Kamis, 06 Mei 2010

Hakikat Pendidikan

Oleh: Akhmad Sudrajat

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang berfikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup dalam hidup dan penghidupan manusia yang mengemban tugas dari Sang Kholiq untuk beribadah.

Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah Subhanaha watta’alla dengan suatu bentuk akal pada diri manusia yang tidak dimiliki mahluk Allah yang lain dalam kehidupannya, bahwa untuk mengolah akal pikirnya diperlukan suatu pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran.

Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Menurut William F (tanpa tahun) Pendidikan harus dilihat di dalam cakupan pengertian yang luas. Pendidikan juga bukan merupakan suatu proses yang netral sehingga terbebas dari nilai-nilai dan Ideologi.
Kosasih Djahiri (1980 : 3) mengatakan bahwa Pendidikan adalah merupakan upaya yang terorganisir, berencana dan berlangsung kontinyu (terus menerus sepanjang hayat) kearah membina manusia/anak didik menjadi insan paripurna, dewasa dan berbudaya (civilized).

Dari pengertian tersebut bahwa pendidikan merupakan upaya yang terorganisir memiliki makna bahwa pendidikan tersebut dilakukan oleh usaha sadar manusia dengan dasar dan tujuan yang jelas, ada tahapannya dan ada komitmen bersama didalam proses pendidikan itu. Berencana mengandung arti bahwa pendidikan itu direncanakan sebelumnya, dengan suatu proses perhitungan yang matang dan berbagai sistem pendukung yang disiapkan. Berlangsung kontinyu artinya pendidikan itu terus menerus sepanjang hayat, selama manusia hidup proses pendidikan itu akan tetap dibutuhkan, kecuali apabila manusia sudah mati, tidak memerlukan lagi suatu proses pendidikan.

Selanjutnya diuraikan bahwa dalam upaya membina tadi digunakan asas/pendekatan manusiawi/humanistik serta meliputi keseluruhan aspek/potensi anak didik serta utuh dan bulat (aspek fisik–non fisik : emosi–intelektual ; kognitif–afektif psikomotor), sedangkan pendekatan humanistik adalah pendekatan dimana anak didik dihargai sebagai insan manusia yang potensial, (mempunyai kemampuan kelebihan – kekurangannya dll), diperlukan dengan penuh kasih sayang – hangat – kekeluargaan – terbuka – objektif dan penuh kejujuran serta dalam suasana kebebasan tanpa ada tekanan/paksaan apapun juga.

Melalui penerapan pendekatan humanistik maka pendidikan ini benar-benar akan merupakan upaya bantuan bagi anak untuk menggali dan mengembangkan potensi diri serta dunia kehidupan dari segala liku dan seginya.
Menurut Ki Hadjar Dewantara terdapat lima asas dalam pendidikan yaitu :

1. Asas kemerdekaan; Memberikan kemerdekaan kepada anak didik, tetapi bukan kebebasan yang leluasa, terbuka (semau gue), melainkan kebebasan yang dituntun oleh kodrat alam, baik dalam kehidupan individu maupun sebagai anggota masyarakat.
2. Asas kodrat Alam; Pada dasarnya manusia itu sebagai makhluk yang menjadi satu dengan kodrat alam, tidak dapat lepas dari aturan main (Sunatullah), tiap orang diberi keleluasaan, dibiarkan, dibimbing untuk berkembang secara wajar menurut kodratnya.
3. Asas kebudayaan; Berakar dari kebudayaan bangsa, namun mengikuti kebudyaan luar yang telah maju sesuai dengan jaman. Kemajuan dunia terus diikuti, namun kebudayaan sendiri tetap menjadi acauan utama (jati diri).
4. Asas kebangsaan; Membina kesatuan kebangsaan, perasaan satu dalam suka dan duka, perjuangan bangsa, dengan tetap menghargai bangsa lain, menciptakan keserasian dengan bangsa lain.
5. Asas kemanusiaan; Mendidik anak menjadi manusia yang manusiawi sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk Tuhan.

