak.
3.

Sanksi yang diberikan anak salah harus sesuai dan jangan memberatkan juga mendidik.
4.

Bila nakal atau ramai di kelas harus cepat diberitahukan atau ditenangkan jangan dibiarkan.
5.

Anak yang tidak mengerjakan pr jangan dibiarkan saja harus diberikan sanksi tapi jangan memberatkan.
6.

Guru harus evaluasi diri dan harus jujur dengan siswa.
7.

Jangan memberikan pelajaran yang membuat anak bisa terpengaruh dengan jelek. Harus disesuaikan dengan apa yang dihadapi dan sesuai dengan umurnya.

Semua yang ada di atas itu adalah suatu hal yang perlu diperhatikan guru. Sebenarnya banyak sekali harus diperhatikan. Tetapi semua itu perlu mengerti dan memahami bahwa guru itu harus mendidik siswanya. Jangan dibiarkan siswa itu sendirian. Harus ada perhatian walau itu tidak banyak. Setiap mengajar anak harus diperhatikan apa yang akan disampaikan. Jangan menyampaikan hal-hal yang jelek. Nanti bisa membawa pengaruh jelek terhadap perkembangan siswanya. Beri nasehat yang memberikan motivasi belajarnya. Karena motivasi itu penting untuk menumbuh kembangkan hidupnya dalam mencapai cita-cita. Dalam hal memberikan sanksi harus tegas dan tepat. Jangan sembarangan memberikan sanksi pada anak yang sebenarnya tidak perlu.

Pendidikan itu tidak musti diberikan sanksi bila salah. Kalau memang siswa keterlaluan kekerasan itu juga perlu tetapi jangan sampai menyakiti sampai masuk rumah sakit. Janganlah guru itu menjadi momok dan menakutkan siswa. Harus seperti malaikat selalu menolong mereka dalam memahami pelajaran yang diajarkan. Terutama pelajaran yang sulit. Tak ada yang enak dalam hidup ini kecuali menjadi apa yang diinginkan sejak kecil. Maka keinginan hidup anak jangan dimatikan harus dihidupkan dengan memberikan motivasi diri anak. Maka sebagai guru yang baik itu adalah selalu memberikan :

1. Contoh atau tauladan sebagai anak yang baik bagaimana.
2. Jangan selalu mencerca atau mengolok harus memberikan motivasi yang baik.
3. Pendidikan yang positif dalam hidup anak.
4. Pelajaran yang sesuai diajarkan guru jangan menyembunyikan.
5. Nasehat tentang segala hal dimasukkan dalam pelajaran kalau itu perlu.

Jadi guru memang cukup memberikan gairah hidup karena bisa bercanda dengan siswa dengan banyolan dan tidak mengejek. Semua itu memang perlu kita sadari bahwa anak itu perlu kita. Maka kita lindungi dia dan perhatikan dia. Jangan dianak tirikan dan pilih kasih dalam memberikan pelajaran. harus semua sama kalau kita guru mengajar. Hidup guru Indonesia. Di tanganmu dunia ini bisa maju dan berkembang.

IPTEK

Komputer dan Pendidikan


Tanggung jawab sekolah yang besar dalam memasuki era globalisasi adalah mempersiapkan siswa untuk mengahadapi tantangan-tantangan dalam masyarakat sangat cepat perubahannya. Sala satu dari tantangan yang dihadapi oleh para siswa adalah menjadi pekerja yang bermutu. Kemampuan berbicara dalam bahasa asing dan kemahiran komputer merupakan dua kriteria utama yang pada umumnya diajukan sebagai syarat untuk memasuki lapangan kerja di Indonesia ( dan di seluruh dunia ). Mengingat sekitar 20-30 % dari lulusan SMU di seluruh wilayah Nusantara ini yang melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi, dan dengan adanya komputer yang telah merambah di segala bidang kehidupan manusia, maka dibutuhkan suatu tanggung jawab yang besar terhadap system pendidikan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa dan kemahiran komputer bagi para siswa kita.
Biaya yang dibutuhkan untuk mempersiapkan belajar komputer di sekolah akan mahal.
• Bagaimana pemerintah akan mampu membiayai pembangunan ini ?
• Memberikan apa yang dibutuhkan, bagaimana pemerintah dapat mengelak untuk tidak membiayai pembangunan ini ?
• Apakah pemerintah harus membiayai secara penuh untuk pembangunan ini ?
Dalam menghadapi masalah ini beberapa sekolah swasta dan negeri yang telah mengambil langkah maju. Pada beberapa sekolah mereka telah membangun hubungan yang sangat erat dengan masyarakat setempat dan melakukan sebuah lompatan yaitu dengan mengundang para masyarakat penyumbang untuk membangun fasilitas dasar komputer. Sekolah ini telah membuktikan bagaimana mengatasi salah satu masalah terbesar dalam pengenalan teknologi ke sekolah-sekolah di Indonesia secara berkesinambungan. Keefektifan system yang berkesinambungan ini sudah tumbuh lama ketika masyarakat setempat memahami bagaimana pentingnya teknologi bagi anak-anak mereka. Dalam hal ini kami telah mempelajari bahwa, sekolah-sekolah yang bekerjasama dengan masyarakat setempat untuk membangun fasilitas cenderung berkembang secara teratur dan juga meningkatkan dukungan dari masyarakat setempat.
Kesinambungan adalah faktor utama. Pada program di masa lalu untuk menyediakan teknologi ke sekolah kebanyakan mencapai sedikit sukses dalam jangka waktu yang cukup lama dan jarang sekali menunjukkan perkembangan. Persyaratan mengenai laboratorium bahasa adalah contoh yang umum. Biasanya ada enam masalah utama, yaitu ;
• Anggaran untuk perawatan fasilitas awal tidak tersedia.
• Pelatihan biasanya terlalu spesifik dan tidak berhubungan dengan kebutuhan di lapangan atau perubahan sikap.
• Tidak tersedianya karyawan untuk perawatan rutin dan pengembangannya.
• Tidak tersedianya teknisi ahli atau terlalu mahal
• Materi yang sesuai untuk mengajar tidak tersedia
• Lemahnya kondisi kerja guru di lapangan mendorong bahwa mereka tidak dapat membagi waktu untuk mengembangkan materi mengajar secara kreatif.
Masalah-masalah ini menjadi lebih luas dalam hal komputer karena tingkat keahlian yang diminta untuk mengembangkan dan merawat fasilitas tersebut sangat tinggi serta kemahiran komputer mempunyai nilai jual yang sangat tinggi pula. Saran untuk memberi pelatihan karyawan di sekolah tidak berlaku dalam konteks yang ada saat ini. Karena siapa saja yang mengembangkan diri untuk mencapai posisi tingkat ahli, mereka di sektor komersil dapat menghasilkan sepuluh kali lipat dari apa yang mereka dapat di sekolah, jadi mungkin saja mereka akan menghabiskan waktu dengan pekerjaan dari luar kantor (hal ini juga menjadi masalah pada karyawan yang memiliki kemampuan di bidang jasa umum).
Bagaimana caranya di beberapa sekolah berhasil membeli komputer, yang mahal dan memerlukan biaya perawatan yang cukup tinggi?
Hanya sedikit sekolah yang berlokasi dilingkungan yang makmur, di mana kelompok orang tua-guru dapat mencapai sejumlah besar uang secara mudah. Walaupun begitu beberapa sekolah yang lain berada di tengah lingkungan di mana tingkat social-ekonominya rendah, tetapi mereka juga berhasil mencapai tingkat yang sama dalam hal pencapaian di bidang pengembangan komputer dan fasilitas lain di lingkungan sekolah mereka. Dua contohnya yaitu SMUN 2 Wonosari di Daerah Istimewa Yogyakarta dan SMUN 23 di Bandung, Jawa Barat. Pendekatan awal yang dilakukan mereka terhadap pengembangan sekolah adalah serupa tapi tak sama. Keduanya menyusun kerberhasilan mereka dengan cara kooperatif dan bekerjasama dengan masyarakat setempat. Walaupun demikian SMUN 2 di Wonosari bergantung kepada penentuan dan pengembangan dari para karyawan itu sendiri. Sedangkan SMUN 23 di Bandung berinisiatif menentukan programnya melalui peranan enterprenur dan mendapatkan sumbangan dari masyarakat dan industri.
Tanpa mengindahkan cara pendekatan yang di tetapkan, sekolah anda dapat memutuskan untuk mengambil beberapa butir penting, yaitu sekolah harus benar-benar obyektif, berkomunikasi pro-aktif terhadap tujuan tersebut, menguntungkan masyarakat setempat dan harus terbuka serta 100 % transparan. Hal ini penting sekali bahwa pengembangan harus direncanakan dengan seksama sehingga meningkatkan kwalitas lulusan pendidikan bagi siswa dapat secara mudah dibicarakan dengan masyarakat. Akan mengherankan sekali jika melihat berapa jumlah dukungan ekstra yang akan dicapai dari masyarakat apabila dibangun suatu "kepercayaan" dan mereka "memahami" akan keuntungannya bagi anak-anak mereka.
Peralatan - perangkat keras apa saja yang diperlukan?
Peraturan yang ada sekarang ini, membatasi jumlah maksimum per kelas untuk 48 siswa. Sementara itu untuk kebutuhan ideal tersebut diperlukan 48 komputer, hal ini menjadi target yang tidak realistis bagi semua sekolah di Indonesia saat ini. Beberapa sekolah telah menunjukkan kepada kami bahwa mereka memulai keberhasilan program ekstra-kurikuler sekolahnya hanya dengan jumlah komputer yang terbatas, melalui penjadwalan ketat. Penulis percaya bahwa target realistis terdekat dalam pertengahan waktu adalah menjadi 24 komputer. Pada kenyataannya hampir seluruh kelas berisi di bawah 48 siswa jadi angka perbandingan bagi siswa terhadap komputer tidak lebih dari 2 :1. Berbagi komputer selama masa awal tahap pelatihan komputer dapat memberikan keuntungan untuk membantu membangun rasa percaya diri dan juga memberikan kesempatan kepada siswa yang lebih mahir, sehingga mereka dapat membantu siswa yang lemah (meningkatkan efisiensi guru). Hal ini bukan berarti sekarang anda harus membeli 24 komputer. Anda bisa memulai program dasar ekstra-kurikuler hanya dengan 2 komputer. Yang terpenting adalah anda memiliki rencana, membuat pengaturan untuk melatih dan memepersiapkan karyawan anda, serta mulai untuk membicarakan masalah komputer tersebut. Penulis pernah mengajar kelas Internet hanya menggunakan satu komputer saja.

TIPS

How to Meet and Connect

We at Charisma Arts feel frustrated. People believe that in order to be good at meeting women you must be sleazy. But this is just not the case in our experience. The men we have met who are the most successful with women are social guys who are good at projecting a sense of self and who have learned the art of being non-needy.
But most people don’t get this. They believe to attract women you must some how be deceptive. We think this is because they are just are not skilled at connecting with others. They believe that to attract someone you must prove your worth to them by either entertaining or demonstrating value. That is a very unsophisticated approach to women. We believe that the exact opposite is more effective. Actively demonstrating that you are being real and have no interest in proving yourself is confidence and that, my friends, is sexy. But most people have yet to read this ebook so are losing out. Lucky you. Wayne wrote his ideas down in this ebook so you can be different.
How to Meet and Connect with Women changed the way we think about meeting women. It departs from the idea of meeting women using gimmicks, monologues or power plays. We want our interactions with women to be 2-way. We want her feeling as if she is playing along too. After all, attraction is based on commitment, and people only really commit to something if they feel as if they have had a role in creating it.
Personally, we hate boring writing. Wayne makes us laugh with his anecdotes as he teaches many of the things we feel passionate about at Charisma Arts. Much of this book is written in the perspective of a man wandering his way through the world and interacting with women - in all types of places. You will read transcriptions of successful interactions, line by line, with interludes to explain the theory behind the words.
The theories in How to Meet and Connect with Women, are many of the philosophy that Wayne has worked years to learn and refine.
• The Interesting/Interested model of interaction.
• Rapport and Vibing: You know, that thing that is 95% of your conversation.
• EXACTLY how to approach. Body language. How to ask questions.
• The difference between sexual obsession and sexual interest.
• Being the Alpha Buddha and giving away your approval.
• Simple things you need to know to keep a conversation moving.
• Statements of Intent: When to put your hand on the table.
• Making presumptions: Have high expectations for everyone you meet.
• Finding comfort and presence in silence.
• Moving towards intimacy and closing.
We hope you are inspired by Wayne’s take on interpersonal interactions. We know that you see women as a group of people to enjoy and we do too.
You can download How to Meet and Connect with Women right now without being charged. We will give you a week to read it and internalize it. Just use your valid Visa, Mastercard or American Express credit card or debit card to access it - you won’t be charged for a full seven days.
There is little risk to check it out.
If you don’t like Wayne’s eBook and want to hit him with old tomatoes reply to the confirmation email you received and write the word “Cancel” in it within seven days of your purchase and your card won’t be charged. Otherwise, continue to enjoy it, and your card will be automatically charged $39.97 in exactly seven days and you will be eligible for special offers and ebook upgrades.
How to Meet and Connect with Women is a 148-page PDF file that will open with any recent version of Acrobat Reader. It works on Windows, Macs, Linux, and you CAN print it. Immediately after you complete the order, you will be redirected to our secure download page. You will also always be able to return to it and re-download your book if your computer goes on the fritz. Wayne also occasionally makes updates to the eBook, which will automatically be made available to you for up to one year.
We hope this book will help you learn the Charisma Arts philosophy and make you even better at meeting and connecting with women. Click the button below when you are ready to download the book.

TRICKS

How To Use Two Tricks On A Lost Love To Get Her Back
by: Jim DeSantis

The Internet dating biz offers thousands of tips and techniques promising success with women but almost none teach you what works on today's woman. Most of these hucksters promote outdated old-fogey stuff that just no longer works. Here is how to date your dream girl of the moment.

The typical sales headline reads: "How To Date Hot Women!"

They promise to teach you how to score with the female that turns every head when she walks by. You know the type, she makes guys drool. These marketers never mention that the girl-next-door type, chances are, would be a much hotter girl for a relationship.

The real question for you is: "Who is the girl you are dreaming about at the moment?"

