Jumat, 20 November 2009

SEMANGKA EMAS
(certa rakyat Melayu Sambas)

Pada zaman dahulu kala, di Sambas hiduplah seorang saudagar yang kaya raya. Saudagar tersebut mempunyai dua orang anak laki-laki. Anaknya yang sulung bernama Muzakir, dan yang bungsu bernama Dermawan. Muzakir sangat loba dan kikir. Setiap hari kerjanya hanya mengumpulkan uang saja. Ia tidak perduli kepada orang-orang miskin. Sebaliknya Dermawan sangat berbeda tingkah lakunya. Ia tidak rakus dengan uang dan selalu bersedekah kepada fakir miskin.
Sebelum meninggal, saudagar tersebut membagi hartanya sama rata kepada kedua anaknya. Maksudnya agar anak-anaknya tidak berbantah dan saling iri, terutama bila ia telah meninggal kelak.
Muzakir langsung membeli peti besi. Uang bagiannya dimasukkan ke dalam peti tersebut, lalu dikuncinya. Bila ada orang miskin datang, bukannnya ia memberi sedekah, melainkan ia tertawa terbahak-bahak melihat orang miskin yang pincang, buta dan lumpuh itu. Bila orang miskin itu tidak mau pergi dari rumahnya, Muzakir memanggil orang gajiannya untuk mengusirnya. Orang-orang miskin kemudian berduyun-duyun datang ke rumah Dermawan.
Dermawan selalu menyambut orang-orang miskin dengan senang hati. Mereka dijamunya makan dan diberi uang karena ia merasa iba melihat orang miskin dan melarat. Lama kelamaan uang Dermawan habis dan ia tidak sanggup lagi membiayai rumahnya yang besar. Ia pun pindah ke rumah yang lebih kecil dan harus bekerja. Gajinya tidak seberapa, sekedar cukup makan saja. Tetapi ia sudah merasa senang dengan hidupnya yang demikian. Muzakir tertawa terbahak-bahak mendengar berita Dermawan yang dianggapnya bodoh itu. Muzakir telah membeli rumah yang lebih bagus dan kebun kelapa yang luas. Tetapi Dermawan tidak menghiraukan tingkah laku abangnya.
Suatu hari Dermawan duduk-duduk melepaskan lelah di pekarangan rumahnya. Tiba-tiba jatuhlah seekor burung pipit di hadapannya. Burung itu mencicit-cicit kesakitan "Kasihan," kata Dermawan. "Sayapmu patah, ya?" lanjut Dermawan seolah-olah ia berbicara dengan burung pipit itu. Ditangkapnya burung tersebut, lalau diperiksanya sayapnya. Benar saja, sayap burung itu patah. "Biar kucoba mengobatimu," katanya. Setelah diobatinya lalu sayap burung itu dibalutnya perlahan-lahan. Kemudian diambilnya beras. Burung pipit itu diberinya makan.
Burung itu menjadi jinak dan tidak takut kepadanya. Beberapa hari kemudian, burung itu telah dapat mengibas-ngibaskan sayapnya, dan sesaat kemudian ia pun terbang. Keesokan harinya ia kembali mengunjungi Dermawan. Di paruhnya ada sebutir biji, dan biji itu diletakkannya di depan Dermawan. Dermawan tertawa melihatnya. Biji itu biji biasa saja. Meskipun demikian, senang juga hatinya menerima pemberian burung itu. Biji itu ditanam di belakang rumahnya.
Tiga hari kemudian tumbuhlah biji itu. Yang tumbuh adalah pohon semangka. Tumbuhan itu dipeliharanya baik-baik sehingga tumbuh dengan subur. Pada mulanya Dermawan menyangka akan banyak buahnya. Tentulah ia akan kenyang makan buah semangka dan selebihnya akan ia sedekahkan. Tetapi aneh, meskipun bunganya banyak, yang menjadi buah hanya satu. Ukuran semangka ini luar biasa besarnya, jauh lebih dari semangka umumnya. Sedap kelihatannya dan harum pula baunya. Setelah masak, Dermawan memetik buah semangka itu. Amboi, bukan main beratnya. Ia terengah-engah mengangkatnya dengan kedua belah tangannya. Setelah diletakkannya di atas meja, lalu diambilnya pisau. Ia membelah semangka itu. Setelah semangka terbelah, betapa kagetnya Dermawan. Isi semangka itu berupa pasir kuning yang bertumpuk di atas meja. Ketika diperhatikannya sungguh-sungguh, nyatalah bahwa pasir itu adalah emas urai murni. Dermawan pun menari-nari karena girangnya. Ia mendengar burung mencicit di luar, terlihat burung pipit yang pernah ditolongnya hinggap di sebuah tonggak. "Terima kasih! Terima kasih!" seru Dermawan. Burung itu pun kemudian terbang tanpa kembali lagi.
Keesokan harinya Dermawan memberli rumah yang bagus dengan pekarangan yang luas sekali. Semua orang miskin yang datang ke rumahnya diberinya makan. Tetapi Dermawan tidak akan jatuh miskin seperti dahulu, karena uangnya amat banyak dan hasil kebunnya melimpah ruah. Rupanya hal ini membuat Muzakir iri hati. Muzakir yang ingin mengetahui rahasia adiknya lalu pergi ke rumah Dermawan. Di sana Dermawan menceritakan secara jujur kepadanya tentang kisahnya.
Mengetahui hal tersebut, MUzakir langsung memerintahkan orang-orang gajiannya mencari burung yang patah kaki atau patah sayapnya di mana-mana. Namun sampai satu minggu lamanya, seekor burung yang demikian pun tak ditemukan. MUzakir sungguh marah dan tidak dapat tidur. Keesokan paginya, Muzakir mendapat akal. Diperintahkannya seorang gajiannya untuk menangkap burung dengan apitan. Tentu saja sayap burung itu menjadi patah. Muzakir kemudian berpura-pura kasihan melihatnya dan membalut luka pada sayap burung. Setelah beberapa hari, burung itu pun sembuh dan dilepaskan terbang. Burung itu pun kembali kepada Muzakir untuk memberikan sebutir biji. Muzakir sungguh gembira.
Biji pemberian burung ditanam Muzakir di tempat yang terbaik di kebunnya. Tumbuh pula pohon semangka yang subur dan berdaun rimbun. Buahnya pun hanya satu, ukurannya lebih besar dari semangka Dermawan. Ketika dipanen, dua orang gajian Muzakir dengan susah payah membawanya ke dalam rumah karena beratnya. Muzakir mengambil parang. Ia sendiri yang akan membelah semangka itu. Baru saja semangka itu terpotong, menyemburlah dari dalam buah itu lumpur hitam bercampur kotoran ke muka Muzakir. Baunya busuk seperti bangkai. Pakaian Muzakir serta permadani di ruangan itu tidak luput dari siraman lumpur dan kotoran yang seperti bubur itu. Muzakir berlari ke jalan raya sambil menjerit-jerit. Orang yang melihatnya dan mencium bau yang busuk itu tertawa terbahak-bahak sambil bertepuk tangan dengan riuhnya.
diceritakan kembali oleh Hendy Lie
(diolah dari Cerita Rakyat dari Kalimantan Barat 2, Syahzaman, PT.Grasindo, 1995)
ASAL USUL DANAU TOBA

Di wilayah Sumatera hiduplah seorang petani yang sangat rajin bekerja. Ia hidup sendiri sebatang kara. Setiap hari ia bekerja menggarap lading dan mencari ikan dengan tidak mengenal lelah. Hal ini dilakukannya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Pada suatu hari petani tersebut pergi ke sungai di dekat tempat tinggalnya, ia bermaksud mencari ikan untuk lauknya hari ini. Dengan hanya berbekal sebuah kail, umpan dan tempat ikan, ia pun langsung menuju ke sungai. Setelah sesampainya di sungai, petani tersebut langsung melemparkan kailnya. Sambil menunggu kailnya dimakan ikan, petani tersebut berdoa,“Ya Alloh, semoga aku dapat ikan banyak hari ini”. Beberapa saat setelah berdoa, kail yang dilemparkannya tadi nampak bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani tersebut sangat senang sekali, karena ikan yang didapatkannya sangat besar dan cantik sekali.

Setelah beberapa saat memandangi ikan hasil tangkapannya, petani itu sangat terkejut. Ternyata ikan yang ditangkapnya itu bisa berbicara. “Tolong aku jangan dimakan Pak!! Biarkan aku hidup”, teriak ikan itu. Tanpa banyak Tanya, ikan tangkapannya itu langsung dikembalikan ke dalam air lagi. Setelah mengembalikan ikan ke dalam air, petani itu bertambah terkejut, karena tiba-tiba ikan tersebut berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik.

“Jangan takut Pak, aku tidak akan menyakiti kamu”, kata si ikan. “Siapakah kamu ini? Bukankah kamu seekor ikan?, Tanya petani itu. “Aku adalah seorang putri yang dikutuk, karena melanggar aturan kerajaan”, jawab wanita itu. “Terimakasih engkau sudah membebaskan aku dari kutukan itu, dan sebagai imbalannya aku bersedia kau jadikan istri”, kata wanita itu. Petani itupun setuju. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.

Setelah beberapa lama mereka menikah, akhirnya kebahagiaan Petani dan istrinya bertambah, karena istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Anak mereka tumbuh menjadi anak yang sangat tampan dan kuat, tetapi ada kebiasaan yang membuat heran semua orang. Anak tersebut selalu merasa lapar, dan tidak pernah merasa kenyang. Semua jatah makanan dilahapnya tanpa sisa.

Hingga suatu hari anak petani tersebut mendapat tugas dari ibunya untuk mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi tugasnya tidak dipenuhinya. Semua makanan yang seharusnya untuk ayahnya dilahap habis, dan setelah itu dia tertidur di sebuah gubug. Pak tani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Karena tidak tahan menahan lapar, maka ia langsung pulang ke rumah. Di tengah perjalanan pulang, pak tani melihat anaknya sedang tidur di gubug. Petani tersebut langsung membangunkannya. “Hey, bangun!, teriak petani itu.

Setelah anaknya terbangun, petani itu langsung menanyakan makanannya. “Mana makanan buat ayah?”, Tanya petani. “Sudah habis kumakan”, jawab si anak. Dengan nada tinggi petani itu langsung memarahi anaknya. "Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri! Dasar anak ikan!," umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan dari istrinya.

Setelah petani mengucapkan kata-kata tersebut, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba.


Cerita Rakyat “Asal Usul Danau Toba”, diceritakan kembali oleh Kak Ghulam Pramudiana
SAUDAGAR JERAMI

Dahulu kala, ada seorang pemuda miskin yang bernama Taro. Ia bekerja untuk ladang orang lain dan tinggal dilumbung rumah majikannya. Suatu hari, Taro pergi ke kuil untuk berdoa. "Wahai, Dewa Rahmat! Aku telah bekerja dengan sungguh-sungguh, tapi kehidupanku tidak berkercukupan". "Tolonglah aku agar hidup senang". Sejak saat itu setiap selesai bekerja, Taro pergi ke kuil. Suatu malam, sesuatu yang aneh membangunkan Taro. Di sekitarnya menjadi bercahaya, lalu muncul suara. "Taro, dengar baik-baik. Peliharalah baik-baik benda yang pertama kali kau dapatkan esok hari. Itu akan membuatmu bahagia."
Keesokan harinya ketika keluar dari pintu gerbang kuil, Taro jatuh terjerembab. Ketika sadar ia sedang menggenggam sebatang jerami. "Oh, jadi yang dimaksud Dewa adalah jerami, ya? Apa jerami ini akan mendatangkan kebahagiaan…?", pikir Taro. Walaupun agak kecewa dengan benda yang didapatkannya Taro lalu berjalan sambil membawa jerami. Di tengah jalan ia menangkap dan mengikatkan seekor lalat besar yang terbang dengan ributnya mengelilingi Taro di jeraminya. Lalat tersebut terbang berputar-putar pada jerami yang sudah diikatkan pada sebatang ranting. "Wah menarik ya", ujar Taro. Saat itu lewat kereta yang diikuti para pengawal. Di dalam kereta itu, seorang anak sedang duduk sambil memperhatikan lalat Taro. "Aku ingin mainan itu." Seorang pengawal datang menghampiri Taro dan meminta mainan itu. "Silakan ambil", ujar Taro. Ibu anak tersebut memberikan tiga buah jeruk sebagai rasa terima kasihnya kepada Taro.