Menurut Tilaar (2000 : 16) ada tiga hal yang perlu di kaji kembali dalam pendidikan. Pertama, pendidikan tidak dapat dibatasi hanya sebagai schooling belaka. Dengan membatasi pendidikan sebagai schooling maka pendidikan terasing dari kehidupan yang nyata dan masyarakat terlempar dari tanggung jawabnya dalam pendidikan. Oleh sebab itu, rumusan mengenai pendidikan dan kurikulumnya yang hanya membedakan antara pendidikan formal dan non formal perlu disempurnakan lagi dengan menempatkan pendidikan informal yang justru akan semakin memegang peranan penting didalam pembentukan tingkah laku manusia dalam kehidupan global yang terbuka. Kedua, pendidikan bukan hanya untuk mengembangkan intelegensi akademik peserta didik. Pengembangan seluruh spektrum intelegensi manusia baik jasmaniah maupun rohaniyahnya perlu diberikan kesempatan didalam program kurikulum yang luas dan fleksibel, baik didalam pendidikan formal, non formal dan informal. Ketiga, pendidikan ternyata bukan hanya membuat manusia pintar tetapi yang lebih penting ialah manusia yang berbudaya dan menyadari hakikat tujuan penciptaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sindhunata (2000 : 14) bahwa tujuan pendidikan bukan hanya manusia yang terpelajar tetapi manusia yang berbudaya (educated and Civized human being).

Dengan demikian proses pendidikan dapat kita rumuskan sebagai proses hominisasi dan humanisasi yang berakar pada nilai-nilai moral dan agama, yang berlangsung baik di dalam lingkungan hidup pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa, kini dan masa depan.

Untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yaitu masyarakat madani yang diridhoi Allah swt. tentunya memerlukan paradigma baru. Paradigma lama tidak memadai lagi bahkan mungkin sudah tidak layak lagi digunakan. Suatu masyarakat yang religius dan demokratis tentunya memerlukan berbagai praksis pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang religius dan demokratis pula. Masyarakat yang tertutup, yang sentralistik, yang mematikan inisiatif berfikir manusia dan jauh dari nilai-nilai moral dan agama Islam bukanlah merupakan pendidikan yang kita inginkan. Pada dasarnya paradigma pendidikan nasional yang baru harus dapat mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global dengan tetap memiliki keyakinan yang kuat terhadap Allah dan Syariatnya. Paradigma tersebut haruslah mengarah kepada lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu, demokratis dan religius yang sesuai dengan kehendaknya sebagai wujud nyata fungsi kekhalifahan manusia dimuka bumi.

Oleh sebab itu, penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik dan sekurelistik baik didalam manajemen maupun didalam penyusunan kurikulum yang kering dari nilai-nilai moral dan agama harus diubah dan disesuaikan kepada tuntutan pendidikan yang demokratis dan religius. Demikian pula di dalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif, maka proses pendidikan haruslah mampu mengembangkan kemampuan untuk berkompetensi didalam kerja sama, mengembangkan sikap inovatif dan ingin selalu meningkatkan kualitas. Demikian pula paradigma pendidikan baru bukanlah mematikan kebhinekaan malahan mengembangkan kebhinekaan menuju kepada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayaan kebhinekaan mayarakat dan bangsa Indonesia.

Diambil dan Adaptasi dari:
Tata Abdulah. 2004. Landasan dan Prinsip Pendidikan Umum (Makalah). Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI Bandung

Guru dan Siswa yang Terintimidasi

Oleh: Akhmad Sudrajat

Les Parsons dalam bukunya yang berjudul Bullied Teacher Bullied Student mengupas tentang perilaku intimidasi di sekolah, baik yang dilakukan oleh siswa, guru, maupun kepala sekolah. Dengan mengutip pemikiran Peter Randall, dikemukakannya bahwa yang dimaksud dengan perilaku intimidasi adalah perilaku agresif yang muncul dari suatu maksud yang disengaja untuk mengakibatkan tekanan kepada orang lain secara fisik dan psikologis. Perilaku yang agresif dan menyakitkan ini dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang. Disebutkan pula, bahwa kunci utama dari pengertian ini terletak pada penyalahgunaan secara sistematis dari ketidakseimbangan kekuatan.

Terdapat beberapa poin penting tentang permasalahan perilaku intimidasi di sekolah, diantaranya:

* Di sekolah, intimidasi dapat terjadi dimana saja dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Pelaku intimidasi bisa siswa atau orang dewasa.
* Pelaku intimidasi dapat beraksi sendirian atau bersama kaki tangan.
* Sasaran intimidasi dapat merupakan seseorang atau sekelompok orang.
* Intimidasi adalah perbuatan berulang seseorang atau sekelompok orang yang takut kepada si pelaku intimidasi Di sini tampak terdapat ketidakseimbangan kekuatan.
* Pelaku intimidasi secara sengaja bermaksud menyakiti seseorang secara fisik, emosi atau sosial.
* Pelaku intimidasi sering merasa perbuatannya itu dapat dibenarkan.
* Pelaku intimidasi sering terorganisasi dan sistematis.
* Pelaku intimidasi para saksi atau penonton yang tidak akan berbuat apa pun untuk menghentikan intimidasi itu atau malah mendukung perbuatan tersebut.
* Intimidasi dapat berlangsung untuk waktu jangka pendek atau untuk waktu yang tidak terbatas.