If it's the super-model type, you can have her. If it's the average girl, you can have her too. It doesn't matter how she looks to other guys, it only matters if she "trips your trigger." The girl who does that for you, is the one you can have if you go about it using the right techniques.

This even applies to the girl who dumped you for someone else because, obviously, your technique was not good enough to keep her hooked. With the right techniques, any woman will be begging you to come back to her. To her, you will be a brand new man!

Almost every guy that you know wants to date a hot girl but, and you know this is true, 99% of them never do. They end up dating someone who will date just about anyone or someone who has a crush on them. Usually that someone is not in your dream girl category. Am I right?

Why do you think that's true?

The answer is, beautiful girls intimidate most guys. The average guy thinks too lowly of himself so he never steps up to the plate. He just sits in the dugout and watches the star players do all the scoring with these beauties.

Tell me the truth. When you see a woman like this, you have a fleeting fantasy about what it would be like to be with her, to hold her, to kiss her, or just to hold hands with her. Your breath shortens a bit and your heart pounds a bit and it ends there. When it comes time to step up to the plate and swing the bat, you tell yourself you will surely be a loser.

Is this familiar? Sure it is.

Now here is a little secret that will give you an edge over 99% of other men:

99% of men are just like you are at this moment. They make excuses for their lack of courage when it comes time to communicate with a very attractive woman. Do you see how this can give you an edge?

Would you like to be among the 1% of men who aren't afraid of being rejected and who know just how to get a date with their dream girl of the moment? These are the guys that know, even if they don't score with every dream girl, the odds are still in their favor. They know that, if they go to bat enough times, they are going to hit home runs. And, they do!

A good salesperson will not quit until they get the seventh "No" when they ask the closing question. That's why they are successful.

Get the point?

In order to have a rich dating life, you have to step up to the plate and swing the bat. You have to keep asking the closing questions.

Did you know that "Babe" Ruth held the record for strike-outs at the same time as holding the record for most home runs in his career? The "Babe" swung at even the bad pitches. He could golf the baseball out of the park!

Here is the #1 reason that most men do not approach women: It is because of a mental block. You are likely suffering from the same problem if you find yourself paralyzed and unable to approach your dream girl of the moment. Let's solve your problem right now.

The first thing you need to do is to learn a new way of thinking about yourself and all women.

This involves convincing yourself that you are really a worthy guy, someone any woman would be lucky to know on an intimate basis. This is an exercise in raising your self esteem which, may I say, is pretty low when it comes to women. Try these self-talk points or make up your own:

• "I can have a relationship with almost any woman I choose"
• "Because a woman is beautiful doesn't mean I can't have her."
• "I love all women and they are attracted to me, too."
• "No woman is too classy for me."
• "Most guys are afraid to try to date beautiful women. I'm not afraid."

Say these talking points to yourself, out loud if possible, many times a day.

Believe it or not, adopting a positive attitude about yourself and how you view women will make you more attractive and interesting to women. Women read men on an intuitive level, "vibes" if you will, and your high self esteem will show through without you uttering a word.

You may find this second trick takes some hit and miss practice.

You need to discover there is a proven way to successfully communicate. The major problem you have had with approaching attractive women is you simply did not know how to flirt with them in the right ways.

You have watched other guys employ old lame techniques and get rejected time and again. And, without one of the successful 1% to teach you the right way, you will remain among the failing 99%.

It's a proven fact, creating a connection comes down to one very powerful technique: Knowing how to flirt.

Each woman will respond to a certain flirting technique. If you know how to flirt with each type of woman, you will reach them at a deep level that most guys fail to understand.

You see, 99% of guys fail because they are not focused on the girl and what she needs.

Let's smash some outdated ideas here.

At first, flirting is never about asking her personal questions. And, it is never about establishing compatibility. In fact, flirting can only be quickly successful by avoiding statements that guys often use to find a common bond.

No, actually, the flirting technique is about creating intimacy. It’s that delicate balance between teasing a woman, while making her want your focused attention. And, whatever you do, do not compliment her at this stage of the game. That's lame and will not work in 99% of the cases. She will see right through it or might even have low self esteem herself and simply will not believe you are sincere. You will be surprised at how many really beautiful women have low self esteem!

Instead, boldly approach her and employ methods that will create that emotional connection that you must have for all successful flirting conversations! You’ll find that low-key teasing and light conversation are the best ways to attract and date your dream girl of the moment. In other words: Don't be so serious!

TIPS WRITING

Tips for Writing Academic Paper
by: Terence Reed

Academic papers are important for students as achieving good grades based on the marking of these papers by instructors contributes to their final grades. There are some guidelines in order to write organized academic papers which could be followed easily step wise. In this way students can easily understand, draft, research, organize and generate well-versed academic papers in no time.

The following tips can help you in writing effectively:

• Analyze Instructions:

Understanding the objective of your paper is most important. Make sure that the instructions provided to you by your professor are clear to you. Once the instructions are cleared to you, the next step will be much easier. If you have vague ideas regarding the topic and theme of the paper then you will be lost in your approach.

• Formulate thesis:

All sorts of academic papers such as term paper, article writing, dissertations and research papers require thesis. No matter what sort of paper you are writing, you need to formulate a good thesis that provides an overview of what your paper is all about. It’s better to think what might be said against the thesis in order to provide a justification for your thesis in the paper.

• Research Extensively:

It’s better to start writing a paper with a complete knowledgeable background of the topic for your academic paper. For better reasoning, justification and providing proof to your thesis it is important to research extensively and add citations wherever you have used references. Referencing will add stronger impact in your paper and credibility for your material.

• Organize smartly:

It is important to divide your paper in paragraphs with particular aim. Such as the first paragraph must be the introduction and thesis. Second, third and fourth paragraph must contain the body of the paper in which you can describe the topic, provide proof and arguments. The last paragraph must be the conclusion that connects the whole paper.

• Proofreading:

You need to revise your paper once you are done with research, writing and concluding the end remarks. Make your paper grammar and spelling errors free. This is important because your paper and hard work will all be in vain if your professor will find mistakes in your paper. Proofread it twice or more times if needed to make it error-free.

By following these easy guidelines, you can easily write a quality academic paper which will benefit you in the form of good grades. Happy writing!

JOB MARKET

How to Research Any Job Market
by: Joy Akinlolu



A lot of job seekers today just jump on the queue, without prior knowledge about the company or market they are applying to. What happens after? They end up more disappointed and frustrated.

Only those who understand how to stand out can get the job. More so, remember no one will recruit a liability not even to talk of a novice. Never worry you are about to be exploded!

So let roll!

In carrying out your job search, you need to have several kinds of information at your disposal. You will need to research industry trends, details about the particular company you are or will be applying to, even details about the human resources manager. What I am saying is that, assuming you are applying to bank now, which common today, you first like to know about what is happening in industry which is BANKING, ok! Then later you will move to the particular bank you are applying to and the type of HR manager they have.

Cleared? Fine, let's ride on.

While carrying out these research put in mind the following questions so that it can serve as a guide during your search. They are;

What is it about this industry do I need to know so that I can ask and answer questions intelligently?

where can I get information about them?

What type of information am I looking for?

What do I need to know about the HR manager that will help me to write a better application letter and also be able to answer questions more confidently during the interview?

Remember carrying out a research is not like eating your best food, and that is why many job seekers shy away from it. If you consider the rate at which people are employed through a newspaper advert. You will found out that only a few find their job via these means.

Once you can research the market properly, then you will have a better idea of what you going in for. More importantly you will be able to tailor your CV and application letter more effectively due to the level of information you have at your disposal.

Now, How to carry out the research!

As you start off, researching the company trends, what you will be looking for are:

The main growth area.

The main players in the market.

The main challenges and problems facing the industry.

Now you know what you will look for, and then make a visit to the nearest university library or any other well equipped library around you search for their reference guide on your chosen industry trends. If this do not work then you go on-line and make your search on the common search engines, this does not take much time to find out.

Now next step is for you to narrow down your search to some specific companies which you are aiming for in your job search. While doing this, keep in mind these key facts about each of these organizations. These can be categorizing into six, they are;

Strong and weak point.

Major challenges.

Organizational structure.

Organizational culture.

Company size like: number of staff, profit, market share, profit, etc.

Main competitors.

To make the search easier for you, get hold of the companies report, or as I said earlier go online and get your hand on this information.

If this do not work find a means of speaking to their employees about what it is like working for that particular company, ask them about their competitors, strength and weakness, every other thing you deemed fit.

Now we are done with the company, let's move further to your specific job.

In doing this effectively you will need to know the following things;

What will be your task and responsibilities

What is the required qualification?

The typical salary job

What are their human resources like?

Laying your hand on a thing like this will make you better prepared with your CV and most importantly the interview.

WARNING

If you do not do your research so well, the company may say or do something that will as been ignorant of their business, which may ruin your opportunity of been taken. But if you do it will you will increase your chances by 100%.

For you to do it right it is better you have a file for all this research so that you can keep a track of those information it can be of help during your interview.