"Wah, sebatang jerami bisa menjadi tiga buah jeruk", ujar Taro dalam hati. Ketika meneruskan perjalanannya, terlihat seorang wanita yang sedang beristirahat dan sangat kehausan. "Maaf, adakah tempat di dekat sini mata air ?", tanya wanita tadi. "Ada dikuil, tetapi jaraknya masih jauh dari sini, kalau anda haus, ini kuberikan jerukku", kata Taro sambil memberikan jeruknya kepada wanita itu. "Terima kasih, berkat engkau, aku menjadi sehat dan segar kembali". Terimalah kain tenun ini sebagai rasa terima kasih kami, ujar suami wanita itu. Dengan perasaan gembira, Taro berjalan sambil membawa kain itu. Tak lama kemudian, lewat seorang samurai dengan kudanya. Ketika dekat Taro, kuda samurai itu terjatuh dan tidak mampu bergerak lagi. "Aduh, padahal kita sedang terburu-buru." Para pengawal berembuk, apa yang harus dilakukan terhadap kuda itu. Melihat keadaan itu, Taro menawarkan diri untuk mengurus kuda itu. Sebagai gantinya Taro memberikan segulung kain tenun yang ia dapatkan kepada para pengawal samurai itu. Taro mengambil air dari sungai dan segera meminumkannya kepada kuda itu. Kemudian dengan sangat gembira, Taro membawa kuda yang sudah sehat itu sambil membawa 2 gulung kain yang tersisa.
Ketika hari menjelang malam, Taro pergi ke rumah seorang petani untuk meminta makanan ternak untuk kuda, dan sebagai gantinya ia memberikan segulung kain yang dimilikinya. Petani itu memandangi kain tenun yang indah itu, dan merasa amat senang. Sebagai ucapan terima kasih petani itu menjamu Taro makan malam dan mempersilakannya menginap di rumahnya. Esok harinya, Taro mohon diri kepada petani itu dan melanjutkan perjalanan dengan menunggang kudanya.
Tiba-tiba di depan sebuah rumah besar, orang-orang tampak sangat sibuk memindahkan barang-barang. "Kalau ada kuda tentu sangat bermanfaat," pikir Taro. Kemudian taro masuk ke halaman rumah dan bertanya apakah mereka membutuhkan kuda. Sang pemilik rumah berkata,"Wah kuda yang bagus. Aku menginginkannya, tetapi aku saat ini tidak mempunyai uang. Bagaimanan kalau ku ganti dengan sawahku ?". "Baik, uang kalau dipakai segera habis, tetapi sawah bila digarap akan menghasilkan beras, Silakan kalau mau ditukar", kata Taro.
"Bijaksana sekali kau anak muda. Bagaimana jika selama aku pergi ke negeri yang jauh, kau tinggal disini untuk menjaganya ?", Tanya si pemilik rumah. "Baik, Terima kasih Tuan". Sejak saat itu taro menjaga rumah itu sambil bekerja membersihkan rerumputan dan menggarap sawah yang didapatkannya. Ketika musim gugur tiba, Taro memanen padinya yang sangat banyak.
Semakin lama Taro semakin kaya. Karena kekayaannya berawal dari sebatang jerami, ia diberi julukan "Saudagar Jerami". Para tetangganya yang kaya datang kepada Taro dan meminta agar putri mereka dijadikan istri oleh Taro. Tetapi akhirnya, Taro menikah dengan seorang gadis dari desa tempat ia dilahirkan. Istrinya bekerja dengan rajin membantu Taro. Merekapun dikaruniai seorang anak yang lucu. Waktu terus berjalan, tetapi Si pemilik rumah tidak pernah kembali lagi. Dengan demikian, Taro hidup bahagia bersama keluarganya.

Kontribusi dari : Nisa (Setiazuriatinidamai_99 @yahoo. co.id)
EMAS DAN BATU

Berkat kerja keras dan selalu menabung, petani itu akhirnya kaya raya. Karena tak ingin tetangganya tahu mengenai kekayaannya, seluruh tabungannya dibelikan emas dan dikuburnya emas itu di sebuah lubang di belakang rumahnya. Seminggu sekali digalinya lubang itu, dikeluarkan emasnya, dan diciuminya dengan penuh kebanggaan. Setelah puas, ia kembali mengubur emasnya.

Pada suatu hari, seorang penjahat melihat perbuatan petani itu. Malam harinya, penjahat itu mencuri seluruh emas si petani.

Esok harinya petani itu menangis meraung-raung sehingga seluruh tetangga mengetahui apa yang terjadi. Tak seorang tetangga pun tahu siapa yang mencuri emasnya. Jangankan soal pencurian, tentang lubang berisi emas itu saja mereka baru tahu hari itu. Kalau tidak ada pencurian, tak ada yang tahu bahwa petani itu memiliki emas yang dikubur di belakang rumahnya. Sebagian orang ikut bersedih atas pencurian itu, sebagian yang lain mengejek dan menganggap petani itu bodoh.

“Salah sendiri menyimpan emas di rumah. Mengapa tidak dijual saja dan uangnya dipakai untuk membangun rumah. Biar rumahnya lebih bagus, tidak reot seperti sekarang. Itulah ganjaran orang kikir. Kalau dimintai sumbangan, selalu saja jawabannya tidak punya. Sekarang, rasakan sendiri!”

Tetapi tak seorang pun yang berani terus terang mengejek atau mengumpat petani yang ditimpa kemalangan itu. Semua ejekan dan umpatan hanya diucapkan di antara sesama mereka saja, tidak di hadapan si petani. Hanya seorang lelaki tua miskin yang berani bersikap jujur kepada petani itu. Lelaki tua itu tinggal tak jauh dari rumah si petani.

“Sudahlah, begini saja. Di lubang bekas emas itu kuburkanlah sebongkah batu atau apa saja dan berlakulah seperti sebelum kau kecurian.”

Mendengar itu, si petani marah.

“Apa maksudmu? Kau mengejekku, ya? Yang hilang itu emas, bukan batu. Kau sungguh tetangga yang jahat. Kau memang orang miskin yang cuma bisa mengubur batu. Aku bisa mengubur emas atau apa saja semauku. Kini aku kehilangan emas dan kau enak saja menyuruhku mengubur batu. Kau pikir batu sama dengan emas?!”

Suasana pun gaduh. Orang-orang melerai.

Dengan tenang lelaki tua itu menjawab:

“Apa bedanya emas dan batu? Kalau kau bisa mengubur emas, seharusnya kau juga bisa mengubur batu. Tahukah kau, dengan mengubur emas berarti kau telah menjadikan logam mulia itu sebagai barang yang tidak berharga. Lalu, apa salahnya kau mengubur batu dan berkhayal yang kau kubur itu adalah emas.”



(Diceritakan kembali oleh: Prih Suharto. Sumber: Sketches for a Portrait of Vietnamese Culture)
prih_suharto @ yahoo . com
KUCING YANG TERLUPAKAN

Di sebuah perumahan, hiduplah seekor kucing berwarna hitam. Nama kucing itu Molly. Ia tinggal di rumah keluarga Jones. Molly selalu memburu dan memakan tikus-tikus yang suka mencuri makanan di dapur keluarga Jones.


Molly memang seekor kucing yang lucu dan menggemaskan. Matanya berwarna hijau dan kumisnya panjang berwarna putih. Ia suka mendengkur dan sangat senang bila tubuhnya dibelai.

Namun, tidak seorang pun di keluarga Jones suka membelai Molly. Kedua anak di keluarga Jones kurang menyukai binatang, sedang nyonya Jones sering membentak Molly jika ia mengeong waktu nyonya Jones sedang memasak ikan.
Di samping rumah keluarga Jones, hiduplah seorang anak bernama Billy. Billy adalah anak yang baik dan sangat menyayangi binatang. Karena itu ia juga sangat menyayangi Molly. Setiap sore Molly melompat dari pagar keluarga Jones untuk mencari Billy dan minta dibelai. “Alangkah senangnya aku jika Molly ini kucingku,” kata Billy kepada ibunya. “Aku ingin memelihara kucing juga, bu!” Tetapi ibu Billy tidak ingin memelihara binatang di rumahnya, walaupun sebenarnya ia juga suka kepada Molly.
Pada suatu hari kuarga Jones pergi ke luar kota. Saat hendak berangkat, anak-anak keluarga Jones berpamitan kepada Billy. Rupanya mereka hendak pergi berlibur selama sebulan.
Setelah memasukkan semua barang ke dalam taksi, keluarga Jones berangkat. “Molly pasti diajak juga,” pikir Billy. Namun ia keliru. Ia sangat terkejut saat melihat Molly masih ada di halaman rumah keluarga Jones. Billy lalu menceritakan hal itu kepada ibunya. “Pasti ada orang yang diberi tugas untuk merawat dan memberi makan Molly setiap hari,” kata ibu Billy.
Molly bertanya-tanya ke mana tuannya pergi. Setelah lama menunggu ia menggaruk-garuk pintu dapur dengan cakarnya berharap dibukakan pintu. Tetapi tampaknya tidak ada orang di dalam rumah. Molly lalu memeriksa kalau-kalau ada jendela yang terbuka sehingga ia bisa masuk, tapi ternyata semua jendela terkunci rapat.
Molly merasa kesepian. Tetapi ia berharap tuannya akan pulang nanti sore.
Tetapi setelah lama menunggu tuannya tidak juga pulang. Molly mulai merasa kelaparan. Ia juga kedinginan karena harus tidur di luar. Walaupun bersembunyi di dalam semak-semak, ia tetap basah karena kehujanan. Molly mulai sakit.
Dua hari telah berlalu. Karena kelaparan Molly memakan tulang kering yang ditemukannya dan juga daun-daun kering yang ada disekitar rumah. Penyakitnya juga semakin parah. Ia bersin-bersin dan lemas.
Pada hari keempat Molly sudah menjadi sangat kurus. Ia bahkan hampir tidak bisa berjalan karena sangat lemah. Ia lalu teringat kepada Billy, anak yang tinggal di rumah sebelah. Siapa tahu Billy bisa memberinya makanan.
Ia lalu berjalan pelan menuju rumah Billy. Saat melihat Molly, Billy hampir tidak mengenalinya lagi. “Astaga!, kaukah itu Molly?” seru Billy terkejut. Ia berlutut dan membelai Molly. “Oh kasihan, kau sangat kurus, pasti kau kelaparan. Apakah tidak ada orang yang diberi tugas untuk memberimu makan?”
Billy segera mengambilkan ikan dan susu untuk Molly. “Oh kasihan,” kata ibu Billy. Untuk sementara biar saja ia tidur di dapur kita.”
Molly sangat senang. Setelah makan dengan lahap, ia lalu tidur dengan nyenyak di dapur ibu Billy. Billy bahkan memberinya tempat tidur dari kotak kayu. Billy juga membersihkan badannya yang kotor karena beberapa hari tidur di semak-semak.
Malamnya, Molly benar-benar terkejut. Ternyata dapur ibu Billy banyak sekali tikusnya. Maka ia pun menangkap tikus-tikus itu, karena ia ingin membalas kebaikan Billy dan ibunya.
Keesokan harinya ibu Billy terkejut karena melihat banyak sekali tikus yang telah ditangkap oleh Molly. Ibu Billy sangat senang. Molly pun menjadi semakin disayang di keluarga itu.
Sebulan kemudian, keluarga Jones pulang dari berlibur. Dengan berat hari Billy mengantar Molly pulang ke rumah keluarga Jones. Tapi, setiap diantar pulang, Molly selalu melarikan diri dan kembali ke rumah Billy. Molly tahu bahwa Billy dan ibunya sangat menyayanginya, tidak seperti keluarga Jones yang tega menelantarkannya.
Karena keluarga Jones tidak terlalu memperdulikan Molly akhirnya mereka pun memberikan kucing itu kepada Billy.
Akhirnya Molly pun tinggal bersama Billy dan ibunya. Ia sangat bahagia karena selalu disayang dan dibelai. Ibu Billy pun senang karena dapurnya menjadi bebas dari gangguan tikus.

Kamis, 19 November 2009

VIRUUUUUS

VIRUS BARU

Sebuah virus baru sudah ditemukan, dan digolongkan oleh Microsoft sebagai yang paling merusak! Virus itu baru ditemukan pada hari Minggu siang yang lalu (27 agustus 2009) oleh McAfee dan belum ditemukan vaksin untuk mengalahkannya. Virus ini merusak Zero dari Sektor hard disc yang menyimpan fungsi informasi-informasi terpenting.
Virus ini berjalan sebagai berikut : Secara otomatis virus ini akan terkirim ke semua nama dalam daftar alamat anda dengan judul ; "Sebuah Kartu Untuk Anda" ("Une Carte Pour Vous" atau "A Card For You"). Begitu kartu virtual itu terbuka, virus itu akan membekukan komputer sehingga penggunanya harus memulainya kembali dan kalau anda menekan CTRL+ALT+DEL atau perintah untuk restart, virus itu akan merusak Zero dari Sektor Boot hard disk, sehingga hard disk akan rusak secara permanen.
Menurut CNN, virus itu dalam beberapa jam sudah menimbulkan kepanikan di NewYork dan peringatan ini telah diterima oleh pegawai Microsoft sendiri.

Jangan membuka e-mail dengan judul: "Sebuah Kartu Untuk Anda" ("Une Carte Pour Vous" atau "A Card For You").
Kirimkan pesan ini kepada semua teman anda atau yang memiliki Grup silakan kirim ke semua anggotanya.
Saya rasa bahwa sebagian besar orang lebih suka mendapat peringatan ini 25 kali daripada tidak sama sekali.

***AWAS!!! Jangan terima kontak dari pti_bout_de_ chou@hotmail. com (ini virus yang akan memformat komputer anda).
Kirimkan pesan ini ke semua orang yang ada di dalam daftar alamat anda. Kalau anda tidak melakukannya dan salah seorang teman anda memasukkannya dalam daftar alamatnya, komputer anda juga akan terkena.