Ilustrasi berikut ini mungkin dapat memberikan gambaran tentang perilaku intimidasi yang terjadi di sekolah, baik yang dilakukan siswa, guru, kepala sekolah maupun orang tua :

1. Seorang siswa yang populer, menarik dan berprestasi, yang dipandang oleh orang dewasa sebagai sosok yang patut ditiru dan seorang pemimpin kelas, namun dibalik itu dia memiliki pengaruh sosial untuk mendominasi, mengendalikan dan secara selektif mengucilkan teman-temannya.
2. Seorang guru pekerja keras yang dimata orang tua dianggap sebagai seorang yang profesional dan mampu mengendalikan kelas dengan sempurna, serta memiliki standar-standar tinggi, tetapi secara berkala membuat siswa menangis karena kata-kata kasarnya, tindakan-tindakan yang mempermalukan dan ejekan-ejekannya.
3. Kepala sekolah yang dengan seksama dan sistematis melecehkan staf dan guru yang dianggap sebagai saingannya, sementara dihadapan atasannya ia terlihat berperilaku lembut dan penurut.
4. Orang tua agresif untuk menekan perilaku agesif anaknya di rumah, tetapi merespons luapan keagresifan terpendamnya di sekolah dengan menyalahkan pihak sekolah secara keji dan berang, secara terus menerus melecehkan sekolah atas setiap kecerobohan yang mereka lihat.

A. Siswa yang Mengintimidasi

Siswa yang melakukan intimidasi pada siswa lain terdorong oleh beberapa alasan:

1. Gangguan pengendalian diri;

Siswa seperti ini merasa berselisih dengan dunia yang serba bermusuhan. Mereka mengalami kegelisahan emosional, salah menafsirkan dan salah memahami segala bentuk interaksi dengan orang lain, dan tidak mampu mengendalikan dorongan-dorongan agresif yang muncul. Mereka sering melanggar peraturan, memulai tindakan agresif, merusak milik orang, menyalahkan orang lain, dan menunjukkan kurang pengertian atau simpati terhadap hak-hak dan perasaan orang lain.

2. Intimidasi yang dipelajari

Siswa dapat belajar mengintimidasi melalui berbagai cara, seperti: menyaksikan perbuatan-perbuatan kejam, mendapat imbalan atas tindakan agresif yang pernah dilakukannya, termasuk jika dia mendapatkan perlakuan agresif dari orang lain.

Penggunaan hukuman fisik, hukuman yang tidak konsisten dan pemanjaan berlebihan yang dilakukan oleh orang tua memiliki korelasi dengan perilaku agresif anaknya.

3. Mengintimidasi untuk memperoleh sesuatu

Ketika sebagian besar anak melakukan intimidasi, mereka mempunyai tujuan yang jelas dalam benak mereka. Mereka sengaja menggunakan kekerasan untuk memperoleh apa yang mereka inginkan dari orang lain—uang jajan, jawaban ketika mengahadapi ujian, atau hanya sekedar kesenangan untuk mendominasi, dan bahkan untuk memperkokoh status dan harga diri dalam hierarki sosial

Untuk menghadapi kasus-kasus di atas, para guru mestinya dapat melihatnya sebagai gejala dari suatu kelainan, bukanlah perbuatan atas kemauan sendiri. Dalam hal ini, bukan berarti guru membolehkan atau memaafkan perilaku agresif tersebut, tetapi guru harus mampu merencanakan pendekatan manajemen kelas yang tepat, bekerja sama dengan ahli atau nara sumber spesialis yang terlatih.

B. Guru yang Mengintimidasi

Guru pelaku intimidasi adalah guru yang menggunakan kekuasaannya untuk menghukum, memanipulasi, atau mengolok-olok siswa, melampaui tindakan disipliner yang masuk akal.