ACTION PLAN QUESTIONS

1. Why do you need to research your Job market?

2. How do I carry out the search?

3. What do I need to know about my chosen company?

4. What questions do I need answered as regard the Job I am looking for?

Jumat, 23 Oktober 2009

LINGKUNGAN

Pendidikan Lingkungan Hidup: Bukan untuk pembebanan baru bagi siswa
By Ade Fadli

Manusia terdiri atas pikiran dan rasa dimana keduanya harus digunakan. Rasa menjadi penting digerakkan terlebih dahulu, karena seringkali dilupakan. Bagaimana memulai pendidikan lingkungan hidup? Pendidikan Lingkungan Hidup harus dimulai dari HATI. Tanpa sikap mental yang tepat, semua pengetahuan dan keterampilan yang diberikan hanya akan menjadi sampah semata.
Untuk membangkitkan kesadaran manusia terhadap lingkungan hidup di sekitarnya, proses yang paling penting dan harus dilakukan adalah dengan menyentuh hati. Jika proses penyadaran telah terjadi dan perubahan sikap dan pola pikir terhadap lingkungan telah terjadi, maka dapat dilakukan peningkatan pengetahuan dan pemahaman mengenai lingkungan hidup, serta peningkatan keterampilan dalam mengelola lingkungan hidup
Pendidikan Lingkungan Hidup: dalam buku catatan
Pada tahun 1986, pendidikan lingkungan hidup dan kependudukan dimasukkan ke dalam pendidikan formal dengan dibentuknya mata pelajaran ?Pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup (PKLH)?. Depdikbud merasa perlu untuk mulai mengintegrasikan PKLH ke dalam semua mata pelajaran
Pada jenjang pendidikan dasar dan menegah (menengah umum dan kejuruan), penyampaian mata ajar tentang masalah kependudukan dan lingkungan hidup secara integratif dituangkan dalam sistem kurikulum tahun 1984 dengan memasukkan masalah-masalah kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam hampir semua mata pelajaran. Sejak tahun 1989/1990 hingga saat ini berbagai pelatihan tentang lingkungan hidup telah diperkenalkan oleh Departemen Pendidikan Nasional bagi guru-guru SD, SMP dan SMA termasuk Sekolah Kejuruan.
Di tahun 1996 terbentuk Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL) antara LSM-LSM yang berminat dan menaruh perhatian terhadap pendidikan lingkungan. Hingga tahun 2004 tercatat 192 anggota JPL yang bergerak dalam pengembangan dan pelaksanaan pendidikan lingkungan.
Selain itu, terbit Memorandum Bersama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 0142/U/1996 dan No Kep: 89/MENLH/5/1996 tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup, tanggal 21 Mei 1996. Sejalan dengan itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Depdikbud juga terus mendorong pengembangan dan pemantapan pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah antara lain melalui penataran guru, penggalakkan bulan bakti lingkungan, penyiapan Buku Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) untuk Guru SD, SLTP, SMU dan SMK, program sekolah asri, dan lain-lain. Sementara itu, LSM maupun perguruan tinggi dalam mengembangkan pendidikan lingkungan hidup melalui kegiatan seminar, sararasehan, lokakarya, penataran guru, pengembangan sarana pendidikan seperti penyusunan modul-modul integrasi, buku-buku bacaan dan lain-lain.
Pada tanggal 5 Juli 2005, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan SK bersama nomor: Kep No 07/MenLH/06/2005 No 05/VI/KB/2005 untuk pembinaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup. Di dalam keputusan bersama ini, sangat ditekankan bahwa pendidikan lingkungan hidup dilakukan secara integrasi dengan mata ajaran yang telah ada.
Pendidikan Lingkungan Hidup: bahan dasar yang dilupakan
Salah satu puncak perkembangan pendidikan lingkungan adalah dirumuskannya tujuan pendidikan lingkungan hidup menurut UNCED adalah sebagai berikut:
Pendidikan lingkungan Hidup (environmental education – EE) adalah suatu proses untuk membangun populasi manusia di dunia yang sadar dan peduli terhadap lingkungan total (keseluruhan) dan segala masalah yang berkaitan dengannya, dan masyarakat yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, sikap dan tingkah laku, motivasi serta komitmen untuk bekerja sama , baik secara individu maupun secara kolektif , untuk dapat memecahkan berbagai masalah lingkungan saat ini, dan mencegah timbulnya masalah baru [UN - Tbilisi, Georgia - USSR (1977) dalam Unesco, (1978)]
PLH memasukkan aspek afektif yaitu tingkah laku, nilai dan komitmen yang diperlukan untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan (sustainable). Pencapaian tujuan afektif ini biasanya sukar dilakukan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran guru perlu memasukkan metode-metode yang memungkinkan berlangsungnya klarifikasi dan internalisasi nilai-nilai. Dalam PLH perlu dimunculkan atau dijelaskan bahwa dalam kehidupan nyata memang selalu terdapat perbedaan nilai-nilai yang dianut oleh individu. Perbedaan nilai tersebut dapat mempersulit untuk derive the fact, serta dapat menimbulkan kontroversi/pertentangan pendapat. Oleh karena itu, PLH perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun ketrampilan yang dapat meningkatkan ?kemampuan memecahkan masalah?.
Beberapa ketrampilan yang diperlukan untuk memecahkan masalah adalah sebagai berikut ini.
• Berkomunikasi: mendengarkan, berbicara di depan umum, menulis secara persuasive, desain grafis;
• Investigasi (investigation): merancang survey, studi pustaka, melakukan wawancara, menganalisa data;
• Ketrampilan bekerja dalam kelompok (group process): kepemimpinan, pengambilan keputusan dan kerjasama.
Pendidikan lingkungan hidup haruslah:
1. Mempertimbangkan lingkungan sebagai suatu totalitas — alami dan buatan, bersifat teknologi dan sosial (ekonomi, politik, kultural, historis, moral, estetika);
2. Merupakan suatu proses yang berjalan secara terus menerus dan sepanjang hidup, dimulai pada jaman pra sekolah, dan berlanjut ke tahap pendidikan formal maupun non formal;
3. Mempunyai pendekatan yang sifatnya interdisipliner, dengan menarik/mengambil isi atau ciri spesifik dari masing-masing disiplin ilmu sehingga memungkinkan suatu pendekatan yang holistik dan perspektif yang seimbang.
4. Meneliti (examine) issue lingkungan yang utama dari sudut pandang lokal, nasional, regional dan internasional, sehingga siswa dapat menerima insight mengenai kondisi lingkungan di wilayah geografis yang lain;
5. Memberi tekanan pada situasi lingkungan saat ini dan situasi lingkungan yang potensial, dengan memasukkan pertimbangan perspektif historisnya;
6. Mempromosikan nilai dan pentingnya kerjasama lokal, nasional dan internasional untuk mencegah dan memecahkan masalah-masalah lingkungan;
7. Secara eksplisit mempertimbangkan/memperhitungkan aspek lingkungan dalam rencana pembangunan dan pertumbuhan;
8. Memampukan peserta didik untuk mempunyai peran dalam merencanakan pengalaman belajar mereka, dan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan dan menerima konsekuensi dari keputusan tersebut;
9. Menghubungkan (relate) kepekaan kepada lingkungan, pengetahuan, ketrampilan untuk memecahkan masalah dan klarifikasi nilai pada setiap tahap umur, tetapi bagi umur muda (tahun-tahun pertama) diberikan tekanan yang khusus terhadap kepekaan lingkungan terhadap lingkungan tempat mereka hidup;
10. Membantu peserta didik untuk menemukan (discover), gejala-gejala dan penyebab dari masalah lingkungan;
11. Memberi tekanan mengenai kompleksitas masalah lingkungan, sehingga diperlukan kemampuan untuk berfikir secara kritis dengan ketrampilan untuk memecahkan masalah.
12. Memanfaatkan beraneka ragam situasi pembelajaran (learning environment) dan berbagai pendekatan dalam pembelajaran mengenai dan dari lingkungan dengan tekanan yang kuat pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya praktis dan memberikan pengalaman secara langsung (first – hand experience).
Karena langsung mengkaji masalah yang nyata, PLH dapat mempermudah pencapaian ketrampilan tingkat tinggi (higher order skill) seperti :
1. berfikir kritis
2. berfikir kreatif
3. berfikir secara integratif
4. memecahkan masalah.
Persoalan lingkungan hidup merupakan persoalan yang bersifat sistemik, kompleks, serta memiliki cakupan yang luas. Oleh sebab itu, materi atau isu yang diangkat dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan lingkungan hidup juga sangat beragam. Sesuai dengan kesepakatan nasional tentang Pembangunan Berkelanjutan yang ditetapkan dalam Indonesian Summit on Sustainable Development (ISSD) di Yogyakarta pada tanggal 21 Januari 2004, telah ditetapkan 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Ketiga pilar tersebut merupakan satu kesatuan yang bersifat saling ketergantungan dan saling memperkuat. Adapun inti dari masing-masing pilar adalah :
1. Pilar Ekonomi: menekankan pada perubahan sistem ekonomi agar semakin ramah terhadap lingkungan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Pola konsumsi dan produksi, Teknologi bersih, Pendanaan/pembiayaan, Kemitraan usaha, Pertanian, Kehutanan, Perikanan, Pertambangan, Industri, dan Perdagangan
2. Pilar Sosial: menekankan pada upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Kemiskinan, Kesehatan, Pendidikan, Kearifan/budaya lokal, Masyarakat pedesaan, Masyarakat perkotaan, Masyarakat terasing/terpencil, Kepemerintahan/kelembagaan yang baik, dan Hukum dan pengawasan
3. Pilar Lingkungan: menekankan pada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Pengelolaan sumberdaya air, Pengelolaan sumberdaya lahan, Pengelolaan sumberdaya udara, Pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir, Energi dan sumberdaya mineral, Konservasi satwa/tumbuhan langka, Keanekaragaman hayati, dan Penataan ruang
Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu fungsi dialektis yang ajeg (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu, bisa menjebak kita ke dalam kerancuan berfikir. Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Jadi hubungan dialek tersebut tidak berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni: Pengajar, Pelajar atau anak didik, dan Realitas dunia. Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.
Dengan kata lain, langkah awal yang paling menentukan dalam upaya pendidikan pembebasannya Freire yakni suatu proses yang terus menerus, suatu ?commencement?, yang selalu ?mulai dan mulai lagi?, maka proses penyadaran akan selalu ada dan merupakan proses yang sebati (in erent) dalam keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Maka, proses penyadaran merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang memang tidak boleh berhenti, mandeg, ia senantiasa harus terus berproses, berkembang dan meluas, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingkat ?kesadaran naif? sampai ke tingkat ?kesadaran kritis?, sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni ?kesadarannya kesadaran? (the consice of the consciousness).
Joseph Cornell, seorang pendidik alam (nature educator) yang terkenal dengan permainan di alam yang dikembangkannya sangat memahami psikologi ini. Sekitar tahun 1979 ia mengembangkan konsep belajar beralur (flow learning).
Berbagai kegiatan atau permainan disusun sedemikian rupa untuk menyingkronkan proses belajar di dalam pikiran, rasa, dan gerak. Ia merancang sedemikian rupa agar kondisi emosi anak dalam keadaan sebaik-baiknya pada saat menerima hal-hal yang penting dalam belajar.
Aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah:
• Aspek afektif: perasaan nyaman, senang, bersemangat, kagum, puas, dan bangga
• Aspek kognitif: proses pemahanan, dan menjaga keseimbangan aspek-aspek yang lain
• Aspek sosial: perasaan diterima dalam kelompok
• Aspek sensorik dan monotorik: bergerak dan merasakan melalui indera, melibatkan peserta sebanyak mungkin
• Aspek lingkungan: suasanan ruang atau lingkungan
Pendidikan Lingkungan Hidup: terjerumus di jurang pembebanan baru
Pendidikan saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi.
Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing.
Pada dua tahun terakhir, PLH di Kalimantan Timur sangatlah berjalan perlahan ditengah hiruk pikuk penghabisan kekayaan alam Kaltim. Inisiatif-inisiatif baru bermunculan. Kota Balikpapan memulai, dengan dibantu oleh Program Kerjasama Internasional, lahirlah kurikulum pendidikan kebersihan dan lingkungan yang menjadi salah satu muatan lokal. Diikuti kemudian oleh Kabupaten Nunukan. Sementara saat ini sedang dalam proses adalah Kota Samarinda, Kabupaten Malinau dan Kota Tarakan. Kesemua wilayah ini terdorong ke arah ?jurang? hadirnya muatan lokal beraroma pendidikan lingkungan hidup.
Tak ada yang salah dengan muatan lokal. Namun sangat disayangkan dalam proses-proses yang dilakukan sangat meninggalkan prinsip-prinsip dari Pendidikan Lingkungan Hidup itu sendiri. Nuansa hasil yang berwujud (buku, modul, kurikulum), sangat terasa dalam setiap aktivitas pembuatannya. Perangkat-perangkat pendukung masih sangat jauh mengikutinya.
Pendidikan Lingkungan Hidup hari ini, bisa jadi mengulang pada kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika PKLH mulai diluncurkan. Statis, monolitik, membunuh kreatifitas. Prasyarat yang belum mencukupi yang kemudian dipaksakan, berakhir pada frustasi berkelanjutan.
Sangat penting dipahami, bahwa pola Cara Belajar Siswa Aktif, Kurikulum Berbasis Kompetensi, dan berbagai teknologi pendidikan lainnya yang dikembangkan, kesemuanya bermuara pada kapasitas seorang guru. Kemampuan berekspresi dan berkreasi sangat dibutuhkan dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Bila tidak, lupakanlah.
Demikian pula dengan PLH, sangat dibutuhkan kapasitas guru yang mampu membangitkan kesadaran kritis. Bukan sekedar untuk memicu kreatifitas siswa. Kesadaran kritis inilah yang akhirnya akan tereliminasi disaat PLH diperangkap dalam kurikulum muatan lokal. Siswa akan kembali berada dalam ruang statis, mengejar nilai semu, dan memperoleh pembebanan baru.
Pendidikan Lingkungan Hidup: duduk, diam, dan bercerminlah
Sejak 2001, disaat pertama kali kawan-kawan pegiat PLH di Kaltim berkumpul, telah lahir berbagai gagasan dan agenda yang harus diselesaikan. Namun karena bukan menjadi PRIORITAS, maka hal ini menjadi bagian yang dilupakan.
Di tahun 2005 ini, geliat PLH masih bergerak-gerak ditempat. Bagi yang memiliki dana, muatan lokal menjadi sebuah pilihan, karena akan lebih mudah mengukur indikator keberhasilannya. Bagi yang tidak memiliki dana, mencoba tertatih-tatih di ruang sempit untuk tetap berjalan sesuai dengan cita-cita sebenarnya dari PLH, yaitu membangun generasi yang memiliki KESADARAN KRITIS sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni ?KESADARANNYA KESADARAN?.
Kepentingan untuk PERCEPATAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP, haruslah dimaknai bukan untuk mengELIMINASI pondasi dasar PLH. Tidak kokohnya pondasi akan mengakibatkan kehancuran sebuah bangunan, semewah apapun ia. Kehausan akan target proyek, capaian indikator, pekerjaan, hanya akan menjadikan PLH sebagai sebuah obyek mainan baru, bukan lagi sebagai sebuah nilai yang sedang dibangun bagi generasi kemudian negeri ini.
BERCERMINLAH untuk sekedar meREFLEKSIkan diri. Ini yang penting dilakukan oleh pegiat PLH. Bukan untuk berlari mengejar ketertinggalan. Tidak harus cepat mencapai garis akhir. Berjalan perlahan dengan semangat kebersamaan akan lebih menghasilkan nilai yang tertancap pada ruang yang terdalam di diri. APAKAH YANG SEDANG KITA LAKUKAN HANYA AKAN MENJADI PEMBEBANAN BARU BAGI GENERASI KEMUDIAN?

PAUD

IMPLEMENTASI KONSEP MONTESSORI PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Oleh: Harizal Kasubdit Harlindung PTK-PNF