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

JIWA BESAR

PENTINYA BERJIWA BESAR BAGI GURU

Profesi guru dapat dikatakan sebagai profesi pelayanan di bidang jasa, sama halnya dengan orang yang bekerja di bidang kesehatan, atau di bidang jasa lainnya. Orang orang yang bekerja dalam bidang jasa bekerja sesuai dengan moto yang dianut oleh instansi mereka, sebagai contoh "Kami melayani anda dengan senyum, kami melayani anda dengan sepenuh hati, Kepuasan pelanggan adalah komitmen kami, dan lain-lain". Namu sebagian guru ada yang telah melupakan motto mereka-tut wuri hadayani, sebagai konsekwensinya mereka cenderung mengajar sesuka hati, atau sesuai dengan kata hati saja. Barangkali karena mereka cuma banyak berhubungan dengan manusia kecil- anak didik, yang mungkin tak perlu pelayanan.

Orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan mungkin juga berfikir demikian pula. "Wah kan cuma melayani orang sakit, pasien yang baik, tentu pasien yang patuh dan tidak banyak ngomong dan mematuhi suruhan dan larangan rumah sakit". Namun entah mengapa secara pelan-pelan pasien menyerbu rumah sakit di Melaka, di Negara jiran. Apa alasannya "kami puas dengan pelayanan yang mereka berikan".

Baru-baru ini ada teman baru pulang dari mengikuti program magang guru di Australia (Program magang guru MIPA-guru SBI- Propinsi Sumatra Barat) mengatakan bahwa kualitas otak guru-guru kita tidak kalah dari kualitas guru-guru di Austraia. Keunggulan atau kelebihan guru di sana adalah pelayannan mereka pada anak didik, atau prefesionalitas dalam pelayanan selama pembelajaran. .

Bila anak didik bertanya pada guru dalam suatu kelas, "Miss Nancy, I don't understand about this subject". Maka guru dengan serta merta segera bangkit, tersenyum dan buru buru mendatangi bangku siswa sambil berucap " What Can I do for you", kalau siswa mampu menyelesaikan sebuah problem, langsung member appresiasi "Oh great, how could you do that", dan kalau siswa salah/ belum benar dalam mengerjakan soal, masih berucap hal-hal positif " That's oke, I am sure you can do it".

Hal yang kontra, tanpa merendahkan kualitas guru kita sendiri, kalau ada seorang siswa yang bertanya dalam PMB maka dengan bergaya seorang Boss siswa akan dipanggi ke depan/ ke meja guru "Yang tidak mengerti mari maju ke depan". Atau komentar lain, "Ini saja kamu tidak mengerti". Kemudian kalau siswa melakukan kesalahan dalam menjawab soal maka kita/ guru akan berkomentar, "Wah kalau begini cara kamu lebih baik kamu turun kelas atau ikut les privat saja !". Alhasil banyak siswa cenderung memilih bungkem dari pada di marahi atau ditertawakan guru.

Apakah ekspresi di atas terlalu mengada-ada atau tidak, namun fenomena tersebut dapat kita jumpai dengan mudah pada berbagai sekolah. Kalau begitu kenyataannya apa yang kurang bagi kita sebagai guru ? Tentu saja kita kurang berjiwa besar, kurang menyadari bahwa kita digaji atau dibayar oleh negara untuk mendidik, apalagi bagi guru yang sudah menerima imbalan sertifikasi maka sudah sewajarnya kita menunjukan pelayanan prima- excellent service- dalam PBM, dan segera menjadi guru yang memiliki jiwa besar dan berfikir positif.

Berjiwa besar dan berfikiran positif ? David J Schwartz (1996) menulis buku dengan judul "The Magic of thinking big", yaitu tentang berfikir dan berjiwa besar. Idenya sangat bagus kita adopsi, sebagai guru, agar kita bisa meningkatakan pengabdian dan pelayanan pada anak didik. s

Kata "berfikir positif" sering diikuti oleh kata `berjiwa besar". Dalam hidup banyak orang yang berbicara tentang kata atau frase tersebut. Ini menandakan kesadaran untuk menjadi manusia yang baik sudah menjadi dambaan. Orang yang memiliki pikiran positif dan sekaligus berjiwa besar sangat dihargai dan dianggap memiliki derajat yang tinggi. Menjadi orang yang berfikiran positif dan berjiwa besar dapat digapai dengan ilmu dan mengamalkan agama,

Dalam Al-Quran (58:11) dijelaskan bahwa Allah Swt meninggikan derajat orang yang beriman, yaitu orang yang diberi ilmu. Sekali lagi, bahwa untuk menjadi orang yang berfikiran positif, sangat membutuhakan ilmu pengetahuan, pembiasaan, atau latihan dan kesabaran. Berfikir positif sangat bermanfaat bagi guru sebagai pendidik. Salah satu manfaat yang kita rasakan adalah menjadi guru yang berhasil dalam mendidik.
Keberhasilan dalam hidup, apakah sebagai pebisnis, sebagai guru, wiraswasta, dan lain-lain, tidak bergantung pada besarnya otak yang kita miliki atau kecerdasan kita saat kuliah dulu, tetapi ditentukan oleh cara berfikir positif- berarti kemampuan affektif. Maka berarti bersekolah sudah tidak tepat lagi kalau hanya untuk mencerdaskan otak, namun membiarkan sikap atau kepribadian menjadi kerdil.

Harus diakui bahwa kita dan semua guru adalah produk dari cara berfikir orang di lingkungan kita- cara mereka merespon dan memberi kita stimulus sejak kecil. Coba ingat dan perhatikan cara berfikir orang tua kita, paman kita, tetangga, atau kenalan kita atau kita sendiri: "kalau badan saya cukup sehat cuma kantong saja yang sakit. Tetangga saya kerjanya cuma goyang-goyang kaki, tiba tiba kok jadi kaya mendadak…,kepala sekolah saya kerjanya mengurus proyek melulu….., Saya ingin maju tapi tidak punya waktu…!" Demikian beberapa komentar, yang terwujud dari cara berbicara dan cara berfikir kita dalam percakapan pribadi. Ini pertanda bahwa kebanyakan cara berfikir kita bisa jadi juga kerdil.

Anak-anak kita dan siswa-siswi kita menjadi orang baik atau menjadi orang buruk juga ditentukan dari cara berfikir kita. "Menurut ku, kamu adalah anak yang baik. Kamu disenangi karena sungguh jujur atau saya tidak sudi lagi menajak kamu belajar di sini, …susah saya lagi untuk percaya padamu". Kata kata yang kita ucapkan segera kita lupakan namun selalu tertancap dalam sanubari anak, adik dan kenalan kita dan sekaligus akan mempengaruhi pribadi mereka.

Eksistensi (keberadaan) diri kita memang ditentukan dari cara kita berfikir. Apakah fikiran kita menetukan diri kita sebagai guru yang berharga atau tidak. Kalau fikiran kita mengungkapkan diri kita adalah guru yang berharga maka mari kita wujudkan ke dalam penampilan , cara berpakaian, cara berjalan, cara tersenyum dan cara berbicara, Maka kemudian beritahu orang tentang apa yang bisa kita perbuat. "Apa yang bisa saya kerjakan buat anda ?" dan kita tidak akan berucap lagi "Maaf saya tidak sanggup". Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan kalau kita sungguh-sungguh ingin menjadi guru berhati lapang (berfikiran positif) tanpa pernah membiarkan jiwa tumbuh kerdil,yaitu: menjaga kualitas human relation, mempelajari tentang bagaimana menjadi guru berhati lapang atau berjiwa besar.

Never let personality grow small

Never let personality grow small atau jangan biarkan jiwa tumbuh kerdil. Ada hal-hal yang perlu kita hindari karena berpotensi membuat jiwa tumbuh kerdil seperti kebisaaan suka berdalih, memompakan pikiran negatif pada banyak orang, anti kerja keras dan malas. Hal-hal sepele ini bisa bercokol pada diri kita dan kadang kala kita pelihara sepanjang waktu.

Tidak bagus jadi pendidik yang gemar berdalih atau mencari-cari alasan. Namun kenyataannya kita gemar melontarkan ekspresi berdalih. Ketika kita diberi amant untuk tampil kita berdalih, "Wah pak, janganlah dulu, saya belum siap…., wah pekerjaan itu terlalu mudah buat saya, atau apakah Bapak tega melihat saya berlumuran Lumpur…!"

Selanjutnya cegahlah pertumbuhan jiwa yang kerdil dengan memilki karakter suka belajar/ bekerja keras dan tekun dalam kehidupan ini. Untuk menjadi sukses, misal menjadi guru inti, menjadi kepala sekolah, menjadi wydiaswara, menjadi penulis sukses- atau sukses pada bidang lain, maka diperlukan ketekunan dan kerja keras. Ki Hajar Dewantoro, telah member model buat kita. Ia sangat tekun dan suka kerja keras sehingga motonya "ing madya mangun karso, ing ngarso sing tulodo, tut wuri handayani' dikenang sepajang zaman. Sayang banyak guru kurang paham dengan moto ini lagi.

Human relation

Cara kita berfikir, apakah cendrung berfikir negatif atau malah berfikiran positif, terlihat dalam human relation- hubungan kita dengan manusia lain seperti dengan teman, tetangga, family. Agar guru tidak terjebak dalam gaya berfikir kerdil maka tidak pantas kalau setiap kali berjumpa dengan seseorang, kita terjebak cuma berbicara tentang kesehatan kita sendiri. "saya kurang sehat kemaren tidak bisa mengajar , sudah tiga bulan diserang asam urat… sudah pergi ke puskesmas". Kemungkinan percakapan tentang kesehatan sendiri akan membuat orang lain bosan, sebab dapat membuat kita menjadi rewel dan terkesan egosentris.

Masih seputar human relation bahwa kualitas diri kita ada pengaruhnya dari hubungan kita dengan orang lain. Kalau teman kita (walau sebagai guru) rata-rata misalnya pencandu "penyabung ayam atau suka taruhan atas pertandingan sepak bola" pasti kita juga dinilai sebagai guru dengan pribadi negatif- guru yang gemar berjudi. Memang orang dinilai berdasarkan siapa teman-teman mereka. The bird with the same colour fly together- burung yang sama bulunya terbang bersama.

Hubungan seseorang menentukan keberhasilan mereka. Guru bergantung pada keberadaan siswa, Penjual bergantung pada pembeli, pedagang bergantung pada pembelinya, dan lain-lain. Profesi yang berhubungan dengan pelayanan lebih baik berfokus pada pemberian layanan yang prima- excellent service. Bila ini dilakukan maka pamor (nama baik), termasuk uang, akan datang dengan sendirinya.

Sebagai guru maka sangat bermanfaat bila kita memiliki hati yang hangat. Bagaimana suasanya bila seseorang yang berhati hangat datang menghampiri kita dan mengatakan "hallo", "assalamualaikum" atau ungkapan greeting lainnya dengan mudah. Ini berarti bahwa ia sedang mengembangkan dan meningkatkan kualitas persahabatan dengan kita. Cara lain yang bisa menghangatkan persahabatan adalah dengan memberi perlakuan VIP (very important person) atau orang kelas satu pada orang lain, termasuk pada anak didik sehingga ini membuat mereka akan menyenangi bidang studi yang kita ajarkan.

Namun jika anak didik melakukan kesalahan, mengapa kita musti dengan enteng- menggunakan kekuasaan, membentak dan marah-marah pada mereka "Kamu keterlaluan pada saya…. tidak bisa menghormati saya sebagai guru". Bukankah lebih santun kalau guru member nasehat dengan empat mata. Sebaliknya bila mereka memperlihatkan kerja keras dan hasil belajar yang bagus maka jangan lupa untuk memuji pekerjaan nya. Dalam berkomunikasi guru harus menghindari sikap sarkasme (sikap kasar), sikap sinis dan sikap merendahkan orang lain.

Fikiran positif berasal dari kualitas fikiran

Otak adalah pabrik fikiran yang sibuk menghasilkan produk fikiran setiap waktu. lingkungan dan orang-orang sekeliling kita adalah ibarat laboratorium humaniora bagi diri kita. Kita sendiri adalah ahlinya untuk mengamati labor tadi. Kita dapat mengamati mengapa ada orang yang bisa punya banyak teman atau punya sedikit teman. Mengapa ada orang bisa berhasil atau gagal, atau biasa-biasa saja. Maka pilihlah dua orang yang berhasil dan dua orang yang gagal, cobalah mengobservasi dan menganalisanya. Maka akan kita temui dua contoh orang yang berfikiran postif dan berfikiran negatif. Mengembangkan pribadi yang pro berfikir positif tentu perlu strategi. Untuk itu ada strategi yang perlu kita lakukan dan hal-hal yang perlu kita hindari.

Ada guru yang memandang profesi guru rendah, "Wah apalah artinya kami cuma guru SD…!" Seharusnya sekalipun kita guru TK , SD , SMP atau SLTA harus tetap memandang diri dan profesi sebagai hal yang berharga- maka kita adalah manusia penting. Jika kita berbicara dengan orang lain, kita rasakan bahwa itu adalah percakapan dua orang penting. Guru yang berpribadi minder mungkin berkata "wah aku adalah orang yang tidak berhasil". Seharusnya kita harus merasa diri kita penting dan begitu pula semua orang. "Renungkanlah bahwa anda, pasangan hidup anda, teman anda, siswa anda ingin pula dianggap penting. Semua orang mengidamkan prestise, ingin dihormati dan diakui".

Guru yang merasa dirinya tidak penting berarti sedang menuju kehidupan yang biasa-biasa saja, "Wah buat aku arus belajar keras, bidang studi yang aku ajar bukan bidang studi untuk UN (ujian nasinal). Sehausnya kita menanamkan dalam fikiran bahwa kita dan bidang studi/ profesi kita adalah juga penting.