Guru pelaku intimidasi kadang tidak mampu melihat dirinya yang sesungguhnya. Mereka mengartikan perlakuan agresifnya sebagai suatu tindakan yang tegas, perkataan mereka yang kasar dianggapnya sebagai ungkapan jujur, ketidakkonsistenan sebagai flesksibilitas, serta kekakuan dan obsesi mereka terhadap hal-hal remeh dianggap sebagai ketelitiannya. Pelaku-pelaku intimidasi semacam ini jarang mengakui kesalahan mereka dan menganggap kekeliruan adalah kesalahan orang lain. Mereka merasa penting, berkuasa, elite dan berhak. Menganggap orang lain iri, memanipulasi dan mengeksploitasi orang lain demi kepentingan mereka sendiri, dan tidak memiliki empati bagi target mereka. Mereka menjadi pribadi yang egois, tidak dapat diprediksi, kritis dan pemarah. Sebagai orang dewasa, guru pelaku intimidasi lihai dalam memilih sasaran, terutama ke samping, ke bawah, tetapi jarang mengintimidasi ke atas.

Perilaku guru mengintimidasi meliputi: (1) kekerasan verbal melalui penggunaan stereotip- stereotip dan penamaan yang bermuatan seksis, rasis, kultur, sosio-ekonomi, ketidaksempurnaan fisik dan homofobik; (2) kekerasan fisik; seperti mengguncang, mendorong, mencubit, menjambak, menjewer, memukul dengan penggaris atau melemparkan sesuatu; (3) kekerasan psikologis; berteriak, berbicara dengan sarkasme, menyobek hasil herja, mengadu domba siswa, membuat ancaman-ancaman.; (4) kekerasan yang berkaitan dengan profesionalisme; penilaian yang tidak adil, menerapkan hukuman dengan pilih-pilih, menggunakan cara-cara pendisiplinan yang tidak pantas, mengarahkan pada kegagalan dengan menetapkan standar yang tidak wajar, membohongi rekan kerja, orang tua siswa, atasan mengenai perilaku siswa, mengambil kesempatan dengan menggunakan materi-materi atau pengayaan, mengintimidasi orang tua karena hambatan bahasa, budaya, atau status sosial ekonomi.

C. Kepala Sekolah yang Mengintimidasi

Kepala sekolah memulai kariernya sebagai guru dan kemudian dipromosikan melalui jenjang karier. Perkembangan itu adalah sumber dari kekuatan terbesar mereka dan juga kelemahan terbesar mereka. Kapasitasnya sebagai manajer, kerapkali menjadikan guru, karyawan dan siswa sebagai sasaran kekerasan. Kepala sekolah yang suka mengintimidasi akan menghasilkan perilaku intimidasi pula pada guru, karyawan dan bahkan siswa. Kepala sekolah yang mengintimidasi sering mencoba meremehkan dan merusak hasil kerja guru yang paling berbakat dan kreatif, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap sekolah. secara keseluruhan Perilaku kepala sekolah yang mengintimidasi seringkali menjadi kontradiktif dan membingungkan. Mereka memandang bahwa diri mereka disalahmengertikan dan diganggu. Padahal, faktanya mereka adalah perusak dan disfungsional.

Setiap sekolah haruslah menjadi tempat dimana siswa dan seluruh komunitas merasa aman dan tentram secara fisik maupun emosional. Intimidasi dalam bentuk apa pun, baik yang dilakukan oleh siswa, guru atau kepala sekolah dapat menjadi ancaman dan menghalangi proses pembelajaran. Satu-satunya cara untuk secara tegas menghalau dan menjauhkan intimidasi adalah dengan memaksakan keadilan bagi semua. Hanya dengan itulah sekolah-sekolah akan menjadi lingkungan belajar yang positif, di mana proses pembelajaran dapat dimaksimalkan dan setiap siswa merasa dihargai

Sumber:

Les Parsons. 2009. Bullied Teacher Bullied Student (Guru dan Siswa yang Terintimidasi; Mengenali Budaya Kekerasan di sekolah Anda dan Mengatasinya) Terj.Grace Worang, dkk. Jakarta: Grasindo.