A. PENDAHULUAN
Anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran kecil. Oleh sebab itu, anak harus diperlakukan sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Hanya saja, dalam praktik pendidikan sehari-hari, tidak selalu demikian yang terjadi. Banyak contoh yang menunjukkan betapa para orang tua dan masyarakat pada umummnya memperlakukan anak tidak sesuai dengan tingkat perkembangananya. Di dalam keluarga orang tua sering memaksakan keinginannya sesuai kehendaknya, di sekolah guru sering memberikan tekanan (preasure) tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak, di berbagai media cetak/elektronika tekanan ini lebih tidak terbatas lagi, bahkan cenderung ekstrim.
Mencermati perkembangan anak dan perlunya pembelajaran pada anak usia dini, tampaklah bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan pada pendidikan anak usia dini, yakni: 1) materi pendidikan, dan 2) metode pendidikan yang dipakai. Secara singkat dapat dikatakan bahwa materi maupun metodologi pendidikan yang dipakai dalam rangka pendidikan anak usia dini harus benar-benar memperhatikan tingkat perkembangan mereka. Memperhatikan tingkat perkembangan berarti pula mempertimbangkan tugas perkembangan mereka, karena setiap periode perkembangan juga mengemban tugas perkembangan tertentu.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 1 menegaskan bahwa, pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Menyikapi perkembangan anak usia dini, perlu adanya suatu program pendidikan yang didisain sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Kita perlu kembalikan ruang kelas menjadi arena bermain, bernyanyi, bergerak bebas, kita jadikan ruang kelas sebagai ajang kreaktif bagi anak dan menjadikan mereka kerasan dan secara psikologis nyaman. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini dikemukan bagaimana Mantessori mendisain program pembelajaran untuk anak usia dini.
B. PEMBAHASAN
Tokoh pendidikan anak usia dini, Montessori, mengatakan bahwa ketika mendidik anak-anak, kita hendaknya ingat bahwa mereka adalah individu-individu yang unik dan akan berkembang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri. Tugas kita sebagai orang dewasa dan pendidik adalah memberikan sarana dorongan belajar dan memfasilitasinya ketika mereka telah siap untuk mempelajari sesuatu. Tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan masa-masa yang sangat baik untuk suatu formasio atau pembentukan. Masa ini juga masa yang paling penting dalam masa perkembangan anak, baik secara fisik, mental maupun spritual. Di dalam keluarga dan pendidikan demokratis orang tua dan pendidik berusaha memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan yang dibutuhkan oleh anak. Oleh karena itu, baik dan tepat bagi setiap orang tua dan pendidik yang terlibat pada proses pembentukan ini, mengetahui, memahami perkembangan anak usia dini. Tapi sekolah kita belum memiliki based line data yang holistik yang dapat memberikan berbagai informasi tentang perkembangan behavior dan kesulitan belajar anak terhadap berbagai subkompetensi materi sulit. Informasi ini sangat diperlukan untuk melakukan treatmen secara berjenjang tentang perkembangan anak sejak usia dini sampai mereka dewasa (SLTA).
1. Perkembangan Anak Usia Dini
Banyak pendapat dan gagasan tentang perkembangan anak usia dini, Montessori yakin bahwa pendidikan dimulai sejak bayi lahir. Bayipun harus dikenalkan pada orang-orang di sekitarnya, suara-suara, benda-benda, diajak bercanda dan bercakap-cakap agar mereka berkembang menjadi anak yang normal dan sehat. Metode pembelajaran yang sesuai dengan tahun-tahun kelahiran sampai usia enam tahun biasanya menentukan kepribadian anak setelah dewasa. Tentu juga dipengaruhi seberapa baik dan sehat orang tua berperilaku dan bersikap terhadap anak-anak usia dini. Karena perkembangan mental usia-usia awal berlangsung cepat, inilah periode yang tidak boleh disepelekan. Pada tahun-tahun awal ini anak-anak memiliki periode-periode sensitive atau kepekaan untuk mempelajari atau berlatih sesuatu. Sebagian besar anak-anak berkembang pada asa yang berbeda dan membutuhkan lingkungan yang dapat membuka jalan pikiran mereka.
Menurut Montessori, paling tidak ada beberapa tahap perkembangan sebagai berikut:
1. Sejak lahir sampai usia 3 tahun, anak memiliki kepekaan sensoris dan daya pikir yang sudah mulai dapat “menyerap” pengalaman-pengalaman melalui sensorinya.
2. Usia setengah tahun sampai kira-kira tiga tahun, mulai memiliki kepekaan bahasa dan sangat tepat untuk mengembangkan bahasanya (berbicara, bercakap-cakap).
3. Masa usia 2 – 4 tahun, gerakan-gerakan otot mulai dapat dikoordinasikan dengan baik, untuk berjalan maupun untuk banyak bergerak yang semi rutin dan yang rutin, berminat pada benda-benda kecil, dan mulai menyadari adanya urutan waktu (pagi, siang, sore, malam).
4. Rentang usia tiga sampai enam tahun, terjadilah kepekaan untuk peneguhan sensoris, semakin memiliki kepekaan indrawi, khususnya pada usia sekitar 4 tahun memiliki kepekaan menulis dan pada usia 4 – 6 tahun memiliki kepekaan yang bagus untuk membaca.
Pendapat Mantessori ini mendapat dukungan dari tokoh pendidkan Taman Siswa, Ki hadjar Dewantara, sangat meyakini bahwa suasana pendidikan yang baik dan tepat adalah dalam suasana kekeluargaan dan dengan prinsip asih (mengasihi), asah (memahirkan), asuh (membimbing). Anak bertumbuh kembang dengan baik kalau mendapatkan perlakuan kasih sayang, pengasuhan yang penuh pengertian dan dalam situasi yang damai dan harmoni. Ki Hadjar Dewantara menganjurkan agar dalam pendidikan, anak memperoleh pendidikan untuk mencerdaskan (mengembangkan) pikiran, pendidikan untuk mencerdaskan hati (kepekaan hati nurani), dan pendidikan yang meningkatkan keterampilan.
Tokoh pendidikan ini sangat menekankan bahwa untuk usia dini bahkan juga untuk mereka yang dewasa, kegiatan pembelajaran dan pendidikan itu bagaikan kegiatan-kegiatan yang disengaja namun sekaligus alamiah seperti bermain di “taman”. Bagaikan keluarga yang sedang mengasuh dan membimbing anak-anak secara alamiah sesuai dengan kodrat anak di sebuah taman. Anak-anak yang mengalami suasana kekeluargaan yang hangat, akrab, damai, baik di rumah maupun di sekolah, serta mendapatkan bimbingan dengan penuh kasih sayang, pelatihan kebiasaan secara alami, akan berkembang menjadi anak yang bahagia dan sehat.
1. Pembelajaran Pada Taman kanak-Kanak
Anak taman kanak-kanak termasuk dalam kelompok umum prasekolah. Pada umur 2-4 tahun anak ingin bermain, melakukan latihan berkelompok, melakukan penjelajahan, bertanya, menirukan, dan menciptakan sesuatu. Pada masa ini anak mengalami kemajuan pesat dalam keterampilan menolong dirinya sendiri dan dalam keterampilan bermain. Seluruh sistem geraknya sudah lentur, sering mengulangi perbuatan yang diminatinya dan melakukan secara wajar tanpa rasa malu. Di taman kanak-kanak, anak juga mengalami kemajuan pesat dalam penguasaan bahasa, terutama dalam kosa kata. Hal yang menarik, anak-anak juga ingin mandiri dan tak banyak lagi mau tergantung pada orang lain.
Sehubungan dengan ciri-ciri di atas maka tugas perkembangan yang diemban anak-anak adalah:
1. Belajar keterampilan fisik yang diperlukan untuk bermain.
2. Membangun sikap yang sehat terhadap diri sendiri
3. Belajar menyesuaikan diri dengan teman sebaya
4. Mengembangkan peran sosial sebagai lelaki atau perempuan
5. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan dalam hidup sehari-hari
6. Mengembangkan hati nurani, penghayatan moral dan sopan santun
7. Mengembangkan keterampilan dasar untuk membaca, menulis, matematika dan berhitung
8. Mengembangkan diri untuk mencapai kemerdekaan diri.
Dengan adanya tugas perkembangan yang diemban anak-anak, diperlukan adanya pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi anak-anak yang selalu “dibungkus” dengan permainan, suasana riang, enteng, bernyanyi dan menari. Bukan pendekatan pembelajaran yang penuh dengan tugas-tugas berat, apalagi dengan tingkat pengetahuan, keterampilan dan pembiasaan yang tidak sederhana lagi seperti paksaan untuk membaca,menulis, berhitung dengan segala pekerjaan rumahnya yang melebihi kemampuan anak-anak.
Pada usia lima tahun pada umumnya anak-anak baik secara fisik maupun kejiwaan sudah siap untuk belajar hal-hal yang semakin tidak sederhana dan berada pada waktu yang cukup lama di sekolah. Setelah apada usia 2-3 tahun mengalami perkembangan yang cepat. Pada usia enam tahun, pada umumnya anak-anak telah mengalami perkembangan dan kecakapan bermacam-macam keterampilan fisik. Mereka sudah dapat melakukan gerakan-gerakan seperti meloncat, melompat, menangkap, melempar, dan menghindar. Pada umumnya mereka juga sudah dapat naik sepeda mini atau sepeda roda tiga. Kadang-kadang untuk anak-anak tertentu keterampilan-keterampilan ini telah dikuasainya pada usia 4-5 tahun.
Montessori memberikan gambaran peran guru dan pengaruh lingkungan terhadap perkembangan kecerdasan, sebagai berikut:
a. 80 % aktifitas bebas dan 20 % aktifitas yanag diarahkan guru
b. melakukan berbagai tugas yang mendorong anak untuk memikirkan tentang hubungan dengan orang lain
c. menawarkan kesempatran untuk menjalin hubungan social melalui interaksi yang bebas
d. dalil-dalil ditemukan sendiri, tidak disajikan oleh guru
e. atauran pengucapan didapat melalui pengenalan pola, bukan dengan hafalan
setiap aspek kurikulum melibatkan pemikiran
Montessori, mengatakan bahwa pada usia 3-5 tahun, anak-anak dapat diajari menulis, membaca, dikte dengan belajar mengetik. Sambil belajar mengetik anak-anak belajar mengeja, menulis dan membaca. Ada suatu penelitian di Amerika yang menyimpulkan bahwa kenyataannya anak-anak dapat belajar membaca sebelum usia 6 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada sekitar 2 % anak yang sudah belajar dan mampu membaca pada usia 3 tahun, 6 % pada usia empat tahun, dan sekitar 20 % pada usia 5 tahun. Bahkan terbukti bahwa pengalaman belajar di taman kanak-kanak dengan kemampuan membaca memadai akan sangat menunjang kemampuan belajar pada tahun-tahun berikutnya.
Pendapat Montessori ini didukung oleh Moore, seorang sosiolog dan pendidik, meyakini bahwa kehidupan tahun-tahun awal merupakan tahun-tahun yang paling kreaktif dan produktif bagi anak-anak. Oleh karena itu, sejauh memungkinkan, sesuai dengan kemampuan, tingkat perkembangan dan kepekaan belajar mereka, kita dapat juga mengajarkan menulis, membaca dan berhitung pada usia dini. Yang penting adalah strategi pengalaman belajar dan ketepatan mengemas pembelajaran yang menarik, mempesona, penuh dengan permainan dan keceriaan, enteng tanpa membebani dan merampas dunia kanak-kanak mereka.
Salah satu hal yang dibutuhkan untuk dapat meningkatkan perkembangan kecerdasan anak adalah suasana keluarga dan kelas yang akrab, hangat serta bersifat demokratis, sekaligus menawarkan kesempatan untuk menjalin hubungan sosial melalui interaksi yang bebas. Hal ini ditandai antara lain dengan adanya relasi dan komunikasi yang hangat dan akrab. .
Pada masa usia 2 – 6 tahun, anak sangat senang kalau diberikan kesempatan untuk menentukan keinginannya sendiri, karena mereka sedang membutuhkan kemerdekaan dan perhatian. Pada masa ini juga mencul rasa ingin tahu yang besar dan menuntut pemenuhannya. Mereka terdorong untuk belajar hal-hal yang baru dan sangat suka bertanya dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu. Guru dan orang tua hendaknya memberikan jawaban yang wajar. Sampai pada usia ini, anak-anak masih suka meniru segala sesuatu yang dilakukan orang tuanya.
Perlu diingat juga bahwa minat anak pada sesuatu itu tidak berlangsung lama, karena itu guru dan orang tua harus pandai menciptakan kegiatan yang bervariasi dan tidak menerapkan disiplin kaku dengan rutinitas yang membosankan. Anak pada masa ini juga akan berkembang kecerdasannya dengan cepat kalau diberi penghargaan dan pujian yang disertai kasih sayang, dengan tetap memberikan pengertian kalau mereka melakukan kesalahan atau kegagalan. Dengan kasih sayang yang diterima, anak-anak akan berkembang emosi dan intelektualnya, yang penting adalah pemberian pujian dan penghargaan secara wajar.
Untuk memfasilatasi tingkat perkembangan fisik anak, pada taman kanak-kanak perlu dibuat adanya arena bermain yang dilengkapi dengan alat-alat peraga dan alat-alat keterampilan lainnya, karena pada usia 2- 6 tahun tingkat perkembangan fisik anak berkembang sangat cepat, dan pada umur tersebut anak-anak perlu dikenalkan dengan fasilitas dan alat-alat untuk bermain, guna lebih memacu perkembangan fisik sekaligus perkembangan psikis anak terutama untuk kecerdasan.
Banyak penelitian menyatakan bahwa orang-orang yang cerdas dan berhasil pada umumnya berasal dari keluarga yang demokratis, suka melakukan uji coba, suka menyelidiki sesuatu, suka berpergian (menjelajah alam dan tempat), dan aktif, tak pernh diam dan berpangku tangan. Ingat keterampilan tangan adalah jendela menuju pengetahuan. Dalam proses pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan uji coba (trial and error), mangadakan penyelidikan bersama-sama, menyaksikan dan menyentuh sesuatu objek, mengalami dan melakukan sesuatu , anak-anak akan jauh lebih mudah mengerti dan mencapai hasil belajar dengan mampu memanfaatkan atau menerapkan apa yang telah dipelajari.
C. KESIMPULAN
Dalam mengimplementasikan konsep Montessori terhadap program pendidikan bagi anak usia dini perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Kukrikulum pada pendidikan anak usia dini didesain berdasarkan tingkat perkembangan anak.
2. Materi maupun metodologi pendidikan yang dipakai dalam rangka pendidikan anak usia dini harus benar-benar memperhatikan tingkat perkembangan mereka. Memperhatikan tingkat perkembangan berarti pula mempertimbangkan tugas perkembangan mereka, karena setiap periode perkembangan juga mengemban tugas perkembangan tertentu.
3. Kompetensi akademis merupakan alat untuk mencapai tujuan,dan manipulasi dilihat sebagai materi yang berguna untuk poengembangan diri anak, Montessori menganjurkan perlu adanya area yang berbeda mewakili lingkungan yang disediakan, yaitu:
a. Practical life memberikan pengembangan dari tugas organisasional dan urutan kognisi melalui perawatan diri sendiri, perawatan lingkungan, melatih rasa syukur dan saling menghormati, dan koordinasi dari pergerakan fisik,
b. The sensorial area membuat anak mampu untuk mengurut, mengklasifikasi dan menerangkan impresi sensori dalam hubungannya dengan panjang, lebar, temperatur, masa, warna, titik, dan lain-lain.
c. Mathematics memanfaatkan pemanipulasian materi agar anak mampu untuk menginternalisasi konsep angka, symbol, urutan operasi, dan memorisasi dari fakta dasar
d. Language art yang di dalamnya termasuk pengembangan bahasa lisan, tulisan, membaca, kajian tentang grammar, dramatisasi, dan kesusesteraan anak-anak. Keahlian dasar dalam menulis dan membaca dikembangkan melalui penggunaan huruf dari kertas, kata-kata dari kertas pasir, dan berbagai prestasi yang memungkinkan anak-anak untuk menghubungkan antara bunyi dan simbul huruf, dan mengekpresikan pemikiran mereka melalui menulis.
e. Cultural activies membawa anak-anak untuk mengetahui dasar-dasar geografis, sejarah dan ilmu sosail. Musik, dan seni lainnya merupakan bagian dari kurikulum terintegrasi.
4. Lingkungan pendidikan anak usia dini menggabungkan fungsi psiko-sosial, fisik dan akademis dari seorang anak. Tugas pentingnya adalah untuk menyediakan dasar yang awal dan umum, dimana di dalamnya termasuk tingkah laku yang positif terhadap sekolah, inner security, kebiasaan untuk berinisiatif, kemampuan untuk mengambil keputusan, disiplin diri dan rasa tanggung jawab anggota kelas lainnya, sekolah dan komunitas. Dasar ini akan membuat anak-anak mampu untuk mendapatkan pengetahuan dan keahlian yang lebih spesifik dalam kehidupan sekolah mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Atkitson, R.L., dkk. Introduction to Psychology., New York: Harcourt Brace Javanovich, Ich., 1983.
Henry N, Siahan., Peranan Ibu Bapak Mendidik Anak, Bandung: Angkasa , 1986
Steven Carr Reuben, Ph.D., Children of Character, a parent guide, Santa Monica: Canter and Associates, Inc, 1997.
Theo Riyanto FIC., dkk., Pendidikan Pada Usia Dini., Grasindo, Jakarta, 2004

TIPS

Ten Tips for Back-to-School

1. Easy Does It. Adjusting to new schedules, earlier morning alarms, and stricter meal times can be difficult for children. Take it easy and allow your family to adjust slowly by starting two weeks before the fall routine has to be followed. Start with moving bedtimes or wake times ten or 15 minutes at a time and adjusting meal times by 30 minutes or so. A longer—and slower—transition will help everyone involved.