Hal lain yang perlu kita hindari, kalau di sekolah ada guru yang santai mencemooh guru-guru yang smart dan bersemangat, Seolah olah berkesimpulan bahwa tidak ada gunanya untuk jadi guru yang tekun dan rajin, "Wah sok rajin, dunia ini tidak akan selesai oleh usaha kita sendiri". Maka abaikan saja komentar guru atau teman yang berfikiran negatif tersebut.

Menjadi guru berhati lapang- berjiwa besar tidak boleh memonopoli percakapan. Namun coba pula menjadi pendengar, dan dapatkan teman untuk banyak belajar. Menjadi guru yang berhasil berarti harus tidak memiliki kebisaaan "suka menunda waktu, banyak nonton TV dan kebisaaan bergossip". Namun rencanakan kerja tiap hari- pada malam harinya. Biasakan suka memberi appresiasi pada orang-termasuk pada anak didik,dan memberi komentar serta respon positif. Hindari memperlakukan manusia (anak didik) sebagai mesin, untuk diperintah dan diotak-atik. Sangat tepat memperlakuka anak didik sebagai manusia- yang juga perlu dihormati, dibantu dann dipuji secara pribadi.

Tindakan lain untuk menjadi guru yang berjiwa besar.

Bagaimana tindakan lain yang perlu kita terapkan untuk menjadi guru yang dianggap bisa berjiwa besar ? Setiap guru harus menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri. Tidak seorang pun yang memerintahkan kita untuk mengembangkan kualitas pribadi. Apakah kita mau berkembang atau tidak, tertinggal atau bergerak maju. Ini ditentukan oleh ketekunan pribadi kita dan membutuhkan waktu, kerja keras dan pengorbanan yang seius. Guru perlu menajamkan fikiran dengan membaca majalah professional pada bidang studi yang kita geluti, dan membaca buku lain seperti buku filsafat, komunikasi, agama, pedagogi untuk meningkatkan kualitas profesi dan pribadi kita sendiri.

Untuk itu mari kita putuskanlah untuk membeli satu buku yang mendorong semangat tiap bulan dan berlangganan majalah dan jurnal untuk menajamkan gagasan. Nanti akan kita rasakan betapa indahnya menjadi guru yang berjiwa besar. Semoga.

Catatan: David J Schwartz. (1996). Berfikir dan Berjiwa Besar (The Magic of Thinking Big). TErjemah, Fx Budiyanto. Jakarta : Binarupa Aksara

Marjohan M.Pd, Guru SMAN 3 Batusangkar.
Radikalisme Islam Menyusup ke SMU
Friday, 23 October 2009

BEBERAPA hasil penelitian menemukan fakta lapangan bahwa gerakan dan jaringan radikalisme Islam telah lama menyusup ke sekolah umum, yaitu SMU.
Siswa-siswi yang masih sangat awam soal pemahaman agama dan secara psikologis tengah mencari identitas diri ini menjadi lahan yang diincar oleh pendukung ideologi radikalisme. Targetnya bahkan menguasai organisasi-organisa si siswa intra sekolah (OSIS), paling tidak bagian rohani Islam (rohis).
Tampaknya jaringan ini telah mengakar dan menyebar diberbagai sekolah, sehingga perlu dikaji dan direspons secara serius, baik oleh pihak sekolah,pemerintah, maupun orang tua. Kita tentu senang anakanak itu belajar agama. Tetapi yang mesti diwaspadai adalah ketika ada penyebar ideologi radikal yang kemudian memanfaatkan simbol, sentimen, dan baju Islam untuk melakukancuciotak( brainwash) pada mereka yang masih pemula belajar agama untuk tujuan yang justru merusak agama dan menimbulkan konflik.
Ada beberapa ciri dari gerakan ini yang perlu diperhatikan oleh guru dan orang tua.
Pertama, para tutor penyebar ideologi kekerasan itu selalu menanamkan kebencian terhadap negara dan pemerintahan. Bahwa pemerintahan Indonesia itu pemerintahan taghut, syaitan, karena tidak menjadikan Alquran sebagai dasarnya. Pemerintahan manapun dan siapa pun yang tidak berpegang pada Alquran berarti melawan Tuhan dan mereka mesti dijauhi, atau bahkan dilawan.
Kedua, para siswa yang sudah masuk pada jaringan ini menolak menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, terlebih lagi upacara hormat bendera. Kalaupun mereka melakukan,itu semata hanya untuk mencari selamat, tetapi hatinya mengumpat. Mereka tidak mau tahu bahwa sebagai warga negara mesti mengikuti dan menghargai tradisi, budaya, dan etika berbangsa dan bernegara, dibedakan dari ritual beragama.
Ketiga, ikatan emosional pada ustaz,senior, dan kelompoknya lebih kuat daripada ikatan keluarga dan almamaternya.
Keempat, kegiatan yang mereka lakukan dalam melakukan pengajian dan kaderisasi bersifat tertutup dengan menggunakan lorong dan sudutsudut sekolah, sehingga terkesan sedang studi kelompok. Lebih jauh lagi untuk pendalamannya mereka mengadakan outbond atau mereka sebut rihlah, dengan agenda utamanya renungan dan baiat.
Kelima, bagi mereka yang sudah masuk anggota jamaah diharuskan membayar uang sebagai pembersihan jiwa dari dosa-dosa yang mereka lalukan. Jika merasa besar dosanya, maka semakin besar pula uang penebusannya.
Keenam, ada di antara mereka yang mengenakan pakaian secara khas yang katanya sesuai ajaran Islam, serta bersikap sinis terhadap yang lain.
Ketujuh, umat Islam di luar kelompoknya dianggap fasik dan kafir sebelum melakukan hijrah: bergabung dengan mereka.
Kedelapan, mereka enggan dan menolak mendengarkan ceramah keagamaan di luar kelompoknya. Meskipun pengetahuan mereka tentang Alquran masih dangkal, namun mereka merasa memiliki keyakinan agama paling benar, sehingga meremehkan, bahkan membenci ustaz di luar kelompoknya.
Kesembilan, di antara mereka itu ada yang kemudian keluar setelah banyak bergaul, diskusi secara kritis dengan ustaz dan intelektual diluar kelompoknya, namun ada juga yang kemudian bersikukuh dengan keyakinannya sampai masuk ke perguruan tinggi.
Menyusup ke Kampus
Mengingat jaringan Islam yang tergolong garis keras (hardliners) menyebar di berbagai SMU di kotakota Indonesia, maka sangat logis kalau pada urutannya mereka juga masuk ke ranah perguruan tinggi.
Bahkan, menurut beberapa sumber, alumni yang sudah duduk sebagai mahasiswa selalu aktif berkunjung ke almamaternya untuk membina adik-adiknya yang masih di SMU.
Ketika adik-adiknya masuk ke perguruan tinggi, para seniornya inilah yang membantu beradaptasi di kampus sambil memperluas jaringan.
Beberapa sumber menyebutkan, kampus adalah tempat yang strategis dan leluasa untuk menyebarkan gagasan radikalisme ini dengan alasan di kampuslah kebebasan berpendapat, berdiskusi, dan berkelompok dijamin. Kalau di tingkat SMU pihak sekolah dan guru sesungguhnya masih mudah intervensi, tidaklah demikian halnya di kampus.
Mahasiswa memiliki kebebasan karena jauh dari orang tua dan dosen pun tidak akan mencampuri urusan pribadi mereka. Namun karena interaksi intelektual berlangsung intensif, deradikalisasi di kampus lebih mudah dilakukan dengan menerapkan materi dan metode yang tepat. Penguatan mata kuliah Civic Education dan Pengantar Studi Islam secara komprehensif dan kritis oleh profesor ahli mestinya dapat mencairkan paham keislaman yang eksklusif dan sempit serta merasa paling benar.
Sejauh ini kelompok-kelompok radikal mengindikasikan adanya hubungan famili dan persahabatan yang terbina di luar wilayah sekolah dan kampus. Hal yang patut diselidiki juga menyangkut dana. Para radikalis itu tidak saja bersedia mengorbankan tenaga dan pikiran, namun rela tanpa dibayar untuk memberikan ceramah keliling. Lalu kalau berbagai kegiatan itu memerlukan dana, dari mana sumbernya? Ini juga suatu teka-teki.
Disinyalir memang ada beberapa organisasi keagamaan yang secara aspiratif dekat atau memiliki titik singgung dengan gerakan garis keras ini. Mereka bertemu dalam hal tidak setia membela NKRI dan Pancasila sebagai ideologi serta pemersatu bangsa. Mereka tidak bisa menghayati dan menghargai bahwa Islam memiliki surplus kemerdekaan dan kebebasan di negeri ini.
Di Indonesia ini ada parpol Islam, bank syariah, UU Zakat dan Haji, dan sekian fasilitas yang diberikan pemerintah untuk pengembangan agama. Kalaupun umat Islam tidak maju atau merasa kalah, lakukanlah kritik diri, tetapi jangan rumah bangsa ini dimusuhi dan dihancurkan karena penghuni terbanyak yang akan merugi juga umat Islam. Kita harap Menteri Pendidikan Nasional maupun Menteri Agama menaruh perhatian serius terhadap gerakan radikalisasi keagamaan di kalangan pelajar. (*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Sumber: Koran Sindo ( Jumat, 23 OKTOBER 2009 )

Rabu, 11 November 2009

Bullying Prevention Skills and Techniques for Children
by: Mark Lakewood, CEO

Child bullying is a big problem in our schools today. The main difference between child bullying today from the past is the nature of the bullying and the violence that occurs in the aftermath. Cyberbullying is becoming a popular and more destructive form of bullying than traditional bullying. More children today are bringing guns to school to seek revenge on others. Child bullying has been around and will probably remain for years to come. Unfortunately, we do not have the power to rid the world of bullying. The answer to the issue of child bullying rests within us, especially the victims of bullying. Victims of bullying are never responsible for being bullied. On the contrary, victims of child bullying have the power in themselves to think, behave, and react in ways that limits or eradicates bullying. As a society, we spend much of our energy identifying and punishing the bully that we fail to spend adequate time empowering the victims of child bullying. We should spend more of our energy on the things that we can control rather than the things that we have limited or no control over. We need to teach children about the power that they already possess. Let me elaborate on a few issues that parents should teach their children regarding bullying prevention.

Let’s first talk about the characteristics of child bullying. Typically, bullies and their victims share the same characteristic – low self-esteem. It just depends on whether they internalize or externalize their feelings that will determine if they will become a bully or a victim of bullying. Typically, negative situations and events in the child’s life can trigger low self-esteem. Externalizing feelings can cause some children to become bullies as they attempt to control their environment to compensate for their lack of control in their family. For instance, if the parents of a child are divorcing and the child is very upset about the divorce, he/she might feel powerless in his/her ability to keep his/her parents together. As a result, the child might take out his/her rage on others for purposes of seeking control to compensate for his/her lack of control over their parents’ impending divorce.

Given the same scenario (parental divorce), some children internalize their feelings by not talking or acting out how they feel. Instead, they become depressed and withdrawn feeling like a failure. Often, they develop a negative image of themselves and their physical appearance. They look at others and the world around them with shaded lens. When a bully validates this child’s feelings about him/herself, this child often reacts negatively to the validation because he/she feels the bully is correct in their interpretation.

Often times, children with high self-esteem do not respond negatively to bullies because they already know that negative personal statements made by the bully are untrue and therefore are unworthy of attention.

As human beings, our behavior, thoughts, and feelings are never dictated or controlled by others, situations, and events unless we allow this to occur. Simply said, others, situations, and events can trigger a reaction based on what we think. For example, if I do not want to go to work today and my car has a flat tire, I might experience happiness because I do not want to go to work. On the other hand given the same event (flat tire), I might want to go to work today to take care of some unfinished business. Because the flat tire might delay or eliminate my chances of getting to work, this situation might cause me anger. How could the same event in both situations cause two different feelings? It was not the event at all that triggered the feelings. It was what I thought about the event that triggered my feelings. Therefore, manipulating the way we think can alter how we feel. We have the power to take ownership and control over our thoughts. We however have limited or no control over specific events, situations, and the behavior of others. Sometimes, we attempt to control events, situations, and others but become frustrated when our attempts fail.

Now, how does the paragraph above apply to the issue of bullying prevention? The main goal of bullies is to get their victims to experience fear, anger, or sadness. Once their victim demonstrates signs of these emotions via the words he/she says, body language, or actions, the bully has complete and total control over him/her. The bullying will continue until the victim no longer verbally and/or physically displays fear, anger, or sadness in response to the bullying. The bullying will end once the victim responds the opposite of what the bully expects.

How do we get children to react the opposite of what the bully expects? This is where role-playing comes in handy. Parents should regularly sit down with their children helping them learn to react the opposite of what bullies expect. Often times, this task is much easier when the parent knows what hurtful words or phrases bullies say that makes their children feel fearful, angry, or sad. Using these hurtful words and/or phrases in role-plays will emotionally prepare children when they are approached by bullies.

It is also important to teach children that they have the power to change or affect the agenda of bullies by the words they use. For instance, if a bully calls a child ‘stupid’, the child could defuse the bullying by stating to the bully, “That’s nice”, “How about that”, “Oh, well”, and so forth. The worst thing that the child could do is respond by telling the bully that he/she is stupid or make other negative statements. A negative response will only inflame the situation encouraging further bullying.