Catatan:

Buku Bullied Teacher Bullied Student ini berisikan:

* Mengenali budaya intimidasi yang sistemik
* Menetralkan ketidakseimbangan kekuatan yang memampukan pelaku intimidasi.
* Menciptakan sebuah lingkungan yang bebas dari stereoip seksual, rasial, dan kultural.
* Menggunakan pembelajaran kooperatif untuk menumbuhkan rasa menghargai terhadap perbedaan.
* Memberdayakan siswa melalui imbalan yang postif
* Memerangi mentalitas “salahkan si korban”

Tulisan yang saya sampaikan di atas hanya sebagian kecil dari isi buku tersebut, terutama menyoroti tentang perilaku dari pelaku intimidasi, yang menurut hemat saya penting untuk diketahui.

Jika Anda ingin memahami lebih lanjut tentang buku ini, mungkin ada baiknya jika Anda membeli buku tersebut di toko buku terdekat atau silahkan diskusikan saja dalam ruang komentar yang tersedia, agar dapat diperoleh pencerahan yang lebih mendalam.

Rabu, 05 Mei 2010

10 Cara Meningkatkan Inovasi

Oleh: Akhmad Sudrajat

Untuk menghadapi dinamika perubahan dan kompetisi yang sangat tajam dan ketat dan demi keberangsungan hidup organisasi itu sendiri, maka setiap orang dalam organisasi dituntut untuk dapat berfikir dan bertindak secara inovatif. Paul Sloane dalam sebuah tulisannya mengetengahkan 10 cara untuk meningkatkan inovasi dalam suatu organisasi, yakni:

1. Memiliki visi untuk berubah

Jangan berharap suatu tim akan menjadi inovatif apabila mereka tidak mengetahui tujuan yang hendak dicapai ke depan. Inovasi harus memiliki tujuan dan seorang pemimpin harus mampu menyatakan dan mendefinisikan tujuan secara jelas sehingga setiap orang dapat memahami dan mengingatnya. Para pemimpin besar banyak meluangkan waktu untuk menggambarkan dan menjelaskan visi, tujuan dan tantangan masa depan kepada setiap orang . Mereka berusaha meyakinkan setiap orang akan peran pentingnya dalam upaya mencapai visi dan tujuan, serta dalam menghadapi berbagai tantangan. Mereka mengilhami kepada setiap orang untuk menjadi enterpreneur yang bersemangat dan menemukan cara-cara yang inovatif untuk memperoleh kesuksesan.

2. Memerangi ketakutan akan perubahan

Para pemimpin inovatif senantiasa mengobarkan semangat pentingnya perubahan. Mereka berusaha menggantikan kepuasan atas kemapanan yang ada dengan kehausan akan ambisi. Mereka akan berkata, ” Saat ini kita memang sedang melakukan hal yang baik, tetapi kita tidak boleh berhenti dan berpuas diri dengan kemenangan yang ada, kita harus melakukan hal-hal yang lebih baik lagi”. Mereka menyampaikan pula bahwa saat ini kita sedang melakukan suatu spekulasi baru yang penuh resiko, dan jika kita tidak bergerak maka akan jauh lebih berbahaya. Mereka memberikan gambaran menarik tentang segala sesuatu yang hendak diraih pada masa mendatang. Oleh karena itu, satu-satunya cara menuju ke arah sana yaitu dengan berusaha memeluk perubahan.

3. Berfikir Seperti Pemodal yang Berani Mengambil Resiko

Seorang pemodal yang berani mengambil resiko akan menggunakan pendekatan portofolio, berusaha mencari keseimbangan antara kegagalan dengan kesuksesan. Mereka senang mempertimbangkan berbagai usulan atau gagasan tetapi tetap merasa nyaman dengan berbagai pemikiran yang menggambarkan tentang kegagalan-kegagalan yang mungkin akan diterima.

4. Memiliki Suatu Rencana Usulan yang Dinamis

Anda harus memfokus pada rencana usulan yang benar-benar hebat, setiap rencana mudah dilaksanakan, sumber tersedia dengan baik, responsif dan terbuka untuk semuanya. Berikan penghargaan dan respons yang wajar kepada karyawan serta para senior harus memliki komitmen agar karyawan tetap dapat menjaga kesegarannya dalam melaksanakan setiap pekerjaan.

5. Mematahkan Aturan

Untuk mencapai inovasi yang radikal, Anda harus memiliki keberanian manantang berbagai asumsi aturan yang ada di sekitar lingkungan. Bisnis bukan seperti permainan olah raga yang selalu terikat dengan aturan dan keputusan wasit, tetapi bisnis tak ubahnya seperti seni, yang di dalamnya memiliki banyak kesempatan untuk berfikir secara lateral, sehingga mampu menciptakan cara-cara baru tentang aneka benda dan jasa yang diinginkan para pelanggan.