2. Three Things. The demands and expectations put on children, parents, and families today can be overwhelming. Many families spend all their time running from one place to another just to stay caught up with everyone else. Don’t let others decide how your family should spend its time, let your family decide. Have each member of your family write down the three things that are most important to him/her in the fall, then have a family meeting to find a way to make sure each person’s items have a time in the schedule.

3. Everyone Chooses a Responsibility. Once you know what your new schedule will be like, let each member of the family decide what they want to take responsibility for. For example, decide who will make sure people are up on time, who will make the meals, who will drive to specific events, who will clean the kitchen and bathrooms, and who will take out the garbage. You might be surprised by some of your children’s choices, and you just might be amazed at how well they follow through with those choices. When someone chooses to do something on their own, they are much more likely to follow through than if someone else tells them to do it.

4. Plan Time for You. Don’t forget to book yourself some time in that new schedule. You need time for you and your top three priorities just like your children do. Set a good example for your children by showing them a healthy way to take care of yourself.

5. Set Expectations Early. At least one week before school starts, sit down with the family and explain what the new schedule will be like, what activities will be occurring, and what to expect. Knowing what will be going on will make it easier for everyone to stay on track.

6. Review Your Parenting Values. Now is the time to get yourself ready for being the parent you want to be in the fall – review your list of parenting values. If you don’t have a list of values, refer to the Coach-Parenting Certified Parent Program to develop your list. Pick one value to focus on for the month of September and see how many ways you can bring that value into your everyday parenting during the month.

7. Celebrate Summer. Find a way to celebrate, remember, and/or commemorate the summer you just had. Talk about trips you took, your favorite days, or things you want to remember; make scrapbook pages, a poster to hang on the wall, or a family memory book together. Don’t let these last couple weeks of summer slip by unnoticed, use them to round out the summer.

8. Family Time. Family time can be so scarce during the school year: find one last way to spend time together as a family before the fall rush starts. A few examples are sitting in your backyard, having a family game night, going camping, or making dinner together. Be together as a family, talk, share stories, smile, and laugh.

9. Watch the Sunset or Sunrise. Watching the day begin or end can be very grounding – find a quiet spot to watch the sun rise or set with your family. Make an effort to become connected to the earth, the day, and the cycle of life. Take a deep breath and remind yourself that schedules and hectic days aren’t always the most important things in life---find a way to ground yourself now so you won’t be pulled, pushed, and tugged by the less important things when fall hits.

10. Hug Your Children. Let your children know that they are what is important to you. Before you send them off to school, activities, child care, sports, etc., let them know how much you love them, how much you enjoy being with them, and how much you enjoy watching them grow and learn. It’s a bit “sappy,” and many kids will brush it off with a drawn out “Mom” or “Dad”, but they’ll get the message and remember it.

BISNIS

Business Logo Design - Is Clients Input Important
by: Gisselle Gloria


In today's world, there is a cutthroat competition everywhere, so is in the field of logo designing. In a scenario like this, how you, as a logo design company would differentiate yourself in terms of work quality and client support? Moreover, how can you improve your success rate in terms of designing outstanding logos for your clients?

Remember! Your success lies in client satisfaction, and your client would be satisfied when you come up with a business logo design that has all the elements mentioned in the client brief. Make sure you thoroughly discuss the brief with your client in order to avoid any confusion later on. Input from your client is always essential before you start working on the project.

Here, in this article, I am going to revise all the questions you need to ask your clients while discussing the brief with them. This would dig out exactly what your client wants and of course this practice would save you a lot of time you will be wasting on revisions, in case the logo fails to convince the client in the end.

Nature of the business: Every logo has to be associated with the business/product and has to have a concept behind it. For that you particularly need to ask your client about the nature of his business. Whether your client is in construction business, wedding consultancy or have recently opened a beauty salon, it is best practice to get to know their target audience. A logo which associates and communicates the right message of the business to its target market gets instant recognition. So make your client speak, this would help you to search for the latest trends in that particular industry.

Brief your client about different types of logo designs: Asking your clients abruptly about the type of logo they want is something every designer should avoid. Instead, a far better idea is to first brief your client about the different types of logos. Let them speak up what they think is appropriate and then give your feedback as to what should be more suitable according to the nature of their businesses and products. Deciding what treatment should be given to different logos is a crucial aspect and must be clarified before starting the project. Give your clients examples of Iconic, Illustrative, Textual or a combination of them because there is a possibility that they might or might not know about it.

Let your Client decide the colors: It's always advisable to discuss the colors of your client's logo. Remember, as a logo designer your utmost responsibility is to satisfy your client's needs. If you create a logo according to your aesthetic taste, with colors you think go best with it, while your client mentioned some other colors in the brief; there are 90% chances that your logo would get rejected. He would come up to you and say, “I never asked for these colors. What made you choose them and forwarded something I never wanted?”

So it is better to give your expert opinion, right at the time of discussing the creative brief because more often than not, clients don't know anything about the trends and even the basics of logo designing, yet they impose their personal preferences, which should finally be spelled out before you start the project.

There are different categories of colors which should be kept in mind according to the target market of your client. It can be subtle pastel colors when targeting small babies and their parents, while it can be bright, sharp colors for teenagers specifically. For adults, there should be a mix of both light and dark colors, whereas, try a combination of soft and dark ones for middle aged adults and older people.

Ask your client the number of colors to use in the logo. It is best to use minimum colors, however, it depends upon the nature of your client's business and the product portfolio. If your client owns a toy shop and needs a colorful logo for his business, even then it is best to advise to stick to a maximum of three colors, not more than that.

Themes and Words: Professional logo designers always involve clients in a discussion related to logo design prior to starting their projects. It is best to ask your clients if they have any specific theme for their logo or if they want any words to be incorporated. It is your duty to suggest if your client has no idea whatsoever about the themes, designs, visual enhancements or the words but keep in mind that no one knows your client's target market better than your client. So always engage them to come up with the best possible results.

Probe the ultimate Don'ts: It can be a possibility that your client might not exactly know about what design should his logo be, but he must clearly know about the elements which shouldn't be a part of the design in any way. So as a designer, you must jot down all those elements which you won't include in the logo. If you don't practice this, you would end up pissing off your client.

Ask your Client their favorite logos: Ask your client about their favorite logos. So what if most of them end up with Nike and Apple. There would be clients who might be interested in logos which they think are well designed and have impact. This would give you a better idea about their tastes and requirements.

Last but not least, as a designer, you should have better answers to most of the questions mentioned above but as we say, client is the king, and any designer's ultimate responsibility is to satisfy the client. Hence, openly welcome the input of your client at every stage of designing his business logo.

GOLDEN RULE

The Golden Rule
by: Rick Walker

"So in everything, do to others what you would have them do to you"
Mt 7:12 - NIV
We have all heard the Golden Rule but do we really understand it, particularly with regard to our
daily interaction with others?
I have been reading the discussion of "The Golden Rule" as presented in Chapter 16 of Napoleon Hill's "Law of Success" and have had an epiphany! I always took the Golden Rule to suggest that you will receive the same (or similar) response from others in similar fashion to the way you treat them. Treat people nicely and people will treat you nicely (and who doesn't want to be treated nicely?). Treat people poorly and expect to be treated poorly.

Is this, however, what is meant by "Do unto others ..." and, more importantly, who does it REALLY benefit the most?
Day to Day Interactions
In our day-to-day lives, we all interact with people; family, friends, business associates and strangers. And, so much of our day is influenced upon the outcomes of those interactions or, more specifically, how we respond to those outcomes.
If we take the transit system or, as an even more emphatic example, an elevator to work, we are very familiar with the manner in which we stay isolated in our separate world, interacting as little as possible with those around us. We have our protective barriers erected against possible interaction. We read books or the newspaper, plug ourselves into our iPods or work on our lap-tops. No end to the ways in which we can communicate the fact that we don't want to ... well, communicate.
If we have an exchange with a taxi driver, vendor or just bump into someone in the street, depending on the nature of both their response and our own, such an incident can set a "mood" for an entire day, if we let it. Some days, simply getting up "on the wrong side of the bed" in the morning can spoil a day, if we let it.
These are, I suggest, examples of how we might "manifest what we visualize into our lives", examples of how "attraction" and "magnetism" colours our interactions with people, how the "Law of Attraction" works when dealing with "mankind". Our mind set, our disposition dictates how we treat the world and, in return, how the world treats us.
"Such as are thy habitual thoughts, such also will be the character of thy mind; for the soul is dyed by the thoughts. Dye it, then, with a continuous series of such thoughts ..."
Marcus Aurelius Antoninus
Classic Examples
As an extreme example, let's consider the character Scrooge in Charles Dickens' "A Christmas Carol". The story begins by defining Scrooge's character as "... a squeezing, wrenching, grasping, scraping, clutching, covetous old sinner!" ... before he meets Jacob Marley and the three ghosts. As Scrooge moves through every aspect of every day, his interactions with one and all are confrontational and distasteful. He is an entirely unsavoury character with whom to associate and overpowers everyone he encounters with his self-, or more accurately, money-centred consciousness. There are some exceptions, the most notable being his nephew who exudes Christmas cheer despite his uncle's ugly disposition. Scrooge exemplifies the definitive bad attitude toward his fellow man. It is very enlightening that his disposition is a direct result of his money centred consciousness.
He treats everyone he encounters with the character resulting from his money centred consciousness, every human interaction is based on an extreme "cost benefits analysis". In return, he receives cautious, timid, thoroughly cowed responses from his employees, disbelief and disappointment from businessmen (seeking charitable donations) and contempt from his business peers when informed of his death (Ghost of Christmas Yet To Come).

At the other extreme, let us look at another Christmas classic - "It's A Wonderful Life". George Bailey goes through his life (as reviewed for Clarence, his guardian angel) always giving of himself for his family, friends and "Building and Loan" clients, even going so far as to extend loans to his clients immediately after his wedding in response to a desperate financial crisis. He is presented, in many instances, as resenting his circumstances (but, tellingly, not resenting those he has helped). These responses are consistent with the core beliefs of his character. When life presents him with his own desperate, individual crisis, his family, friends and even strangers all come willingly, even eagerly, forward in order to provide the necessary assistance, far in excess of his actual requirements.
"A man reaps what he sows ... Let us not become weary in doing good, for at the proper time we will reap a harvest if we do not give up"
Gal. 6:7 and 9
Admittedly, these are carefully constructed plots for story purposes, however, they do portray contrasting examples of the human experience and, more specifically, they exemplify "The Golden Rule". Both characters get back responses from their fellow man consistent with the core beliefs of their characters which dictate the nature of their interaction with their fellow man.

Where Scrooge presents a miserly disposition to those whom he encounters, he receives a similarly negative response in return. In contrast, where George Bailey exemplifies a generous and caring disposition in his daily life, he is offered respect, admiration and, when desperately needed, generosity in return. This generosity, as I stated above, was far in excess of his actual needs.

So, when we go about our lives on a day-to-day basis, what is the nature of the character we exemplify toward others; our family, friends, business associates and the strangers we meet. If we typically offer the world an unfriendly disposition, should we not expect, over time, to develop an unfriendly character? On the other hand, if we make active attempts to greet those whom we encounter in a friendly manner, should we not expect to develop a friendly disposition in our character?
"Manifest the Change You Desire in the World"
To be clear, all I am proposing is a simple smile, and possibly a "Hello", to the people we meet in the course of our day. A little daily courtesy to the coffee vendor in the morning. Simply small acts of courtesy and kindness in your day. It has been said that smiles are contagious. Perhaps smiles are similar to love in that it might be very hard to give them away as they are always given back.
"... our brains become magnetized with the dominating thoughts which we hold in our minds, and ... these "magnets" attract to us the forces, the people, the circumstances of life which harmonize with the nature of our dominating thoughts".
Napoleon Hill
If we are going about our day with a cheerful disposition, we should reasonably expect to get cheerful responses from those whom we know. We may not get a cheerful response from the strangers we meet, however, give some thought to how someone you didn't know, passing by with a smile, may have been a ray of sunlight in your day. Furthermore, it's hard to have a bad day if you are smiling.
Who Really Benefits?
In the scenarios presented above, all those involved in the proposed exchanges realize some emotional response out of the exchanges. However, I suggest that you are the greatest (or worst) beneficiary of the exchanges. I believe we reap what we sow. If we present a pleasant and outgoing (positive) demeanor to those we encounter in our day, we become pleasant and outgoing and develop a corresponding positive attitude.
If, on the other hand, we present a disagreeable, negative demeanor to the world, we will drive people away and develop a negative attitude to the world over time (to match our negative demeanor - negative response feedback loop).
To take this argument further, in order to develop the character traits we desire in ourselves, we need to be actively exemplifying them in our daily lives. If these character traits are foreign to us, then we need to initially act" them out in order to eventually possess them. I believe this is what Napoleon Hill suggests in "Think and Grow Rich" and "Law of Sucess".
If we walk around, day-in and day-out, with a frown on our faces, how long until we develop a frown on our heart (if you will permit the metaphor)). Conversely, if we pass our day with a smile on our faces, acknowledging and relishing the good things we encounter every day, how long until we develop that same smile in our heart.
"But the fruit of the Spirit is love, joy, peace, patience, kindness, goodness, faithfulness, gentleness and self-control"
Gal. 5:22
At the very least, begin and end your days with a smile and good word for the members of your family. A smile from your wife or husband as you head off to work and smiles from your children goes a long way to easing the stress and tension in a day.
We reap what we sow. With these words in mind, I suggest we go out and sow a cheerful day. Doing so will place a cheerful disposition on ours souls and, over time, we will reap cheerfulness from those we meet.
"A man passes for what he is worth. What he is engraves itself on his face, on his form, on his fortunes, in letters of light which all men may read but himself. ... ".
Emerson.