In addition, parents should teach and role-play with their children specific forms of body language that differentiates a child with high self-esteem from a child with low self-esteem. Body language communicates feelings more so than spoken words. If a child yells at a bully stating that he/she is not bothered by the bully’s behavior, the bully knows that the child is bothered because of the yelling. Lack of eye contact, looking down, slouched posture, lack of hygiene, and low tone of voice can be viewed as symptoms of low self-esteem.

Parents need to teach their children that bullies rarely get angry at them. Bullies are typically angry at themselves and/or events that occurred or are occurring in their own life for which they have limited or no control. Bullies indirectly take out their anger on the ones they could easily control.

Parents should never teach their children to physically fight back when approached by a bully. The problem with fighting back is that children can get themselves into trouble for engaging in physically assaultive behavior. Think of it this way – bullies rarely throw the first punch. They always entice their victim into throwing the first punch. This way when they are asked who started the fight, the bully could easily and truthfully state that their victim started it. In addition, there are significant legal ramifications that can arise as a result of physically assaultive behavior.

It is important to remember that physical violence typically occurs after a negative verbal interaction. Violence typically is provoked and rarely unprovoked. Therefore to avoid violence, the conflict can and should be defused during the verbal exchange. This is why the words victims say and their body language are so significant and detrimental to the outcome of bullying. Recent school shootings suggest that the shooters were bullied by their classmates. The bullying subsequently provoked the school violence.

Parents should be cautious when teaching their children to ignore bullies. The problem with ignoring is that the bully knows that his/her behavior is irritating, annoying, and controlling his/her victim. Therefore, the bullying will continue.

Parents should be cautious when teaching their children to report bullying to an adult without first attempting to resolve the conflict on their own. Parents should encourage their children to first attempt to resolve the bullying on their own with the skills taught above. If their children are unsuccessful resolving these issues on their own, they should be encouraged to report the bullying. If their children automatically report the bullying without attempting to defuse the situation on their own, they will be perceived and labeled as a tattle-tale which will encourage the bullying to continue.

Parents need to teach their children the correct definition of the word ‘tattling’. Some children think that reporting child misbehavior to adults is considered tattling. Parents need to teach their children that reporting on others just to see them get into trouble is considered tattling. A child that reports to his/her parents that his/her brother is picking his nose is considered tattling. Children always need to report to an adult if they were physically, sexually, or verbally harmed by others or if they witnessed others engaging in destructive or illegal behaviors.

It is very easy to feel sympathetic toward victims of child bullying. However, it would be more helpful to the victim if we are more empathic to their needs by empowering them to diffuse bullying on their own. As a result, their ability to defuse the bullying would ultimately raise their level of self-esteem and self-worth

Senin, 09 November 2009

BAHASA SEBAGAI ALAT BERPIKIR DALAM BELAJAR GEOMETRI BERDASARKAN TEORI VAN HIELE

Makalah Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu


Oleh :
NAMA : RETNI PARADESA
NIM : 20082012037

Dosen Pengampu:
Prof. H. WASPODO, Ph. D.


PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG
2008/2009
BAHASA SEBAGAI ALAT BERPIKIR DALAM BELAJAR GEOMETRI BERDASARKAN TEORI VAN HIELE
Oleh : Retni Paradesa

A. Pendahuluan
Tadi malam di rumah pak Pulan ada pencuri dan polisi segera diberitahukan. Komandan polisi yang datang memimpin pemeriksaan, sebuah jendela belakang dibongkar oleh pencuri itu. Dari jendela inilah mereka masuk pikir Komandan. Dengan segera ia tahu, bahwa yang mencuri itu lebih dari satu, karena dilihatnya dua macam jejak di bawah jendela itu. Tahukah tuan, barang-barang apa yang dicuri, tanya Komandan Polisi kepada pak Pulan, sebuah radio, satu set komputer jawab pak Pulan.
Dari cerita ini ada proses berpikir. Berpikir merupakan suatu aktivitas pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan atau keputusan dari sesuatu yang kita kehendaki. Menurut Jujun. S. Suriasumantri (2007),
”manusia – homo sapiens, makhluk yang berpikir. Setiap saat dari hidupnya, sejak dia lahir sampai masuk liang lahat, dia tak pernah berhenti berpikir. Hampir tak ada masalah yang menyangkut dengan perikehidupan yang terlepas dari jangkauan pikirannya, dari soal paling remeh sampai soal paling asasi”.

“Berpikir merupakan ciri utama bagi manusia, untuk membedakan antara manusia dengan makhluk lain. Maka dengan dasar berpikir, manusia dapat mengubah keadaan alam sejauh akal dapat memikirkannya. Berpikir merupakan proses bekerjanya akal, manusia dapat berpikir karena manusia berakal. Akal merupakan salah satu unsur kejiwaan manusia untuk mencapai kebenaran di samping rasa dan kehendak untuk mencapai kebaikan”,

menurut tim dosen filsafat ilmu (1992). Dengan demikian, “ciri utama dari berpikir adalah adanya abstraksi. Maka dalam arti yang luas kita dapat mengatakan berpikir adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi. Sedangkan dalam arti yang sempit berpikir adalah meletakkan atau mencari hubungan atau pertalian antara abstraksi-abstraksi dalam M. Ngalim Puswanti (1992).
Berpikir juga merupakan suatu proses yang terjadi di jaringan syaraf pada otak kita. Berpikir merupakan perubahan dalam agregat dari representasi diri. Berpikir merupakan ciri utama manusia yang membedakannya dengan makhluk lain. Dengan dasar berpikir manusia mengembangkan berbagai cara untuk dapat mengubah keadaan alam guna kepentingan hidupnya.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah yang baik perlu ditunjang dengan sarana berpikir ilmiah berupa bahasa, matematika, dan statistika. Dalam berpikir ilmiah khususnya dalam belajar geometri, peran bahasa ilmiah sangat berperan penting. Dalam belajar geometri menurut dua tokoh pendidikan matematika dari Belanda, yaitu Pierre Van Hiele dan isterinya, Dian Van Hiele-Geldof, pada tahun-tahun 1957 sampai 1959 mengajukan suatu teori mengenai proses perkembangan yang dilalui siswa dalam mempelajari geometri. Dalam teori yang mereka kemukakan, mereka berpendapat bahwa dalam mempelajari geometri para siswa mengalami perkembangan kemampuan berpikir melalui tahap-tahap tertentu. Dimana pada setiap tahapnya peran bahasa sangat berperan penting.
Dari pola berpikir di atas, maka akan dibahas pola berpikir ilmiah dan lebih khusus di fokuskan pada pembahasan “bahasa sebagai alat berpikir dalam belajar geometri berdasarkan teori Van Hiele”.

B. Berpikir Ilmiah
Menurut Jujun S. Suriasumantri (2007) mengatakan bahwa “Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan”. Oleh karena itu, proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan diperlukan sarana tertentu yang disebut dengan sarana berpikir ilmiah.
Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya juga diperlukan sarana tertentu pula. Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir ilmiah berupa: “[1] Bahasa Ilmiah, [2] Logika dan metematika, [3] Logika dan statistika. Bahasa ilmiah merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah kepada orang lain. Logika dan matematika mempunyai peran penting dalam berpikir deduktif sehingga mudah diikuti dan dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan logika dan statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif untuk mencari konsep-konsep yang berlaku umum”.






Berdasarkan
Metode-metode
Ilmiah

Sarana berpikir ilmiah digunakan sebagai alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode-metode ilmiah. “Sarana berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuan. Dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah pada dasarnya ilmu menggunakan penalaran induktif dan deduktif, dan sarana berpikir ilmiah tidak menggunakan cara tersebut. Berdasarkan cara mendapatkan pengetahuan tersebut jelaslah bahwa sarana berpikir ilmiah bukanlah ilmu, melainkan sarana ilmu yang berupa: bahasa, logika, matematika, dan statistika”. Sedangkan “fungsi sarana berfikir ilmiah adalah untuk membantu proses metode ilmiah, baik secara deduktif maupun secara induktif.
Kemampuan berpikir ilmiah yang baik sangat didukung oleh penguasaan sarana berpikir dengan baik pula. Maka dalam proses berpikir ilmiah diharuskan untuk mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah menyadarkan diri kepada proses metode ilmiah baik logika deduktif maupun logika induktif. Ilmu dilihat dari segi pola pikirnya merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif.
Menurut Jujun S. Suriasumantri (2007)
“Secara garis besar berpikir dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: berpikir alamiah dan berpikir ilmiah. Berpikir alamiah, pola penalaran yang berdasarkan kebiasaan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya [katakan saja : penalaran tentang api yang dapat membakar, dinginnya es dan sebagainya]. Sedangkan berpikir ilmiah, pola penalaran berdasarkan sasaran tertentu secara teratur dan cermat [dua hal yang bertentangan penuh tidak dapat sebagai sifat hal tertentu pada saat yang sama dalam satu kesatuan]”.

Yang terakhir ini penting kaitannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

C. Bahasa Ilmiah
1. Pengertian Bahasa
Menurut Jujun S. Suriasumantri (2007) menyatakan pertama-tama bahasa dapat dicirikan sebagai serangkaian bunyi. Dalam hal ini kita mempergunakan bunyi sebagai alat untuk berkomunikasi. Komunikasi dengan mempergunakan bunyi ini dikatakan sebagai komunikasi verbal. Kedua, bahasa merupakan lambang di mana serangkaian bunyi ini membentuk suatu arti tertentu.
Dengan adanya bahasa memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu dalam benak kepala kita, meskipun obyek yang sedang kita pikirkan tersebut tidak berada di dekat kita. Manusia dengan kemampuannya berbahasa memungkinkan untuk memikirkan sesuatu masalah secara terus menerus. Menurut Gorys Keraf (1997: 1) (dalam, Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin ada yang keberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukan satu-satunya alat untuk mengadakan komunikasi. Mereka menunjukkan bahwa dua orang atau pihak yang mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama. Lukisan-lukisan, asap api, bunyi gendang atau tong-tong dan sebagainya. Tetapi mereka itu harus mengakui pula bahwa bila dibandingkan dengan bahasa, semua alat komunikasi tadi mengandung banyak segi yang lemah.
Bahasa memberikan kemungkinan yang jauh lebih luas dan kompleks daripada yang dapat diperoleh dengan mempergunakan media tadi. Bahasa haruslah merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bukannya sembarang bunyi. Dan bunyi itu sendiri haruslah merupakan simbol atau perlambang.
Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah di mana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Ditinjau dari pola berpikirnya maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyandarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Matematika mempunyai peran yang penting dalam berpikir deduktif.
Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berpikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah ke arah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peran masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah tersebut.
Menurut Abdul Halim Fathoni (2008) mengatakan bahwa ”bahasa merupakan suatu sistem yang terdiri dari lambang-lambang, kata-kata, dan kalimat-kalimat yang disusun menurut aturan tertentu dan digunakan sekelompok orang untuk berkomunikasi”. Dalam tulisannya, Mudjia Rahardjo mengatakan: "Di mana ada manusia, di sana ada bahasa". Keduanya tidak dapat dipisahkan. Bahasa tumbuh dan berkembang karena manusia. Manusia berkembang juga karena bahasa. Keduanya menyatu dalam segala aktivitas kehidupan. Hubungan manusia dan bahasa merupakan dua hal yang tidak dapat dinafikan salah satunya. Bahasa pula yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain.
Bahasa adalah alat komunikasi verbal. Alat komunikasi verbal dilambangkan dengan penggunaan bunyi-bunyi. Bunyi-bunyi tersebut tersusun dalam suatu susunan bunyi yang mengandung makna.