6. Beri Setiap Orang Dua Pekerjaan

Berikan setiap orang dua pekerjaan pokok. Mintalah kepada mereka untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari mereka secara efektif dan pada saat yang bersamaan kepada mereka diminta pula untuk menemukan cara-cara baru dalam melaksanakan pekerjaannya. Doronglah mereka untuk bertanya pada diri sendiri tentang apa sebenarnya tujuan esensial dari peran saya? Hasil dan nilai riil apa yang bisa saya berikan kepada klien saya, baik internal maupun eksternal? Apakah ada cara yang lebih baik untuk memberikan dan mencapai nilai atau tujuan tersebut? Dan jawabannya selalu mengatakan “YA”. Tetapi, kebanyakan orang tidak pernah atau jarang menanyakan hal-hal seperti itu.

7. Kolaborasi

Beberapa eksekutif perusahaan memandang kolaborasi sebagai kunci sukses dalam inovasi. Mereka menyadari bahwa tidak semua dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan pada sumber-sumber internal. Oleh karena itu, mereka melihat dunia luar dan mengajak organisasi lain sebagai mitra, sehingga bisa saling bertukar pengalaman dan keterampilan dalam team.

8. Menerima kegagalan

Pemimpin inovatif mendorong terbentuknya budaya eksperimen. Setiap orang harus dibelajarkan bahwa setiap kegagalan merupakan langkah awal dari perjalanan jauh menunju kesuksesan. Untuk menjadi orang benar-benar cerdas dan tangkas, setiap orang harus diberi kebebasan berinovasi, bereksperimen dan memperoleh kesuksesan dalam melakukan pekerjaannya, termasuk didalamnya mereka juga harus diberi kebebasan akan kemungkinan terjadinya kegagalan.

9. Membangun prototipe

Anda harus berani mencobakan suatu ide baru yang biaya dan resikonya relatif rendah ke dalam pasar (dunia nyata), kemudian lihat apa reaksi dari pelanggan dan orang-orang. Di sana sesungguhnya Anda akan lebih banyak belajar tentang dunia nyata, dibandingkan jika Anda hanya melakukan uji coba dalam laboratorium atau terfokus pada sekelompok orang saja.

10. Bersemangat

Anda harus fokus terhadap segala sesuatu yang ingin dirubah. Siap dan senantiasa bergairah dan bersemangat dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai tantangan. Energi dan semangat yang Anda miliki akan menular dan mengilhami setiap orang. Tak ada gunanya jika Anda mengisi bus dengan penumpang yang selalu merasa asyik dengan dirinya sendiri. Anda membutuhkan dan menghendaki orang-orang dan para pendukung Anda dengan semangat yang berkobar-kobar. Anda mengharapkan setiap orang dapat meyakini bahwa upaya mencapai tujuan merupakan sesuatu yang amat penting dan bermanfaat.
Jika Anda menghendaki setiap orang dapat terinpirasi untuk menjadi inovatif, merubah cara-cara yang biasa mereka lakukan, dan untuk mencapai hasil yang luar biasa, maka Anda mutlak harus memiliki semangat yang menyala-nyala tentang apa yang Anda yakini dan Anda harus dapat mengkomunikasikannya setiap saat ketika Anda berbicara dengan orang.

*)) terjemahan bebas dari tulisan Paul Sloane, pengarang The Innovative Leader, yang berjudul “Ten Ways to Boost Innovation” dipublikasikan oleh Kogan Page. www.director.co.uk

Peran Guru dalam Proses Pendidikan

Oleh : Akhmad Sudrajat

Efektivitas dan efisien belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai :

1. Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
2. Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
3. Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;
4. Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;
5. Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).

Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :

1. Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
2. Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).
3. Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.

Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).

Di lain pihak, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent).

Lebih jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan aktivitas pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut pandang psikologis.

Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai :

1. Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan;
2. Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan;
3. Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang harus diajarkannya;
4. Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin;
5. Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik;
6. Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai generasi muda yang akan menjadi pewaris masa depan; dan
7. Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.

Di pandang dari segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru berperan sebagai :

1. Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat;
2. Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya;
3. Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah;
4. model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh mpara peserta didik; dan
5. Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan gurunya.