MODEL PEMBELAJARAN

MODEL PEMBELAJARAN

Drs. H. Erman Suherman, M.Pd.
Dosen tetap pada FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung

Abstrak:
Tugas utama guru adalah membelajarkan siswa, yaitu mengkondisikan siswa agar belajar aktif sehingga potensi dirinya (kognitif, afektif, dan konatif) dapat berkembang dengan maksimal. Dengan belajar aktif, melalui partisipasi dalam setiap kegiatan pembelajaran, akan terlatih dan terbentuk kompetensi yaitu kemampuan siswa untuk melakukan sesuatu yang sifatnya positif yang pada akhirnya akan membentuk life skill sebagai bekal hidup dan penghidupannya. Agar hal tersebut di atas dapat terwujud, guru seyogianya mengetahui bagaimana cara siswa belajar dan menguasai berbagai cara membelajarkan siswa. Model belajar akan membahas bagaimana cara siswa belajar, sedangkan model pembelajaran akan membahas tentang bagaimana cara membelajarkan siswa dengan berbagai variasinya sehingga terhindar dari rasa bosan dan tercipta suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan.
Kata Kunci: model belajar, model pembelajaran, potensi siswa, kompetensi, life skill, suasana belajar
A. Pendahuluan
Kurikulum 2004 berbasis kompetensi (KBK), yang diperbaharui dengan Kurikulum 2006 (KTSP), telah berlaku selama 4 tahun dan semestinya dilaksanakan secara utuh pada setiap sekolah. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan pembelajaran di sekolah, masih kurang memperhatikan ketercapaian kompetensi siswa. Hal ini tampak pada RPP yang dibuat oleh guru dan dari cara guru mengajar di kelas masih tetap menggunakan cara lama, yaitu dominan menggunakan metode ceramah-ekspositori. Guru masih dominan dan siswa resisten, guru masih menjadi pemain dan siswa penonton, guru aktif dan siswa pasif. Paradigma lama masih melekat karena kebiasaan yang susah diubah, paradigma mengajar masih tetap dipertahankan dan belum berubah menjadi peradigma membelajarkan siswa. Padahal, tuntutan KBK, pada penyusunan RPP menggunakan istilah skenario pembelajaran untuk pelaksanaan pembelajaran di kelas, ini berarti bahwa guru sebagai sutradara dan siswa menjadi pemain, jadi guru memfasilitasi aktivitas siswa dalam mengembangkan kompetensinya sehingga memiliki kecakapan hidup (life skill) untuk bekal hidup dan penghidupannya sebagai insan mandiri.
Demikian pula, pada pihak siswa, karena kebiasaan menjadi penonton dalam kelas, mereka sudah merasa enjoy dengan kondisi menerima dan tidak biasa memberi. Selain dari karena kebiasaan yang sudah melekat mendarah daging dan sukar diubah, kondisi ini kemungkinan disebabkan karena pengetahuan guru yang masih terbatas tentang bagaimana siswa belajar dan bagaimana cara membelajarkan siswa. Karena penghargaan terhadap profesi guru sangat minim, boro-boro sempat waktu untuk membaca buku yang aktual, mereka sangat sibuk untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dan memang itu kewajiban utama, apalagi untuk membeli buku pembelajaran yang inovatif. Mereka bukan tidak mau meningkatkan kualitas pemebelajaran, tetapi situasi dan kondisi kurang memungkinkan. Permasalahannya adalah bagaimana mengubah kebiasaan prilaku guru dalam kelas, mengubah paradigma mengajar menjadi membelajarkan, sehingga misi KBK dapat terwujud. Dengan paradigma yang berubah, mudah-mudahan kebiasaan murid yang bersifat pasif sedikit demi sedikit akan berubah pula menjadi aktif.
Tulisan sederhana ini sengaja dibuat untuk para guru, yang saya hormati dan saya banggakan, untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan, semoga dengan sajian sederhana ini dapat dijadikan bekal untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran, sehingga kualitas amal sholehnya melalui profesi guru menjadi meningkat pula. Tulisan ini membahas tentang kompetensi siswa sesuai tuntutan kurikulum untuk sekedar mengingatkan, model-model belajar agar memahami benar bagaimana siswa belajar yang efektif, dan model pembelajaran yang bisa dipilih dan digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, materi, fasilitas, dan guru itu sendiri.
B. Kompetensi Siswa
Kompetensi (competency) adalah kata baru dalam bahasa Indonesia yang artinya setara dengan kemampuan atau pangabisa dalam bahasa Sunda. Siswa yang telah memiliki kompetensi mengandung arti bahwa siswa telah memahami, memaknai dan memanfaatkan materi pelajaran yang telah dipelajarinya. Dengan perkataan lain, ia telah bisa melakukan (psikomotorik) sesuatu berdasarkan ilmu yang telah dimilikinya, yang pada tahap selanjutnya menjadi kecakapan hidup (life skill). Inilah hakikat pembelajaran, yaitu membekali siswa untuk bisa hidup mandiri kelak setelah ia dewasa tanpa tergantung pada orang lain, karena ia telah memiliki komptensi, kecakapan hidup. Dengan demikian belajar tidak cukup hanya sampai mengetahui dan memahami.
Kompetensi siswa yang harus dimilki selama proses dan sesudah pembelajaran adalah kemampuan kognitif (pemahaman, penalaran, aplikasi, analisis, observasi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, koneksi, komunikasi, inkuiri, hipotesis, konjektur, generalisasi, kreativitas, pemecahan masalah), kemampuan afektif (pengendalian diri yang mencakup kesadaran diri, pengelolaan suasana hati, pengendalian impulsi, motivasi aktivitas positif, empati), dan kemampuan psikomotorik (sosialisasi dan kepribadian yang mencakup kemampuan argumentasi, presentasi, prilaku). Istilah psikologi kontemporer, kompetensi / kecakapan yang berkaitan dengan kemampuan profesional (akademik, terutama kognitif) disebut dengan hard skill, yang berkontribusi terhadap sukses individu sebesar 40 % . Sedangkan kompetensi lainnya yang berkenaan dengan afektif dan psikomotorik yang berkaitan dengan kemampuan kepribadian, sosialisasi, dan pengendalian diri disebut dengan soft skill, yang berkontribusi sukses individu sebesar 60%. Suatu informasi yang sangat penting dan sekaligus peringatan bagi kita semua.
C. Model-model Belajar
Uraian berikut ini adalah untuk menjawab pertanyaan, bagaimana siswa belajar? Dengan memahami uraian ini, guru (kita) bisa menyesuaikan pelaksanaan pembelajaran dengan kondisi siswa. Bukankah pemberian harus diselaraskan dengan mereka yang akan menerima pemberian sehingga dapat bermanfaat secara optimal, dan tidak sebaliknya.
Model-model belajar yang dimaksud pada judul di atas adalah berbagai cara-gaya belajar siswa dalam aktivitas pembelajaran, baik di kelas ataupun dalam kehidupannya sehari-hari antar sesama temannya atau orang yang lebih tua. Dengan memahami model-model belajar ini, diharapkan para guru (kita semua) dapat membelajarkan siswa secara efisien sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif.
Ada berbagai model belajar yang akan dibahas, yaitu:
1. Peta Pikiran
Buzan (1993) mengemukakan bahwa otak manusia bekerja mengolah informasi melalui mengamati, membaca, atau mendengar tentang sesuatu hal berbentuk hubungan fungsional antar bagian (konsep, kata kunci), tidak parsial terpisah satu sama lain dan tidak pula dalam bentuk narasi kalimat lengkap. Sebagai contoh, kalau dalam pikiran kita ada kata (konsep) Bajuri, maka akan terkait dengan kata lain secara fungsional, seperti gemuk, supir bajay, kocak, sederhana, atau ke tokoh lain Oneng, Ema, Ucup, Hindun, dan lain-lain dengan masing-masing karakternya. Demikian pula kata dalam pikiran kita terlintas FKIP Universitas Langlangbuana Bandung akan terkait alamatnya, pejabatnya, dosen-dosen dan staf administrasi, dan besar penghargaan untuk perkuliahan per-sks. Silakan anda mencoba menuliskan / menggambarkan peta pikiran tentang Bajuri dan FKIP Unla di atas. Kalau dibuat narasinya akan ada perbedaan redaksi, meskipun dengan makna yang tidak berbeda.
Dalam bidang studi keahlian anda, misalnya ambil satu materi dalam pelajaran Matematika, Akuntansi, Agama, atau yang lainnya. Silakan buat (tulis-gambar) peta pikiran yang terlintas kemudian narasikan secara lisan. Tulisan atau gambar peta pikiran tersebut dinamakan dengan peta konsep (concept map).
Selanjutnya Buzan mengemukakan bahwa cara belajar siswa yang alami (natural) adalah sesuai dengan cara kerja otak seperti di atas berupa pikiran. Yang produknya berupa peta konsep. Dengan demikian belajar akan efektif dengan cara membuat catatan kreatif yang merupakan peta konsep, sehingga setiap konsep utama yang dipelajari semuanya teridentifikasi tidak ada yang terlewat dan kaitan fungsionalnya jelas, kemudian dinarasikan dengan gaya bahasa masing-masing. Dengan demikian konsep mendapat retensi yang kuat dalam pikiran, mudah diingat dan dikembangkan pada konsep lainnya. Belajar dengan menghafalkan kalimat lengkap tidak akan efektif, di samping bahasa yang digunakan menggunakan gaya bahasa penulis. Mengingat hal itu, sajian guru dalam pembelajaran harus pula dikondisikan berupa sajian peta konsep, guru membumbuinya dengan narasi yang kreatif.
Selanjutnya, Buzan mengemukakan bahwa kemampuan otak manusia dapat memproses informasi berupa bahasa sebanyak 600 – 800 kata permenit. Dengan kemampuan otak seperti itu dibandingkan dengan kemampuan komputer sangat tinggi. Jika benar-benar dimanfaatkan secara optimal, setiap kesempatan dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran diri dalam segala hal. Hanya sayang banyak orang yang mengabaikannya atau digunakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat untuk peningkatan kualitas diri, misalnya berangan-angan, menonton, mengobrol atau bercanda tanpa makna. Bagaimana dengan anda?.
2. Kecerdasan Ganda
Goldman (2005) mengemukakan bahwa struktur otak, sebagai instrumen kecerdasan, terbagi dua menjadi kecerdasan intelektual pada otak kiri dan kecerdasan emosional pada otak kanan. Kecerdasan intelektual mengalir-bergerak (flow) antara kebosanan bila tuntutan pemikiran rendah dan kecemasan bila terjadi tuntutan banyak. Bila terjadi kebosanan otak akan mengisinya dengan aktivitas lain, jika positif akan mengembangkan penalaran akan tetapi jika diisi dengan aktivitasa negatif, misal kenakalan atau lamunan, inlah yang disebut dengan sia-sia atau mubadzir (at tubadziru minasy-syaithon).
Sebaliknya jika tuntutan kerja otak tinggi akan terjadi kecemasan-kelelahan. Kondisi ini akan bisa dinetralisir dengan relaksasi melalui penciptaan suasana kondusif, misalnya keramahan, kelembutan, senyum-tertawa, suasana nyaman dan menyenangkan, atau meditasi keheningan dengan prinsip kepasrahan kepada sang Pencipta. Dengan demikian aktivitas otak kiri semestinya dibarengi dengan aktivitas otak kanan.
Sel syaraf pada otak kiri berfungsi sebagai alat kecerdasan yang sifatnya logis, sekuensial, linier, rasional, teratur, verbal, realitas, ide, abstrak, dan simbolik. Sedangkan sela syaraf otak kanan berkaitan dengan kecerdasan yang sifatnya acak, intuitif, holistic, emosional, kesadaran diri, spasial, musik, dan kreativitas. Penting untuk diketahui bahawa kecerdasan intelkektual berkontribusi untuk sukses individu sebesar 20% sedangkan kecerdasan emosional sebesar 40%, siswanya sebanyak 40% dipengaruhi oleh hal lainnya.
Ary Ginanjar (2002) dan Jalaluddin Rahmat (2006) mengukakan kecerdasan ketiga, yaitu Kecerdasan Spiritual (nurani-keyakinan) atau kecerdasan fitrah yang berkenaan dengan nilai-nilai kehidupan beragama. Sebagai orang beragama, kita semestinya berkeyakinan tinggi terhadap kecerdasan ini, bukankah ada ikhtiar dan ada pula taqdir, ada do’a sebagai permintaan dan harapan, dan ibadah lainnya. Bukankan ketentraman individu karena keyakinan beragama ini.
Gardner (1983) mengemukakan tentang kecerdasan ganda yang sifatnya mulkti dengan akronim Slim n Bill, yaitu Spacial-visual , Linguistic-verbal, Interpersonal-communication, Musical-rithmic, natural, Body-kinestic, Intrapersonal-reflective, Logic-thinking-reasoning.
3. Metakognitif
Secara harfiah, metakognitif bisa diterjemahkan secara bebas sebagai kesadaran berfikir, berpikir tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana proses berpikirnya, yaitu aktivitas individu untuk memikirkan kembali apa yang telah terpikir serta berpikir dampak sebagai akibat dari buah pikiran terdahulu. Sharples & Mathew (1998) mengemukakan pendapat bahwa metakognitrif dapat dimanfaatkan untuk menerapkan pola pikir pada situasi lain yang dihadapi.
Kemampuan metakognitif setiap individu akan berlainan, tergantung dari variabel meta kognitif, yaitu kondisi individu, kompleksitas, pengetahuan, pengalaman, manfaat, dan strategi berpikir. Holler, dkk. (2002) mengemukakan bahwa aktivitas metakognitif tergantung pada kesadaran individu, monitoring, dan regulasi.
Komponen meta kognitif menurut Sharples & Mathew ada 7, yaitu: refleksi kognitif, strategi, prediksi, koneksi, pertanyaan, bantuan, dan aplikasi. Sedangkan Holler berpendapat tentang komponen metakognitif, yaitu: kesadaran, monitoring, dan regulasi.
Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat unsure analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuhkembangnya kemampuan inkuiri dan kreativitas. Oleh karena itu pelaksanaan pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan metakognitif ini, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal.
4. Komunikasi
Siswa dalam belajar tidak akan lepas dari komunikasi antar siswa, siswa dengan fasilitas belajar, ataupun dengan guru. Kemampuan komunikasi setiap individu akan mempengaruhi proses dan hasil belajar yang bersangkutan dan membentuk kepribadiannya, ada individu yang memiliki pribadi positif dan ada pula yang berkpribadian negatif.
Perhatikan hasil penelitian Jack Canfield (1992), untuk kita simak dan renungkan, bahwa seorang anak ayang masih polos-natural, setiap hari biasa menerima 460 komentar negatif dan 75 koentar positif dari oarng yang lebih tua dalam kehidupannya. Akibatnya sungguh mengejutkan, anak yang pada awalnya secara alami penuh keyakinan, keberanian, suka tantangan, ingin mencoba, ingin tahu dengan pengaruh komunikasi negatif yang lebih dominant dari orang sekelilingnya, ternyata lama kelamaan keyakinannya terguncang dan rasa percaya dirinya menurun, sehingga dia tumbuh menjadi penakut, pemalu, ragu-ragu, menghindar, membiarkan, dan cemas. Dampak selanjutnya pada waktu bwersekolah, belajar menjadi beban dan rasa ercaya dirinya berkurang. Makin lama ia makin dewasa, pribadinya berpola negative, seperti pesimis, m\udah menyerah, dikendalikan keadaan , prasangka, pembenaran, menimpakan kesalahan, dan sibuk dengan alasan. Berbeda dengan individu yang memiliki pribadi positif, yaitu optimis, mengendalikan keadaan, ada kebebasan memilih, punya alternative, partisipatidf, dan mau memperbaiki diri.