2. Fungsi Bahasa
Menurut Jujun S. Suriasumantri (2007) dilihat dari segi fungsinya, bahasa memiliki dua fungsi yaitu:
a. sebagai alat untuk menyatakan ide, pikiran, gagasan atau perasaan,
b. sebagai alat untuk melakukan komunikasi dalam berinteraksi dengan orang lain.
Berdasar dua fungsi tersebut, adalah sesuatu yang mustahil dilakukan jika manusia dalam berinteraksi dan berkomunikasi tanpa melibatkan peranan bahasa. Komunikasi pada hakekatnya merupakan proses penyampaian pesan dari pengirim kepada penerima. Hubungan komunikasi dan interaksi antara si pengirim dan si penerima, dibangun berdasarkan penyusunan kode atau simbol bahasa oleh pengirim dan pembongkaran ide atau simbol bahasa oleh penerima.
Berkaitan dengan hal ini, dapat dikatakan bahwa syarat terjadinya proses komunikasi harus terdapat dua pelaku, yakni pengirim dan penerima pesan, sehingga yang perlu ditekankan selanjutnya adalah bagaimana cara kita menyampaikan pesan agar dapat berjalan secara efektif. Dalam hal ini, Badudu (1995), mengemukakan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu: a). orang yang berbicara; b). orang yang diajak bicara; c). situasi pembicaraan apakah formal atau non-formal; dan d). masalah yang dibicarakan (topik).
Para pakar memiliki perbedaan pendapat dalam hal fungsi bahasa. Aliran filsafat bahasa dan psikolinguistik melihat fungsi bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosi, sedangkan aliran sosiolinguistik berpendapat bahwa fungsi bahasa adalah sarana untuk perubahan masyarakat.
Namun walaupun tampak perbedaan, menurut Jujun S. Suriasumantri (2007) secara umum ”dapat dinyatakan bahwa bahasa pada dasarnya merupakan pernyataan pikiran atau perasaan sebagai alat komunikasi manusia. Sebagai pernyataan pikiran atau perasaan dan alat komunikasi manusia, bahasa mempunyai tiga fungsi pokok, yaitu
a. Fungsi ekspresif (emotif) tampak pada pencurahan rasa takut serta takjub yang dilakukan serta merta pada pemujaan-pemujaan, demikian juga pencurahan seni suara maupun seni sastra.
b. Fungsi afektif (praktis) tampak jelas untuk menimbulkan efek psikologis terhadap orang lain dan sebagai akibatnya mempengaruhi tindakan-tindakan mereka ke arah kegiatan atau sikap tertentu yang diinginkan.
c. Fungsi simbolik dipandang dalam artian yang luas, meliputi fungsi logik serta komunikatif, karena arti itu dinyatakan dalam simbol bukan hanya untuk menyatakan fakta saja, melainkan juga untuk menyampaikan kepada orang lain. ”
”Bahasa memegang peranan penting dan suatu hal yang lazim dalam hidup. Bahasa mempunyai pengaruh yang luar biasa dan termasuk yang membedakan manusia dari ciptaan lainnya”. Hal ini senada dengan apa yang diutarakan oleh Ernest Cassirer, bahwa ”keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya, melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa” (Amsal Bahtiar, 2004, hlm. 175). Oleh karena itu, Ernest Cassirer dalam Jujun S. Suriasumantri (2007) menyebut ”manusia sebagai animal symbolicum, yaitu makhluk yang mempergunakan simbol”.

D. Bahasa dalam Pembelajaran Geometri Berdasar Teori Belajar Van Hiele
Van Hiele (2008) berpendapat bahwa “dalam mempelajari geometri para siswa mengalami perkembangan kemampuan berpikir melalui tahap-tahap tertentu”. Tahapan berpikir atau tingkat kognitif yang dilalui siswa dalam pembelajaran geometri, menurut Van Hiele adalah sebagai berikut:
1. Level 0. Tingkat Visualisasi
Tingkat ini disebut juga tingkat pengenalan. Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan (wholistic). Pada tingkat ini siswa belum memperhatikan komponen-komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati ciri-ciri dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu suatu bangun bernama persegipanjang, tetapi ia belum menyadari ciri-ciri bangun persegipanjang tersebut.
Dengan mengenal nama suatu bangun pada tingkat ini anak sudah memerankan suatu bahasa. Peranan bahasa disini baru sebatas mengenal nama.
2. Level 1. Tingkat Analisis
Tingkat ini dikenal sebagai tingkat deskriptif. Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada tingkat ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut.
Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun merupakan persegipanjang karena bangun itu “mempunyai empat sisi, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku”
Pada tingkat analisis disini peranan bahasa merupakan sebagai alat menyatakan ide, pikiran, gagasan, atau perasaan. Siswa dapat menyatakan idenya berdasarkan apa yang dilihat dan mengerti tentang suatu bangun misalnya pada bangun persegipanjang. Karena peran bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir dan komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain.
3. Level 2. Tingkat Abstraksi
Tingkat ini disebut juga tingkat pengurutan atau tingkat relasional. Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu pada tingkat ini siswa sudah memahami perlunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tahap ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga persegipanjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegipanjang.
4. Level 3. Tingkat Deduksi Formal
Pada tingkat ini siswa sudah memahami peranan pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan teorema-teorema dalam geometri. Pada tingkat ini siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses berpikir tersebut.
Misalnya pada tingkat ini anak sudah bisa membuktikan suatu soal dengan menggunakan pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan teorema-teorema dalam geometri yang dimulai dengan pembuktian dari umum ke khusus (berpikir deduktif-aksiamatis). Contohnya dalam menemukan suatu luas persegi sebelumnya siswa bisa menggunakan sifat-sifat dari persegi dari unsure-unsur yang dapat dapat diturunkan menjadi suatu rumus luas persegi. Sangat jelas disini pada tingkat deduksi formal bahwa bahasa sangat berperan sebagai alat untuk menyampaikan ide, pikiran, gagasan, atau perasaan. Siswa dapat menyatakan idenya berdasarkan apa yang dilihat dan mengerti tentang persegi. Dan dapat menyimpulkan sendiri apa yang telah mereka analisis.
5. Level 4. Tingkat Rigor (akurat)
Tingkat ini disebut juga tingkat metamatematis. Pada tingkat ini, siswa mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri.
Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga akan berubah. Sehingga, pada tahap ini siswa sudah memahami adanya geometri-geometri yang lain di samping geometri Euclides.
Menurut Van Hiele, semua anak mempelajari geometri dengan melalui tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain.
Selain itu, menurut Van Hiele, proses perkembangan dari tahap yang satu ke tahap berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau kematangan biologis, tetapi lebih bergantung pada pengajaran dari guru dan proses belajar yang dilalui siswa.
Untuk meningkatkan suatu tahap berpikir ke tahap berpikir yang lebih tinggi Van Hiele mengajukan pembelajaran yang melibatkan 5 fase (langkah), yaitu; informasi (information), orientasi langsung (directed orientation), penjelasan (explication), orientasi bebas (free orientation), dan integrasi (integration).
Pada setiap tahap dalam tahapan berpikir atau tingkat kognitif yang dilalui siswa dalam pembelajaran geometri, menurut Van Hiele diatas berhubungan erat dengan bahasa. Dapat dikatakan bahwa bahasa mempunyai peranan penting sebagai proses berpikir siswa dalam pembelajaran geometri.

E. Penutup
Dari berbagai uraian yang dikemukakan di atas, penulis mencoba memberikan beberapa ringkasan sebagai berikut : [1] Dalam kegiatan atau kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus menggunakan atau didukung oleh sarana berpikir ilmiah yang baik pula, karena tanpa menggunakan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik. [2] Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. [3] fungsi bahasa pada dasarnya merupakan pernyataan pikiran atau perasaan sebagai alat komunikasi manusia. Sebagai pernyataan pikiran atau perasaan dan alat komunikasi manusia, bahasa mempunyai 3 fungsi pokok yaitu fungsi ekspresif atau emotif, fungsi afektif atau praktis dan fungsi simbolik.
Tahapan berpikir atau tingkat kognitif yang dilalui siswa dalam pembelajaran geometri, menurut Van Hiele adalah sebagai berikut: level 0: tingkat visualisasi, tingkat analisis, tingkat abstraksi, tingkat Rigor. Dimana pada setiap tahapan berpikir melibatkan bahasa. Dan bahasa mempunyai peranan penting sebagai alat berpikir dalam pembelajaran geometri berdasarkan teori Van Hiele.




DAFTAR PUSTAKA
AL, Kristiyanto. 2008. Pembelajaran Matematika Berdasar Teori. http://kris-21.blogspot.com/2007/12/pembelajaran-matematika-berdasar- teori.html/ diakses pada 29 November 2008.

Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Fathoni, Abdul Halim. 2008. Bahasa Matematika. http://www.math.uns.ac.id/simta/?act=berita&id=19/ diakses pada 29 November 2008.

Inisiasi Pengembangan Matematika SD. http://fip.uny.ac.id/pjj/wp-content/uploads/2008/04/inisiasi_pengembangan_matematika_sd_4.pdf/ diakses pada 29 November 2008

Jujun S, Suriasumantri. 2007. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kasmadi, Hartono, dkk. 1990. Filsafat Ilmu. Semarang: IKIP Semarang Press.

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 1992. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberti.

Puswanto, M. Ngalim. 1992. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
LANDASAN PSIKOLOGI
Oleh: Retniparadesa

Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani. Dalam perkembangan jiwa dan jasmani inilah seyogianya anak-anak belajar, sebab pada masa ini mereka peka untuk belajar.
A. Psikologi Perkembangan
Ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan : (Nana Syaodih, 1988)
1. Pendekatan pentahapan.
Perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan tertentu, yang setiap tahap memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda.
2. Pendekatan diferensial.
Pendekatan ini memandang individu-individu itu memiliki kesamaan kesamaan dan perbedaan-perbedaan. Atas dasar ini lalu orang-orang membuat kelompok-kelompok.
3. Pendekatan ipsatif.
Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu. Pendekatan pentahapan ada dua macam yaitu bersifat menyeluruh dan bersifat khusus. Yang menyeluruh akan mencakup segala aspek perkembangan sebagai faktor yang diperhitungkan dalam menyusun tahap-tahap perkembangan. Sedangkan yang bersifat khusus hanya mempertimbangkan faktor tertentu saja sebagai dasar menyusun perkembangan anak.
Menurut Crijns (tt.) periode atau tahap perkembangan manusia secara umum adalah sebagai berikut :
1. Umur 0 – 2 tahun disebut masa bayi, yang sebagian besar hidupnya tidur, memandang, mendengarkan, kemudian belajar merangkak, dan berbicara.
2. Umur 2 – 4 tahun disebut masa kanak-kanak. Pada masa ini, pengamatan mulai bisa melihat struktur, permainan bersifat fantasi, mengalami masa egosentris.
3. Umur 5 – 8 tahun disebut masa dongeng. Pada masa ini, mulai sadar akan dirinya sebagai seseorang yang mempunyai kedudukan tersendiri, mulai bisa bermain bersama dan melakukan tindakan-tindakan yang konstruktif, kesadaran akan lingkungan mulai muncul namun objektivitas ini masih dipengaruhi oleh subjektivitasnya.
4. Umur 9 – 13 tahun disebut masa Robinson Crusoe. Dalam masa ini mulai berkembang pemikiran kritis, nafsu persaingan, minat-minat, dan bakat, Ingin mengetahui segala sesuatu secara mendalam, suka bertanya, dan menyelidiki, hidup berkelompok-kelompok, dan memainkan peranan-peranan nyata seperti di masyarakat.
5. Umur 13 tahun disebut masa pubertas pendahuluan. Pada masa ini mulai tertuju ke dalam dirinya sendiri, mulai belajar bersolek, suka menyendiri, melamun, dan segan olah raga, gelisah, cepat tersinggung, suka marah-marah, keras kepala, acuh tak acuh, dan senang bermusuhan. Terhadap jenis kelamin lain, ingin sama-sama tahu, tetapi masih canggung.
6. Umur 14 – 18 tahun disebut masa puber. Pada masa ini mulai sadar akan pribadinya sebagai seorang yang bertanggung jawab, mulai tahu bahwa setiap orang punya arah dan jalan hidup sendiri-sendiri, mulai mengoreksi diri sendiri. Ini merupakan periode pembentukan cita.
7. Umur 19 – 21 tahun disebut masa adolesen. Pada masa ini mulai menemui keseimbangan, punya rencana hidup tertentu dengan nilai-nilai yang sudah dipastikannya. Namum belum berpengalaman, maka timbullah sikap radikal.
8. Umur 21 tahu keatas disebut masa dewasa. Pada masa ini mulai insaf bahwa pekerjaan manusia tidak mudah dan selalu ada cacatnya, dan mulai berhati-hati.
Periode perkembangan tersebut di atas adalah merupakan periode secara umum. Artinya ada saja perkembangan anak atau remaja yang menyimpang dari perkembangan umum itu.
Psikologi perkembangan menurut Rouseau, yaitu :
1. Masa bayi dari 0 – 2 tahun yang sebagian besar merupakan perkembangan fisik.
2. Masa anak dari 2 – 12 tahun yang dinyatakan perkembangannya baru seperti hidup manusia primitif.
3. Masa pubertas dari 12 – 15 tahun, ditandai dengan perkembangan pikiran dan kemauan untuk berpetualang.
4. Masa adolesen dari 15 – 25 tahun, pertumbunhan seksual menonjol, sosial, kata hati, moral dan sudah mulai belajar berbudaya.
Sementara itu Stanley Hall penganut teori evolusi dan teori rekapitulasi membagi masa perkembangan anak sebagai berikut : (Nana Syaodih, 1988)
1. Masa kanak-kanak ialah umur 0 – 4 tahun sebagai masa kehidupan binatang.
2. Masa anak ialah umur 4 – 8 tahun merupakan masa sebagai manusia pemburu.
3. Masa muda ialah umur 8 – 12 tahun sebagai manusia belum berbudaya.
4. Masa adolesen ialah umur 12 – dewasa merupakan manusia berbudaya.
Havinghurst menyusun fase-fase perkembangan sebagai berikut : (mulyani, 1988)
1. Tugas perkembangan masa kanak-kanak :
Belajar berkata, makan makanan padat, berjalan, mengendalikan gerakan badan, mempelajari peran jenis kelaminnya sendiri, stabilitas fisiologi, membentuk konsep sederhana tentang sosial dan fisik, belajar menghubungkan diri secara emosional dengan orang lain, serta belajar membedakan yang benar dengan yang salah.
2. Tugas perkembangan masa anak :
Belajar keterampilan fisik, membentuk sikap diri sendiri, belajar bergaul secara rukun, mempelajari peran jenis kelamin sendiri, belajar keterampilan membaca, menulis, dan berhitung, mengembangkan konsep-konsep yang dibutuhkan dalam kehidupan, membentuk kata hati, moral, dan nilai, membuat kebebasan diri, dan mengembangkan sikap terhadap kelompok serta lembaga-lembaga sosial.
3. Tugas perkembangan masa remaja :
Membuat hubungan-hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya dari kedua jenis kelaminnya, menggunakan badan secara efektif, mendapatkan kebebasan diri dari ketergantungan pada orang lain, memilih dan menyiapkan jabatan, mendapatkan kebebasan ekonomi, mengadakan persiapan perkawinan dan kehidupan berkeluarga, mengembangkan keterampilan dan konsep-konsep yang diperlukan sebagai warga negara yang baik, mengembangkan perilaku bertanggung jawab, dan memperoleh seperangkat nilai serta etika sebagai pedoman berprilaku.
4. Tugas perkembangan masa dewasa awal :
Memilih pasangan hidup, belajar hidup rukun bersuami istri, memulai kehidupan punya anak, belajar membimbing dan merawat anak, mengendalikan rumah tangga, melaksanakan suatu jabatan atau pekerjaan, belajar bertanggung jawab sebagai warga negara, dan berupaya mendapatkan kelompok sosial yang tepat serta menarik.
5. Tugas perkembangan masa setengah baya :
Bertanggung jawab sosial dan menjadi warga negara yang baik, membangun serta mempertahankan standar ekonomi, membina anak remaja agar menjadi orang dewasa bertanggung jawab serta bahagia, mengisi waktu senggang dengan kegiatan-kegiatan tertentu, membina hubungan suami istri sebagai pribadi, menerima serta menyesuaikan diri dengan perubahan fisik diri sendiri, dan menyesuaikan diri dengan pertambahan umur.
6. Tugas perkembangan orang tua :
Menyesuaikan diri dengan semakin menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan, menyesuaikan diri terhadap menurunnya pendapatan atau karena pensiun, menyesuaikan diri sebagai duda atau janda, menjalin hubungan dengan klub lanjut usia, memenuhi kewajiban sosial sebagai warga negara yang baik, dan membangun kehidupan fisik yang memuaskan.
Tugas-tugas yang harus dijalankan oleh setiap individu sepanjang hidupnya seperti tertera diatas, memberi kemudahan kepada para pendidik pada setiap jenjang dan tingkat pendidikan untuk :
1. Menentukan arah pendidikan.
2. Menentukan metode atau model belajar anak-anak agar mereka mampu menyelesaikan tugas perkembangannya.
3. Menyiapkan materi pelajaran yang tepat.
4. Menyiapkan pengalaman belajar yang cocok dengan tugas perkembangan itu.
Konsep Jean Piaget memakai pendekatan pentahapan tetapi bersifat khusus yang menekankan tingkat-tingkat perkembangan khusus yaitu 4 kognisi: (Mulyani 1988, Nana Syaodih 1988, dan Callahan 1983).
1. Periode sensorimotor pada umur 0 – 2 tahun.
Kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks. Reaksi intelektual hampir seluruhnya karena rangsangan langsung dari alat-alat indra. Punya kebiasaan memukul-mukul dan bermain-main dengan permainannya. Mulai dapat menyebutkan nama-nama objek tertentu.
2. Periode praoperasional pada umur 2 – 7 tahun.
Perkembangan bahasa anak ini sangat pesat. Peranan intuisi dalam memutuskan sesuatu masih besar, menyimpulkan hanya berdasarkan sebagian kecil yang diketahui. Analisis rasional belum berjalan.
3. Periode operasi konkret pada umur 7 – 11 tahun.
Mereka sudah bisa berpikir logis, sistematis, dan memecahkan masalah yang bersifat konkret, sudah mampu mengerjakan penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.
4. Periode operasi formal pada umur 11 – 15 tahun.
Anak-anak ini sudah dapat berpikir logis terhadap masalah baik yang konkret maupun yang abstrak. Dapat membentuk ide-ide dan masa depannya secara realistis.
Perkembangan kognisi menurut Bruner sebagai berikut, (Toeti Soekamto, 1994).
1. Tahap enaktif, anak melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya memahami lingkungan.
2. Tahap ikonik, anak memahami dunia melalui gambaran-gambaran dan visualisasi verbal.
3. Tahap simbolik, anak telah memiliki gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika.
Selanjutnya Bruner mengatakan bahwa perkembangan kognisi seseorang bisa dimajukan dengan jalan mengatur bahan pelajaran, antara lain dengan kurikulum spiral.
Lawrence Kohlberg mengembangkan teori moral kognisi atas dasar teori Piaget. Menurut dia ada tiga tingkat perkembangan moral kognisi, yang masing-masing tingkat ada dua tahap sebagai berikut : (McNeil 1977, dan Nana Syaodih 1988).
1. Tingkat Prekonvensional
a. Tahap orientasi kepatuhan dan hukuman.
b. Tahap orientasi egois yang naif.
2. Tingkat Konvensional
a. Tahap orientasi anak yang baik.
b. Tahap orientasi mempertahankan peraturan dan norma sosial.
3. Tingkat Post-Konvensional
a. Tahap orientasi kontak sosial yang legal.
b. Tahap orientasi prinsip etika universal.
Inilah tingkat-tingkat perkembangan moral anak atas dasar pemahamannya tentang moral itu sendiri.
Dalam aspek afeksi, Erikson mencoba menyusun perkembangannya sebagai berikut : (Mulyani, 1988).
1. Bersahabat vs menolak pada umur 0 – 1 tahun.
Bayi yang diasuh dengan kasih sayang dan kebutuhan-kebutuhan terpenuhi akan merasa bersahabat dengan orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya bila dia disia-siakan dan kebutuhannya tak terpenuhi, maka ia akan menentang lingkungan.
2. Otonomi vs malu dan ragu-ragu pada umur 1 – 3 tahun.
Anak merasa memiliki otonomi dan kebanggaan. Ia merasa dapat mengendalikan otot-ototnya, mengendalikan diri dan lingkungan. Tetapi, bila orang tua terlalu memanjakan, timbul malu-malu dan keragu-r aguan anak itu tentang kemampuan.
3. Inisiatif vs perasaan bersalah pada umur 3 – 5 tahun.
Anak-anak pada masa ini banyak berinisiatif manakala diberi kesempatan lebih besar. Kalau mereka tidak diperlakukan seperti itu mereka akan merasa guilted (bersalah).
4. Perasaan produktif vs rendah diri pada umur 6 – 11 tahun.
Jika mereka dihargai dan diberi hadiah membuat peran produktif berkembang. Tetapi anak-anak yang bodoh cenderung punya perasaan rendah diri.
5. Identitas diri vs kebingungan pada umur 12 – 18 tahun.
Para remaja ini sudah mulai dapat mengidentifikasi dirinya berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lampau. Perasaan dan keinginan-keinginan baru mulai tumbuh. Mereka juga sudah bisa berpikir jernih tentang hal-hal disekelilingnya.
6. Intim vs mengisolasi diri pada umur 19 – 25 tahun.
Orang-orang ini sudah bisa intim dalam suami istri dan mampu berbagi rasa pada orang lain. Dan bila tidak berhasil, ia akan mengisolasi diri.
7. Generasi vs kesenangan pribadi pada umur 25 – 45 tahun.
Orang tua atau orang seumur ini sudah mulai memikirkan generasi muda, masyarakat, dan dunia tempat generasi ini tinggal. Bila tidak, orang tua ini hanya mengejar kesenangan pribadi saja.
8. Integritas vs putus asa pada umur 45 tahun ke atas.
Integritas muncul kalau orang tua ini dapat membawa diri secara memuaskan dalam pergaulan anak-cucunya. Bila tidak, maka orang ini akan berputus asa.
Seperti halnya dengan perkembangan kognisi, perkembangan afeksi ini pun memberi kemudahan kepada para pendidik dalam mengembangkan afeksi anak-anak, juga dalam mempengaruhi afeksi orang dewasa dan orang yang sudah tua. Sehubungan dengan hal ini perlu dikemukakan simpulan Baller dan Charles sebagai berikut, (Mulyani, 1988).
1. Anak yang berasal dari keluarga yang memberi layanan baik akan bersikap ramah, luwes, bersahabat, dan mudah bergaul.
2. Anak yang dilahirkan pada keluarga yang menolak kelahiran itu, akan cenderung menimbulkan masalah, agresif, menentang orang tua, dan sulit diajak berbicara.
3. Anak yang diberikan pada keluarga yang acuh tak acuh pada anak, cenderung bersikap pasif dan kurang populer di luar rumah.
Gagne membahas perkembangan kemampuan belajar, sebagai berikut : (McNeil, 1977).
1. Multideskriminasi, yaitu belajar membedakan stimuli yang mirip, misalnya huruf b dengan d.
2. Belajar konsep, yaitu belajar membuat respon sederhana, seperti huruf hidup, huruf mati, dan sebagainya.
3. Belajar prinsip, yaitu mempelajari prinsip-prinsip atau aturan-aturan konsep.
4. Pemecahan masalah, yaitu belajar mengkombinasikan dua atau lebih prinsip untuk memperoleh sesuatu yang baru.
Pembahasan tentang psikologi perkembangan ini memberi petunjuk yang sangat berharga bagi para pendidik dalam mengoperasikan pendidikannya.
B. Psikologi Belajar
Belajar adalah perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil pengalaman dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu mengkomunikasikannya kepada orang lain.
Ada sejumlah prinsip belajar menurut Gagne (1979) sebagai berikut :
1. Kontiguitas, memberikan situasi atau materi yang mirip dengan harapan pendidik tentang respon anak yang diharapkan, beberapa kali secara berturut-turut.
2. Pengulangan, situasi dan respon anak diulang-ulang atau dipraktekkan agar belajar lebih sempurna dan lebih lama diingat.
3. Penguatan, respon yang benar misalnya diberi hadiah untuk mempertahankan dan menguatkan respon itu.
4. Motifasi positif dan percaya diri dalam belajar.
5. Tersedia materi pelajaran yang lengkap untuk memancing aktivitas anak.
6. Ada upaya membangkitkan keterampilan intelektual untuk belajar, seperti apersepsi dalam mengajar.
7. Ada strategi yang tepat untuk mengaktifkan anak-anak dalam belajar.
8. Aspek-aspek jiwa anak harus dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam pengajaran.
Tiga butir pertama disebut Gagne sebagai faktor-faktor ekstern yang mempengaruhi hasil belajar, sedangkan sisanya adalah sebagai faktor intern. Ada sejumlah teori belajar secara sistematik adalah sebagai berikut : (Callahan, 1983, Nana Syaodih, 1988, dan Toeti Soekamto, 1994).
1. Teori belajar klasik :