Dari sudut pandang secara psikologis, guru berperan sebagai :

1. Pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang memahami psikologi pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik;
2. seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya dengan para peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan;
3. Pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu mambentuk menciptakan kelompok dan aktivitasnya sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan;
4. Catalyc agent atau inovator, yaitu guru merupakan orang yang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan bagi membuat suatu hal yang baik; dan
5. Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan mental para peserta didik.

Sementara itu, Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukan dua peran utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating learning). Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar, pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.

Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.

Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan guru tidak terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.

Penilaian Pembelajaran Siswa dalam KTSP

Oleh : Akhmad Sudrajat

Perubahan paradigma pendidikan dari behavioristik ke konstruktivistik tidak hanya menuntut adanya perubahan dalam proses pembelajaran, tetapi juga termasuk perubahan dalam melaksanakan penilaian pembelajaran siswa. Dalam paradigma lama, penilaian pembelajaran lebih ditekankan pada hasil (produk) yang cenderung hanya menilai kemampuan aspek kognitif, dan kadang-kadang direduksi sedemikian rupa melalui bentuk tes obyektif. Sementara, penilaian dalam aspek afektif dan psikomotorik kerapkali diabaikan.

Dalam pembelajaran berbasis konstruktivisme, penilaian pembelajaran tidak hanya ditujukan untuk mengukur tingkat kemampuan kognitif semata, tetapi mencakup seluruh aspek kepribadian siswa, seperti: perkembangan moral, perkembangan emosional, perkembangan sosial dan aspek-aspek kepribadian individu lainnya. Demikian pula, penilaian tidak hanya bertumpu pada penilaian produk, tetapi juga mempertimbangkan segi proses.

Kesemuanya itu menuntut adanya perubahan dalam pendekatan dan teknik penilaian pembelajaran siswa. Untuk itulah, Depdiknas (2006) meluncurkan Model Penilaian Pembelajaran siswa, dengan apa yang disebut Penilaian Kelas.

Umpan Balik yang Efektif bagi Siswa

Oleh: Akhmad Sudrajat

Umpan balik merupakan sebuah proses di kelas yang telah menjadi daya tarik tersendiri bagi para peneliti praktik pembelajaran sejak tahun 1970-an hingga sekarang ini. Secara konsisten, para peneliti telah menemukan bukti-bukti bahwa ketika guru mampu menggunakan prosedur umpan balik yang efektif ternyata dapat meningkatkan prestasi belajar siswanya. Bahkan, hasil studi yang dilakukan Bellon, Bellon, dan Blank menunjukkan bahwa dibandingkan dengan berbagai perilaku mengajar lainnya, pemberian umpan balik akademik ternyata lebih berkorelasi dengan prestasi belajar siswa. Dengan tanpa memandang kelas, status sosial ekonomi, ras, atau keadaan sekolah korelasi ini cenderung konsisten. Ketika umpan balik dan prosedur korektif digunakan secara tepat ternyata sebagian besar siswa dapat meningkatkan prestasi belajarnya hingga di atas 20% .

Umpan balik yang efektif merupakan bagian integral dari sebuah dialog instruksional antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, maupun siswa dengan dirinya sendiri, dan bukanlah sebuah praktik yang terpisahkan.

Terkait dengan umpan balik yang efektif ini, Black dan Wiliam mencatat tiga komponen penting yaitu:

(1) Recognition of the desired goal.

Umpan balik diberikan sebagai respons atas kinerja siswa. Kinerja siswa adalah kesanggupan siswa untuk dapat menunjukkan penguasaannya atas berbagai tujuan pembelajarannya. Guru harus dapat merumuskan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai secara jelas dan dapat mengkomunikasikannya pada awal pembelajaran, baik tentang wilayah materi, indikator kurikuler maupun penguasaan tujuan.

Salah satu metode yang cukup efektif untuk memastikan bahwa siswa memahami tujuan pembelajarannya yaitu dengan cara melibatkan mereka dalam menetapkan “kriteria keberhasilan” yang bisa dilihat atau didengar. Misalnya, guru dapat memperlihatkan beberapa contoh produk sebagai tujuan pembelajaran yang patut ditiru oleh para siswa, menunjukkan kalimat-kalimat yang benar dengan ditulis menggunakan huruf kapital, kesimpulan yang diambil dari data, penyajian tabel atau grafik dan sejenisnya.