Sebagai guru, tentunya akan berhadapan dengan siswa yang berkepribadian negative seperti di atas dan tentunya tidak untuk dibiarkan karena profesi guru adalah amanat. Bagaimanakh menghadapi siswa dengan pola pribadi seperti irtu? Caranya anatar lain dengan cara tidak memvonis, katakana “saya ….” bukan katanya, jangan sungkan untuk apologi jika kesalahan, tumbuhkan citra positif, bersikap mengajak dan bukan memerintah, dan jaga komunikasi non verbal (eksprsi wajah, nada suara, gerak tubuh, dan sosok panutan). Mengapa demikian? Karena cara berkomunikasi akan langsung berkenaan dengan akal dan rasa, yang selanjutnya mempengaruhi poses pembelajaran.
5. Kebermaknaan Belajar
Dalam belajar apapun, belajar efektif (sesuai tujuan) semestinya bermakna. Agar bermakna, belajar tidak cukup dengan hanya mendengar dan melihat tetapi harus dengan melakukan aktivitas (membaca, bertanya, menjawab, berkomentar, mengerjakan, mengkomunikasikan, presentasi, diskusi).
Dalam bahasa Sunda ada pepatah “pok-pek-prak” yang berarti bahwa belajar mempunya indikator berkata-pok (bertanya-menjawab-diskusi,presentasi). Mencoba-pek (menyelidiki, meng-identifikasi, menduga, menyimpulkan, menemukan), dan melaksanakan-prak (mengaplikasikan, menggunakan, memanfaatkan, mengembangkan). Tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantoro (1908) mengemukakan tiga prinsip pembelajaran ing ngarso sung tulodo (jadi pemimpin-guru jadilah teladan bagi siswanya), ing madyo mangun karso (dalam pembelajaran membangun ide siswa dengan aktivitas sehingga kompetensi siswa terbentuk), tut wuri handayani (jadilah fasilitator kegiatan siswa dalam mengembangkan life skill sehingga mereka menjadi pribadi mandiri). Dengan perkataan lain, pembelajaran adalah solusi tepat untuk pelaksanaan kurikulum 2006, dan bukan dengan kegiatan mengajar.
Selanjutnya, Vernon A Madnesen (1983) san Peter Sheal (1989) mengemukakan bahwa kebermaknaan belajar tergantung bagaimana cbelajar. Jika belajar hanya dngan membaca kebermaknaan bisa mencapai 10%, dari mendengar 20%, dari melihat 30%, mendengar dan melihat 50%, mengatakan-komunikasi mencapai 70 %, da belajar dengan melakukan dan mengkomunikasikan besa mencapai 90%.
Dari uraian di atas implikasi terhadap pembelajaran adalah bahwa kegiatan pembelajaran identik dengan aktivitas siswa secara optimal, tidak cukuop dengan mendengar dan melihat, tepai harus dengan hands-on, minds-on, konstruksivis, dan daily life (kontekstual).
6. Konstruksivisme
Dalam paradigma pembelajaran, guru menyajikan persoalan dan mendorong (encourage) siswa untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, berhipotesis, berkonjektur, menggeneralisasi, dan inkuiri dengan cara mereka sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang disajikan. Sehingga jenis komunikasi yang dilakukan antara guru-siswa tidak lagi bersifat transmisi sehingga menimbulkan imposisi (pembebanan), melainkan lebih bersifat negosiasi sehingga tumbuh suasana fasilitasi.
Dalam kondisi tersebut suasana menjadi kondusif (tut wuri handayani) sehingga dalam belajar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuan dan opengalaman yang diperolehnya dengan pemaknaan yang lebih baik. Siswa membangun sendiri konsep atau struktur materi yang dipelajarinya, tidak melalui pemberitahuan oleh guru. Siswa tidak lagi menerima paket-paket konsep atau aturan yang telah dikemas oleh guru, melainkan siswa sendiri ang mengemasnya. Mungkin saja kemasannya tidak akurat, siswa yang satu dengan siswa lainnya berbeda, atau mungkin terjadi eksalahan, di sinilah tugas guru memberikan bantuan dan arahan (scalfolding) sebagai fasilitator dan pembimbing. Keslahan siswa merupakan bagian dari belajar, jadi harus dihargai karena hal itu cirinya ia sedang belajar, ikut partisipasi dan tidak menghindar dari aktivitas pembelajaran.
Hal inilah yang disebut dengan konstruksivisme dalam pembelajaran, dan memang pembelajaran pada hakikatnya adalah konstruksivisme, karena pembelajaran adalah aktivitas siswa yang sifatnbya proaktif dan reaktif dalam membangun pengetahuan. Agar konstruksicvisme dapat terlaksana secara optimal, Confrey (1990) menyarankan konstruksivisme secara utuh (powerfull constructivism), yaitu: konsistensi internal, keterpaduan, kekonvergenan, refeleksi-eksplanasi, kontinuitas historical, simbolisasi, koherensi, tindak lanjut, justifikasi, dan sintaks (SOP).
7. Prinsip Belajar Aktif
Ada dua jenis belajar, yaitu belajar secara aktif dan secara reaktif (pasif). Belajar secara aktif indikatornya adalah belajar pada setiap situasi, menggunakan kesempatan untuk meraih manfaat, berupaya terlaksana, dan partisipatif dalam setiap kegiatan. Sedangakan belajar reaktif indikatornya adalah tidak dapat melihat adanya kesempatan belajart, mengabaikan kesempatan, membiarkan segalanya terjadi, menghindar dari kegiatan.
Dari indikator belajar aktif, sesuai dengan pengertian kegiatan pembelajaran di atas, maka prinsip belajar yang harus diterapkan adalah siswa harus sebaga subjek, belajar dengan melakukan-mengkomunikasikan sehingga kecerdasan emosionalnya dapat berkembang, seperti kemampuan sosialisasi, empati dan pengendalian diri. Hal ini bisa terlatih melalui kerja individual-kelompok,diskusi, presentasi, tanya-jawab, sehingga terpuku rasa tanggung jawab dan disiplin diri.
Prinsip belajar yang dikemuakan leh Treffers (1991) adalah memiliki indikatro mechanistic (latihan, mengerjakan), structuralistic (terstrutur, sitematik, aksionmatik), empiristic (pngelaman induktif-deduktif), dan realistic-human activity (aktivitas kehidupan nyata). Prisip tersebut akan terwujud dengan melaksanakan pembelajaran dengan memperhatikan keterlibatan intelektual-emosional, kontekstual-trealistik, konstruksivis-inkuiri, melakukan-mengkomunikasikan, dan inklusif life skill.
D. Model-model Pembelajaran
Untuk membelajarkan siswa sesuai dengan cara-gaya belajar mereka sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran. Dalam prakteknya, kita (guru) harus ingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri.
Berikut ini disajikan beberapa model pembelajaran, untuk dipilih dan dijadikan alternatif sehingga cocok untuk situasi dan kjondisi yang dihadapi. Akan tetapi sajian yang dikemukakan pengantarnya berupa pengertian dan rasional serta sintaks (prosedur) yang sifatnya prinsip, modifikasinya diserahkan kepada guru untuk melakukan penyesuaian, penulis yakin kreativitas para guru sangat tinggi.
1. Koperatif (CL, Cooperative Learning).
Pembelajaran koperatif sesuai dengan fitrah manusis sebagai makhluq sosial yang penuh ketergantungan dengan otrang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembegian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyatan itu, belajar berkelompok secara koperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Jadi model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksu konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siawa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada control dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.
Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.
2. Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif - nyaman dan menyenangkan. Pensip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.
Ada tujuh indokator pembelajarn kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya, yaitu modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh), questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi), learning community (seluruh siswa partisipatif dalam belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan), inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan), constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis), reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut), authentic assessment (penilaian selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya darei berbagai aspek dengan berbagai cara).
3. Realistik (RME, Realistic Mathematics Education)
Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided reinventiondalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan uantuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reoorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio, pengemabngan mateastika).
Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi), pemahaman (menemukan-informal daam konteks melalui refleksi, informal ke formal), inter-twinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial, sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan).
4. Pembelajaran Langsung (DL, Direct Learning)
Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus pada ketrampilan dasar akan lebih efektif jika disampaikan dengan cara pembelajaran langsung. Sintaknya adalah menyiapkan siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau ekspositori (ceramah bervariasi).
5. Pembelajaran Berbasis masalah (PBL, Problem Based Learning)
Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemamuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap hatrus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dap[at berpikir optimal.
Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi (analisis), interpretasi, induksi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, konjektur, sintesis, generalisasi, dan inkuiri
6. Problem Solving
Dalam hal ini masalah didefinisikan sebagai suatu persoalan yang tidak rutin, belum dikenal cara penyelesaiannya. Justru problem solving adalah mencari atau menemukan cara penyelesaian (menemukan pola, aturan, atau algoritma). Sintaknya adalah: sajiakn permasalah yang memenuhi criteria di atas, siswa berkelompok atau individual mengidentifikasi pola atau atuiran yang disajikan, siswa mengidentifkasi, mengeksplorasi,menginvestigasi, menduga, dan akhirnya menemukan solusi.
7. Problem Posing
Bentuk lain dari problem posing adaslah problem posing, yaitu pemecahan masalah dngan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-bagian yang lebih simple sehingga dipahami. Sintaknya adalah: pemahaman, jalan keluar, identifikasi kekeliruan, menimalisasi tulisan-hitungan, cari alternative, menyusun soal-pertanyaan.
8. Problem Terbuka (OE, Open Ended)
Pembelajaran dengan problem (masalah) terbuka artinya pembelajaran yang menyajikan permasalahan dengan pemecahan berbagai cara (flexibility) dan solusinya juga bisa beragam (multi jawab, fluency). Pembelajaran ini melatih dan menumbuhkan orisinilitas ide, kreativitas, kognitif tinggi, kritis, komunikasi-interaksi, sharing, keterbukaan, dan sosialisasi. Siswa dituntuk unrtuk berimprovisasi mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi dalam memperoleh jawaban, jawaban siswa beragam. Selanjtynya siswa juda diinta untuk menjelaskan proses mencapai jawaban tersebut. Denga demikian model pembelajaran ini lebih mementingkan proses daripada produk yang akan membentiuk pola piker, keterpasuan, keterbukaan, dan ragam berpikir.
Sajian masalah haruslah kontekstual kaya makna secara matematik (gunakan gambar, diagram, table), kembangkan peremasalahan sesuai dengan kemampuan berpikir siswa, kaitakkan dengan materui selanjutnya, siapkan rencana bimibingan (sedikit demi sedikit dilepas mandiri).
Sintaknya adalah menyajikan masalah, pengorganisasian pembelajaran, perhatikan dan catat reson siswa, bimbingan dan pengarahan, membuat kesimpulan.
9. Probing-prompting
Teknik probing-prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian petanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan engetahuan sisap siswa dan engalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa memngkonstruksiu konsep-prinsip-aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan.
Dengan model pembelajaran ini proses tanya jawab dilakukan dengan menunjuk siswa secara acak sehingga setiap siswa mau tidak mau harus berpartisipasi aktif, siswa tidak bisa menghindar dari prses pembelajaran, setiap saat ia bisa dilibatkan dalam proses tanya jawab. Kemungkinan akan terjadi sausana tegang, namun demikian bisa dibiasakan. Untuk mngurang kondisi tersebut, guru hendaknya serangkaian pertanyaan disertai dengan wajah ramah, suara menyejukkan, nada lembut. Ada canda, senyum, dan tertawa, sehingga suasana menjadi nyaman, menyenangkan, dan ceria. Jangan lupa, bahwa jawaban siswa yang salah harus dihargai karena salah adalah cirinya dia sedang belajar, ia telah berpartisipasi
10. Pembelajaran Bersiklus (cycle learning)
Ramsey (1993) mengemukakan bahwa pembelajaran efektif secara bersiklus, mulai dari eksplorasi (deskripsi), kemudian eksplanasi (empiric), dan diakhiri dengan aplikasi (aduktif). Eksplorasi berarti menggali pengetahuan rasyarat, eksplnasi berarti menghenalkan konsep baru dan alternative pemecahan, dan aplikasi berarti menggunakan konsep dalam konteks yang berbeda.
11. Reciprocal Learning
Weinstein & Meyer (1998) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran harus memperhatikan empat hal, yaitu bagaimana siswa belajar, mengingat, berpikir, dan memotivasi diri. Sedangkan Resnik (1999) mwengemukan bhawa belajar efektif dengan cara membaca bermakna, merangkum, bertanya, representasi, hipotesis.
Untuk mewujudkan belajar efektif, Donna Meyer (1999) mengemukakan cara pembelajaran resiprokal, yaitu: informasi, pengarahan, berkelompok mengerjakan LKSD-modul, membaca-merangkum.
12. SAVI
Pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indar yang dimiliki siswa. Istilah SAVI sendiri adalah kependekan dari: Somatic yang bermakna gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik) di mana belajar dengan mengalami dan melakukan; Auditory yang bermakna bahwa belajar haruslah dengan melaluui mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan penndepat, dan mennaggapi; Visualization yang bermakna belajar haruslah menggunakan indra mata melallui mengamati, menggambar, mendemonstrasikan, membaca, menggunbakan media dan alat peraga; dan Intellectualy yang bermakna bahawa belajar haruslah menggunakan kemampuan berpikir (minds-on) nbelajar haruslah dengan konsentrasi pikiran dan berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan.