a. Disiplin Mental Theistik
b. Disiplin Mental Humanistik
c. Naturalis atau aktualisasi diri
d. Apersepsi
2. Teori belajar modern ;
a. R-S Bond atau Asosiasi
b. Pengkondisian (kondisioning) Instrumental
c. Pengkondisian (kondisioning) Operan
d. Penguatan
e. Kognisi
f. Belajar bermakna
g. Insight atau Gestalt
h. Lapangan
i. Tanda (sign)
j. Fenomologi
Teori belajar modern diatas dapat pula dibagi dua kelompok, yaitu :
1. Behavioris yang mencakup nomor a sampai dengan d.
2. Kognisi yang mencakup nomor e sampai dengan j.
Teori belajar Disiplin Mental Theistik berasal dari Psikologi Daya atau Psikologi Fakulti. Menurut teori ini individu atau anak memiliki sejumlah daya mental (pikiran, ingatan, perhatian, kemampuan, keputusan, observasi, tanggapan) yang dapat ditingkatkan kemapuannya melalui latihan-latihan.
Teori belajar Disiplin Mental Humanistik bersumber dari Psikologi Humanistik Kalsik ciptaan Plato dan Aristoteles. Teori ini sama dengan Disiplin Mental Theistik, yaitu manakala daya itu dilatih, mereka akan semakin kuat, dan manakala sudah kuat, maka individu bersangkutan dengan mudah dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Bedanya adalah teori diatas melatih bagian demi bagian daya, maka Disiplin Mental Humanistik menekankan keseluruhan sebagai potensi individu secara utuh.
Teori belajar Naturalis atau Aktualisasi Diri berpangkal dari Psikologi Naturalis Romantik yang dipimpin Rousseau. teori Naturalis memandang setiap anak memiliki sejumlah potensi yang juga harus dikembangkan, tetapi bukan oleh pendidik dengan cara melatih, melainkan oleh anak itu sendiri.
Teori belajar Apersepsi yang berasal dari Psikologi Struktur atau Herbatisme ciptaan Herbart. Psikologi ini memandang bahwa jiwa manusia merupakan struktur yang bisa berubah dan bertambah manakala orang yang bersangkutan belajar. Pertambahan ini didapat melalui asosiasi antara struktur yang sudah ada dengan hal-hal yang dipelajari.
Langkah-langkah belajar menurut Herbart adalah sebagai berikut :
1. Pendidik harus mengadakan persiapan dengan cermat.
2. Pendidikan harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga anak-anak merasa jelas memahami pelajaran itu, yang memudahkan asosiasi-asosiasi baru terbentuk.
3. Asosiasi-asosiasi baru terbentuk antara materi yang dipelajari dengan struktur jiwa atau apersepsi anak yang telah ada.
4. Mengadakan generalisasi, pada saat ini terbentuklah suatu struktur baru dalam jiwa anak.
5. Mengaplikasikan pengetahuan yang baru didapat agar struktur terbentuk semakin kuat.
Teori Psikologi Belajar Klasik, walaupun sudah tua, untuk hal-hal tertentu masih bisa dipakai. Teori Disiplin Mental misalnya masih bermanfaat dalam melatih anak-anak menguasai perkalian dibawah 100. dengan dilatih berkali-kali mereka akan hafal perkalian itu diluar kepala. Begitu pula halnya dengan latihan-latihan mengerjakan soal adalah memakai teori Belajar Disiplin Mental. Latihan-latihan ini menggunakan sejumlah soal yang sudah tentu ada kesamaan satu dengan yang lain untuk setiap jenisnya.
Sekarang mari kita teruskan pembahasan ini dengan teori-teori belajar modern. Teori Belajar R-S Bond atau Asosiasi yang dicetuskan oleh kelompok Behavioris, dengan tokohnya Thorndike. Teori ini disebut juga Psikologi Koneksionisme atau Asosiasinisme yang memandang belajar akan terjadi kalau ada kontak hubungan antara orang yang bersangkutan dengan benda-benda yang ada diluar. Ini yang dinamakan S-R Bond, yaitu S adalah Stimulus dari luar diri seseorang dan R adalah Respon orang yang bersangkutan, sedangkan Bond adalah hubungan atau asosiasi. Contohnya, anak-anak disuruh membaca oleh gurunya sebagai stimulus dan anak-anak membaca sebagai respon. Dengan melakukan kegiatan membaca berarti anak-anak sudah belajar serta mendapatkan pengetahuan.
Berkaitan dengan teori Belajar Asosiasi ini, Thorndike mencetuskan tiga hukum belajar sebagai berikut :
1. Hukum kesiapan, artinya semakin siap anak itu semakin mudah terbentuk hubungan antara stimulus dengan respon.
2. Hukum latihan atau pengulangan. Hubungan stimulus dengan respon akan terbentuk bila hubungan itu sering diulang atau dilatih berkali-kali.
3. Hukum dampak, maksudnya ialah hubungan antara stimulus dan respon akan terjadi bila hubungan itu memberikan dampak yang menyenangkan.
Teori belajar Pengkondisian Instrumental atau R-S Bond berawal dari teori belajar Pengkondisian Klasik, dengan tokohnya adalah Watson dan Thorndike. Belajar menurut mereka adalah masalah melekatkan atau menguatkan respon yang benar dan menyisihkan respon yang salah akibat pemberian hadiah dan tidak dihiraukannya konsekuensi respon yang salah. Contohnya, diatas meja belajar disiapkan permen yang enak, anak-anak tidak boleh mengambil permen itu sebelum mereka selesai belajar. Setelah berlangsung beberapa kali, maka kemudian hari tanpa permen pun anak-anak belajar dengan rajin.
Teori belajar Pengkondisian Operan diperkenalkan oleh Skiner. Kalau teori Pengkondisian Instrumental memberi kondisi sebelum respon, maka teori belajar Pengkondisian Operan memberikan kondisi sesudah terjadinya respon.
Teori belajar Penguatan atau Reinforcement lahir dari Psikologi Reinforcement yang dipimpin oleh Hull. Pada prinsipnya teori ini memberi penguatan pada respon-respon yang benar atau yang sesuai dengan har apan. Bila siswa mendapat skor tinggi, ia diberi pujian. Pujian, hadiah, dan penghargaan adalah merupakan penguatan-penguatan agar individu-individu bersangkutan tetap konsisten dengan tindakannya yang sudah baik itu, bila perlu bisa ditingkatkan lagi.
Dalam kaitannya dengan teori Penguatan ini, dikenal ada dua macam penguatan, yaitu :
1. Penguatan positif, ialah setiap stimulus yang dapat memantapkan respon pada Pengkondisian Instrumental dan setiap hadiah yang dapat memantapkan respon pada Pengkondisian Operan.
2. Penguatan negatif, ialah stimulus yang perlu dihilangkan untuk memantapkan respon yang terjadi. Misalnya tugas-tugas yang terlalu berat perlu dihilangkan agar siswa tetap rajin belajar.
Ada perbedaan antara penguatan positif dan negatif dengan hukuman. Penguatan adalah pemberian stimulus positif atau penghilangan stimulus negatif. Sementara itu hukuman adalah pemberian stimulus negatif atau penghilangan stimulus positif.
Pada hakikatnya, teori belajar Behaviorisme ini hanya ada dua yaitu teori Pengkondisian Instrumental dan teori Pengkondisian Operan. Teori-teori ini amat bermanfaat untuk mengembangkan tingkah laku yang nyata, tetapi untuk belajar memahami sesuatu terutama hal-hal yang rumit, memecahkan masalah, mengkreasikan sesuatu, dan sejenisnya cukup sulit melaksanakannya.
Kini mari kita beralih kepada teori-teori kognitivisme. Pertama adalah teori Kognisi ciptaan Bruner (Connell, 1974) yang menekankan pada cara individu mengorganisasikan apa yang telah ia alami dan pelajari. Sistem pengorganisasian ini merupakan kunci untuk memahami tingkah laku seseorang, merupakan alat untuk berpikir dan memecahkan masalah. Para siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep dan prinsip-prinsip serta kesempatan untuk mengembangkan pola dan teknik meneliti.
Kedua adalah teori Belajar Bermakna yang diciptakan oleh Ausubel. Agar belajar menjadi bermakna, maka materi baru haruslah bertalian dan sebagai bagian dari konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognisi. Proses menghubungkan informasi baru dengan elemen-elemen dalam struktur kognisi disebut subsumption atau menyatukan menjadi bagian dari struktur itu. Dalam pendidikan ditekankan ceramah yang terorganisir dengan baik, dengan cara ini ada keterkaitan konsep lama dengan konsep baru, dan dapat juga dipasangkan konsep yang berlawanan sehingga belajar menjadi bermakna.
Teori belajar Insight atau Gestalt (Callahan, 1983) memandang anak-anak telah memiliki sikap dan keterampilan yang kompleks dari hasil belajarnya. Anak-anak memandang situasi belajar sebagai satu kesatuan atau gestalt dan merespon terhadap keseluruhan itu merupakan suatu yang penting untuk memahaminya. Dalam hal ini belajar juga menggunakan insight atau pemahaman, suatu yang lepas dari kebingungan sehingga menemukan keteraturan dalam materi yang baru.
Dalam pendidikan, teori belajar Gestalt ini sering dicontohkan pada gambar muka manusia. Bila gambar muka manusia itu dilihat satu persatu, tidak akan mudah melihatnya sebagai muka manusia. Tetapi bila dilihat sebagai keseluruhan, maka dengan cepat kita akan mengatakan gambar muka manusia.
Teori lapangan atau Field dalam belajar dipelopori oleh Lewin (Callahan, 1983). Lewin mencoba menjelaskan perilaku manusia melalui cara mereka merespon terhadap faktor-faktor lingkungan, terutama lingkungan sosial. Belajar adalah usaha untuk menilai kembali dan mendapatkan kejelasan dari ruang kehidupan, sehingga ruang kehidupan berkembang.
Callahan (1983) melanjutkan teori lapangan dengan teori tanda atau sign dan teori fenomologi. Teori tanda dipeloporioleh Toman, yang mengatakan bahwa perilaku itu mengarah kepada tujuan. Belajar adalah suatu harapan bahwa stimulus akan diikuti oleh situasi yang jelas.
Teori belajar fenomologi diciptakan oleh Snygg dan Combs, yang memandang individu itu berada dalam keadaan dinamis yang stabil dan memiliki persepsi bersifat fenomologi.
C. PSIKOLOGI SOSIAL
Psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari psikologi seseorang di masyarakat, yang mengkombinasikan ciri-ciri pskologi dengan ilmu sosial untuk mempelajari pengaruh masyarakat dengan kondisi individu dan antarindividu (Hollander, 1981).
Pembentukan kesan pertama ditentukan oleh :
a. kepribadian orang yang diamati
b. perilaku orang tersebut
c. latar belakang situasi waktu mengamati persepsi diri sendiri bersumber dari perilaku kita yang overt dan persepsi kita terhadap lingkungan, serta banyak dipengaruhi oleh sikap dan perasaan.
Sikap muncul bisa secara alami dan dapat juga dengan pengkondisian serta dengan mempelajari sikap para tokoh.
Motivasi ditentukan oleh faktor-faktor :
1. minat dan kebutuhan individu.
2. persepsi terhadap tugas yang menantang
3. harapan sukses keintiman hubungan yang disebut penetrasi sosial akan terjadi manakala perilaku antarpribadi diikuti oleh perasaan subjektif.
Perilaku agresif disebabkan oleh :
a. insting berkelahi
b. gangguan dari pihak lain
c. putus asa
jenis-jenis perilaku agresif adalah :
a. agresif anti social, seperti memaki-maki
b. agresif proposial, seperti menembak teroris
c. agresif sanksi, seperti menampar orang yang melecehkannya.
Altruisme adalah hasil kasih sayang yang tidak mengharapkan balasan.
Kesepakatan atau kepatuhan memudahkan proses pembinaan dalam suatu kelompok. Ada sejumlah perbedaan kemampuan dan sifat antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Perbedaan ini di samping bersifat alami, juga karena pengalaman dan pendidikan. Peranan pemimpin cukup menentukan keberhasilan tugas-tugas kelompok.
D. KESIAPAN BELAJAR DAN ASPEK-ASPEK INDIVIDU
Kesiapan belajar secara umum adalah kemampuan seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari pengalaman yang ia temukan. Kesiapan belajar yang bersifat afektif dan kognitif perlu diperhatikan oleh pendidik agar materi yang dipelajari anak-anak dapat dipahami dan diinternalisasi dengan baik. Kesiapan afeksi harus dikembangkan dengan model pengembangan motivasi sedangkan kesiapan kognisi dipelajari dari tingkat-tingkat perkembangan kognisi mereka.
Fungsi jiwa dan tubuh atau aspek-aspek individu yang akan dikembangkan adalah sebagai berikut :
1. rohani
a. umum
1). agama
2). perasaan
3). kemauan
4). pikiran
b. sosial
1). kemasyarakatan
2). cinta tanah air
2. jasmani
a. keterampilan
b. kesehatan
c. keindahan tubuh kesembilan aspek individu harus diberi perhatian yang sama oleh pendidik serta dilayani secara berimbang.
Wujud perkembangan total atau berkembang seutuhnya memenuhi tiga kriteria, yaitu :
a. semua potensi berkembang secara proposional atau berimbang atau harmonis.
b. Potensi-potensi itu berkembang secara optimal
c. Potensi-potensi berkembang secara integratif.
E. Implikasi Konsep Pendidikan
Implikasinya kepada konsep pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Psikologi perkembangan yang bersifat umum, yang berorientasi pada afeksi, dan pada kognisi, semuanya memberi petunjuk pada pendidik bagaimana seharusnya ia menyiapkan dan mengorganisasi materi pendidikan serta bagaimana membina anak-anak mereka agar mau belajar dengan sukarela.
2. Psikologi belajar
a. yang klasik
1) Disiplin mental bermanfaat untuk menghafal perkalian dan melatih soal-soal.
2) Naturalis/aktualisasi diri bermanfaat untuk pendidikan seumur hidup.
3) Behavior bermanfaat atau cocok untuk membentuk perilaku nyata.
4) Kognisi cocok untuk mempelajari materi-materi pelajaran yang lebih rumit yang membutuhkan pemahaman, untuk memecahkan masalah dan, untuk berkreasi menciptakan sesuatu bentuk atau ide baru.
3. Psikologi sosial
a. Persepsi diri atau konsep tentang diri sendiri ternyata bersumber dari perilaku yang overt dan persepsi kita terhadap lingkungan dan banyak dipengaruhi oleh sikap serta perasaan kita.
b. Pembentukan sikap bisa secara alami, dikondisi, dan meniru sikap para tokoh.
c. Sama halnya dengan sikap, motivasi anak-anak juga perlu dikembangkan pada saat yang memungkinkan melalui,
1) Pemenuhan minat kebutuhannya.
2) Tugas-tugas yang menantang.
3) Menanamkan harapan yang sukses dengan cara sering memberikan pengalaman sukses.
d. Hubungan yangintim diperlukan dalam proses konseling, pembimbingan, dan belajar dalam kelompok.
e. Pendidik perlu membendung perilaku agresif anti sosial, tetapi mengembangkan agresif prososial dan sanksi.
f. Pendidik perlu mengembangkan kemampuan memimpin dikalangan anak-anak.
4. Kesiapan belajar yang bersifat afektif dan kognitif perlu diperhatikan oleh pendidik agar materi yang dipelajari anak-anak dapat dipahami dan diinternalisasi dengan baik.
5. Kesembilan aspek individu harus diberi perhatian yang sama oleh pendidik dan dilayani secara berimbang.
6. Wujud perkembangan total atau berkembang seutuhnya memenuhi 3 kriteria:
a. Semua potensi berkembang secara proporsional atau berimbang dan harmonis.
b. Potensi-potensi itu berkembang secara optimal.
c. Potensi-potensi berkembang secara integratif.
REFERENSI :
Pidarta, Made. 2007. LANDASAN KEPENDIDIKAN Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Cetakan pertama. Rineka Cipta : Jakarta