13. TGT (Teams Games Tournament)
Penerapan model ini dengan cara mengelompokkan siswa heterogen, tugas tiap kelompok bisa sama bis aberbeda. SDetelah memperoleh tugas, setiap kelompok bekerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan dinamikia kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana diskuisi nyaman dan menyenangkan sepeti dalam kondisi permainan (games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah , lembut, santun, dan ada sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok sehuingga terjadi diskusi kelas.
Jika waktunya memungkinkan TGT bisa dilaksanakan dalam beberapa pertemuan, atau dalam rangak mengisi waktu sesudah UAS menjelang pembagian raport. Sintaknya adalah sebagai berikut:
a. Buat kelompok siswa heterogen 4 orang kemudian berikan informasi pokok materi dan \mekanisme kegiatan
b. Siapkan meja turnamen secukupnya, missal 10 meja dan untuk tiap meja ditempati 4 siswa yang berkemampuan setara, meja I diisi oleh siswa dengan level tertinggi dari tiap kelompok dan seterusnya sampai meja ke-X ditepati oleh siswa yang levelnya paling rendah. Penentuan tiap siswa yang duduk pada meja tertentu adalah hasil kesewpakatan kelompok.
c. Selanjutnya adalah opelaksanaan turnamen, setiap siswa mengambil kartu soal yang telah disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk jangka waktu terttentu (misal 3 menit). Siswa bisda nmngerjakan lebbih dari satu soal dan hasilnya diperik\sa dan dinilai, sehingga diperoleh skor turnamen untuk tiap individu dan sekaligus skor kelompok asal. Siswa pada tiap meja tunamen sesua dengan skor yang dip[erolehnay diberikan sebutan (gelar) superior, very good, good, medium.
Bumping, pada turnamen kedua ( begitu juga untuk turnamen ketiga-keempat dst.), dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan sebutan gelar tadi, siswa superior dalam kelompok meja turnamen yang sama, begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi oleh siswa dengan gelar yang sama.
e. Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor individual, berikan penghargaan kelompok dan individual.
14. VAK (Visualization, Auditory, Kinestetic)
Model pebelajaran ini menganggap bahwa pembelajaran akan efektif dengan memperhatikan ketiga hal tersebut di atas, dengan perkataan lain manfaatkanlah potensi siwa yang telah dimilikinya dengan melatih, mengembangkannya. Istilah tersebut sama halnya dengan istilah pada SAVI, dengan somatic ekuivalen dengan kinesthetic.
15. AIR (Auditory, Intellectualy, Repetition)
Model pembelajaran ini mirip dengan SAVI dan VAK, bedanya hanyalah pada Repetisi yaitu pengulangan yang bermakna pendalama, perluasan, pemantapan dengan cara siswa dilatih melalui pemberian tugas atau quis.
16. TAI (Team Assisted Individualy)
Terjemahan bebas dari istilah di atas adalah Bantuan Individual dalam Kelompok (BidaK) dengan karateristirk bahwa (Driver, 1980) tanggung jawab vbelajar adalah pada siswa. Oleh karena itu siswa harus membangun pengetahuan tidak menerima bentuk jadi dari guru. Pola komunikasi guru-siswa adalah negosiasi dan bukan imposisi-intruksi.
Sintaksi BidaK menurut Slavin (1985) adalah: (1) buat kelompok heterogen dan berikan bahan ajar berupak modul, (2) siswa belajar kelompok dengan dibantu oleh siswa pandai anggota kelompok secara individual, saling tukar jawaban, saling berbagi sehingga terjadi diskusi, (3) penghargaan kelompok dan refleksi serta tes formatif.
17. STAD (Student Teams Achievement Division)
STAD adalah salah sati model pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen (4-5 orang), diskusikan bahan belajar-LKS-modul secara kolabratif, sajian-presentasi kelompok sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa atau kelompok, umumkan rekor tim dan individual dan berikan reward.
18. NHT (Numbered Head Together)
NHT adalah salah satu tipe dari pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen dan tiap siswa memiliki nomor tertentu, berikan persoalan materi bahan ajar (untuk tiap kelompok sama tapi untuk tiap siswa tidak sama sesuai dengan nomor siswa, tiasp siswa dengan nomor sama mendapat tugas yang sama) kemudian bekerja kelompok, presentasi kelompok dengan nomnor siswa yang sama sesuai tugas masing-masing sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan beri reward.
19. Jigsaw
Model pembeajaran ini termasuk pembelajaran koperatif dengan sintaks seperti berikut ini. Pengarahan, informasi bahan ajar, buat kelompok heterogen, berikan bahan ajar (LKS) yang terdiri dari beberapa bagian sesuai dengan banyak siswa dalam kelompok, tiap anggota kelompok bertugas membahasa bagian tertentu, tuiap kelompok bahan belajar sama, buat kelompok ahli sesuai bagian bahan ajar yang sama sehingga terjadi kerja sama dan diskusi, kembali ke kelompok aasal, pelaksnaa tutorial pada kelompok asal oleh anggotan kelompok ahli, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
20. TPS (Think Pairs Share)
Model pembelajaran ini tergolong tipe koperatif dengan sintaks: Guru menyajikan materi klasikal, berikan persoalan kepada siswa dan siswa bekerja kelompok dengan cara berpasangan sebangku-sebangku (think-pairs), presentasi kelompok (share), kuis individual, buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.
21. GI (Group Investigation)
Model koperatif tipe GI dengan sintaks: Pengarahan, buat kelompok heterogen dengan orientasi tugas, rencanakan pelaksanaan investigasi, tiap kelompok menginvestigasi proyek tertentu (bisa di luar kelas, misal mengukur tinggi pohon, mendata banyak dan jenis kendaraan di dalam sekolah, jenis dagangan dan keuntungan di kantin sekolah, banyak guru dan staf sekolah), pengoalahn data penyajian data hasi investigasi, presentasi, kuis individual, buat skor perkem\angan siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.
22. MEA (Means-Ends Analysis)
Model pembelajaran ini adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan sintaks: sajikan materi dengan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristic, elaborasi menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana, identifikasi perbedaan, susun sub-sub masalah sehingga terjadli koneksivitas, pilih strategi solusi
23. CPS (Creative Problem Solving)
Ini juga merupakan variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah melalui teknik sistematik dalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sintaksnya adalah: mulai dari fakta aktual sesuai dengan materi bahan ajar melalui tanya jawab lisan, identifikasi permasalahan dan fokus-pilih, mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk menentukan solusi, presentasi dan diskusi.
24. TTW (Think Talk Write)
Pembelajaran ini dimulai dengan berpikir melalui bahan bacaan (menyimak, mengkritisi, dan alternative solusi), hasil bacaannya dikomunikasikan dengan presentasi, diskusi, dan kemudian buat laopran hasil presentasi. Sinatknya adalah: informasi, kelompok (membaca-mencatatat-menandai), presentasi, diskusi, melaporkan.
25. TS-TS (Two Stay – Two Stray)
Pembelajaran model ini adalah dengan cara siswa berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan kelompok lain. Sintaknya adalah kerja kelompok, dua siswa bertamu ke kelompok lain dan dua siswa lainnya tetap di kelompoknya untuk menerima dua orang dari kelompok lain, kerja kelompok, kembali ke kelompok asal, kerja kelompok, laporan kelompok.
26. CORE (Connecting, Organizing, Refleting, Extending)
Sintaknya adalah (C) koneksi informasi lama-baru dan antar konsep, (0) organisasi ide untuk memahami materi, (R) memikirkan kembali, mendalami, dan menggali, (E) mengembangkan, memperluas, menggunakan, dan menemukan.
27. SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, Review)
Pembelajaran ini adalah strategi membaca yang dapat mengembangkan meta kognitif siswa, yaitu dengan menugaskan siswa untuk membaca bahan belajar secara seksama-cermat, dengan sintaks: Survey dengan mencermati teks bacaan dan mencatat-menandai kata kunci, Question dengan membuat pertanyaan (mengapa-bagaimana, darimana) tentang bahan bacaan (materi bahan ajar), Read dengan membaca teks dan cari jawabanya, Recite dengan pertimbangkan jawaban yang diberikan (cartat-bahas bersama), dan Review dengan cara meninjau ulang menyeluruh
28. SQ4R (Survey, Question, Read, Reflect, Recite, Review)
SQ4R adalah pengembangan dari SQ3R dengan menambahkan unsur Reflect, yaitu aktivitas memberikan contoh dari bahan bacaan dan membayangkan konteks aktual yang relevan.
29. MID (Meaningful Instructionnal Design)
Model ini adalah pembnelajaran yang mengutyamakan kebermaknaan belajar dan efektifivitas dengan cara membuat kerangka kerja-aktivitas secara konseptual kognitif-konstruktivis. Sintaknya adalah (1) lead-in dengan melakukan kegiatan yang terkait dengan pengalaman, analisi pengalaman, dan konsep-ide; (2) reconstruction melakukan fasilitasi pengalaan belajar; (3) production melalui ekspresi-apresiasi konsep
30. KUASAI
Pembelajaran akan efektif dengan melibatkan enam tahap berikut ini, Kerangka pikir untuk sukses, Uraikan fakta sesuai dengan gaya belajar, Ambil pemaknaan (mengetahui-memahami-menggunakan-memaknai), Sertakan ingatan dan hafalkan kata kunci serta koneksinya, Ajukan pengujian pemahaman, dan Introspeksi melalui refleksi diri tentang gaya belajar.
31. CRI (Certainly of Response Index)
CRI digunakan untuk mengobservasi proses pembelajaran yang berkenaan dengan tingkat keyakinan siswa tentang kemampuan yang dimilkinya untuk memilih dan menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya. Hutnal (2002) mengemukakan bahwa CRI menggunakan rubric dengan penskoran 0 untuk totally guested answer, 1 untuk amost guest, 2 untuk not sure, 3 untuk sure, 4 untuk almost certain, dn 5 untuk certain.
32. DLPS (Double Loop Problem Solving)
DPLS adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan penekanan pada pencarian kausal (penyebab) utama daritimbulnya masalah, jadi berkenaan dengan jawaban untuk pertanyaan mengapa. Selanutnya menyelesaikan masalah tersebut dengan cara menghilangkan gap uyang menyebabkan munculnya masalah tersebut.
Sintaknya adalah: identifkasi, deteksi kausal, solusi tentative, pertimbangan solusi, analisis kausal, deteksi kausal lain, dan rencana solusi yang terpilih. Langkah penyelesdai maslah sebagai berikurt: menuliskan pernyataan masalah awal, mengelompokkan gejala, menuliskan pernyataan masalah yang telah direvisi, mengidentifikasui kausal, imoplementasi solusi, identifikasi kausal utama, menemukan pilihan solusi utama, dan implementasi solusi utama.
33. DMR (Diskursus Multy Reprecentacy)
DMR adalah pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan, penggunaan, dan pemanfaatan berbagai representasi dengan setting kelas dan kerja kelompok. Sintaksnya adalah: persiapan, pendahuluan, pengemabangan, penerapan, dan penutup.
34. CIRC (Cooperative, Integrated, Reading, and Composition)
Terjemahan bebas dari CIRC adalah komposisi terpadu membaca dan menulis secara koperatif –kelompok. Sintaksnya adalah: membentuk kelompok heterogen 4 orang, guru memberikan wacana bahan bacaan sesuai dengan materi bahan ajar, siswa bekerja sama (membaca bergantian, menemukan kata kunci, memberikan tanggapan) terhadap wacana kemudian menuliskan hasil kolaboratifnya, presentasi hasil kelompok, refleksi.
35. IOC (Inside Outside Circle)
IOC adalah mode pembelajaran dengan sistim lingkaran kecil dan lingkaran besar (Spencer Kagan, 1993) di mana siswa saling membagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda dengan ssingkat dan teratur. Sintaksnya adalah: Separu dari sjumlah siswa membentuk lingkaran kecil menghadap keluar, separuhnya lagi membentuk lingkaran besar menghadap ke dalam, siswa yang berhadapan berbagi informasi secara bersamaan, siswa yang berada di lingkran luar berputar keudian berbagi informasi kepada teman (baru) di depannya, dan seterusnya
36. Tari Bambu
Model pembelajaran ini memberuikan kesempatan kepada siswa untuk berbagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda secara teratur. Strategi ini cocok untuk bahan ajar yang memerlukan pertukartan pengalaman dan pengetahuan antar siswa. Sintaksnya adalah: Sebagian siswa berdiri berjajar di depoan kelas atau di sela bangku-meja dan sebagian siswa lainnya berdiri berhadapan dengan kelompok siswa opertama, siswa yang berhadapan berbagi pengalkaman dan pengetahuan, siswa yang berdiri di ujung salah satui jajaran pindah ke ujunug lainnya pada jajarannya, dan kembali berbagai informasi.
37. Artikulasi
Artikulasi adlah mode pembelajaran dengan sintaks: penyampaian konpetensi, sajian materi, bentuk kelompok berpasangan sebangku, salah satu siswa menyampaikan materi yang baru diterima kepada pasangannya kemudian bergantian, presentasi di depan hasil diskusinya, guru membimbing siswa untuk menyimpulkan.
38. Debate
Debat adalah model pembalajaranb dengan sisntaks: siswa menjadi 2 kelompok kemudian duduk berhadapan, siswa membaca materi bahan ajar untuk dicermati oleh masing-masing kelompok, sajian presentasi hasil bacaan oleh perwakilan salah satu kelompok kemudian ditanggapi oleh kelompok lainnya begitu setrusnya secara bergantian, guru membimbing membuat kesimpulan dan menambahkannya biola perlu.
39. Role Playing
Sintak dari model pembelajaran ini adalah: guru menyiapkan scenario pembelajaran, menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari scenario tersebut, pembentukan kelompok siswa, penyampaian kompetensi, menunjuk siswa untuk melakonkan scenario yang telah dipelajarinya, kelompok siswa membahas peran yang dilakukan oleh pelakon, presentasi hasil kelompok, bimbingan penimpoulan dan refleksi.
40. Talking Stick
Suintak p[embelajana ini adalah: guru menyiapkan tongkat, sajian materi pokok, siswa mebaca materi lengkap pada wacana, guru mengambil tongkat dan memberikan tongkat kepada siswa dan siswa yang kebagian tongkat menjawab pertanyaan dari guru, tongkat diberikan kepad siswa lain dan guru memberikan petanyaan lagi dan seterusnya, guru membimbing kesimpulan-refleksi-evaluasi.