Apabila para siswa telah dapat memahami tentang kriteria keberhasilan pembelajarannya, mereka akan terbantu untuk mengarahkan belajarnya dan mereka akan lebih mampu untuk melaksanakan proses pembelajarannnya

Selain memberikan pemahaman yang jelas tentang tujuan pembelajaran, guru juga perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami indikator dari tingkat penguasaan tujuan pembelajarannya, baik secara lisan, tertulis maupun dalam bentuk lainnya.

(2) Evidence about present position

Istilah ”bukti” di sini menunjuk kepada informasi atau fakta tentang kinerja yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran, khusunya tentang sejauhmana tujuan pembelajaran telah tercapai dan sejauhmana tujuan pembelajaran itu belum tercapai.

Grant Wiggin mengemukakan bahwa umpan balik bukanlah tentang pemberian pujian atau celaan, persetujuan atau ketidaksetujuan, tetapi sebagai usaha untuk memberikan nilai atau makna. Umpan balik pada dasarnya bersifat netral yang menggambarkan apa yang telah dilakukan dan tidak dilakukan siswa. Selain itu, bahwa umpan balik juga harus bersifat obyektif, deskriptif dan disampaikan pada waktu yang tepat yakni pada saat tujuan pembelajaran masih segar dalam benak siswa.

Salah satu cara pemberian umpan balik yang cukup bermakna yaitu dengan membandingkan produk siswa dengan kriteria keberhasilan telah telah dikomunikasikan sebelumnya. Contoh sederhana pemberian umpan balik yaitu dengan membuat sebuah format tentang “Daftar Kriteria Keberhasilan”. Dalam daftar tersebut, guru dapat memberikan tanda + (plus) untuk menunjukkan tentang kriteria yang telah berhasil dipenuhi siswa dan memberikan catatan tertentu untuk yang belum dipenuhinya.

(3) Some understanding of a way to close the gap between the two.

Umpan balik yang efektif yaitu harus dapat memberikan bimbingan kepada setiap siswa tentang bagaimana melakukan perbaikan. Black dan Wiliam menegaskan bahwa setiap siswa harus diberi bantuan dan kesempatan untuk melakukan perbaikan. Guru tidak hanya memberikan umpan balik yang mencerminkan tentang kinerja yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran siswanya, tetapi juga harus dapat memberikan strategi dan tips tentang cara yang lebih efektif untuk mencapai tujuan, serta kesempatan untuk menerapkan umpan balik yang diterimanya.

Wiggins meyakini bahwa melalui siklus umpan balik ini dapat menghasilkan keunggulan kinerja siswa. Oleh karena itu, siswa harus senantiasa memiliki akses rutin terhadap kriteria dan standar-standar tugas yang harus dituntaskannya; mereka juga harus memperoleh umpan balik dalam upaya menyelesaikan tugas-tugasnya, mereka harus memiliki kesempatan untuk memanfaatkan umpan balik untuk memperbaiki kerjanya serta mengevaluasi kembali terhadap standar

Sumber :

Terjemahan bebas dari judul asli : Providing Students with Effective Feedback. Academic Leadership Jounal online Volume 4 – Issue 4 Feb 12, 2007

Pengaruh Lingkungan terhadap Individu

Oleh: Akhmad Sudrajat

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk didalamnya adalah belajar.
Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik yang berarti pengalaman, karena dengan lingkungan itu individu mulai mengalami dan mengecap alam sekitarnya. Manusia tidak bisa melepaskan diri secara mutlak dari pengaruh lingkungan itu, karena lingkungan itu senantiasa tersedia di sekitarnya.
Sejauh mana pengaruh lingkungan itu bagi diri individu, dapat kita ikuti pada uraian berikut :

1. Lingkungan membuat individu sebagai makhluk sosial

Yang dimaksud dengan lingkungan pada uraian ini hanya meliputi orang-orang atau manusia-manusia lain yang dapat memberikan pengaruh dan dapat dipengaruhi, sehingga kenyataannya akan menuntut suatu keharusan sebagai makhluk sosial yang dalam keadaan bergaul satu dengan yang lainnya.

Terputusnya hubungan manusia dengan masyarakat manusia pada tahun-tahun permulaan perkembangannya, akan mengakibatkan berubahnya tabiat manusia sebagai manusia. Berubahnya tabiat manusia sebagai manusia dalam arti bahwa ia tidak akan mampu bergaul dan bertingkah laku dengan sesamanya.

Dapat kita bayangkan andaikata seorang anak manusia yang sejak lahirnya dipisahkan dari pergaulan manusia sampai kira-kira berusia 10 tahun saja, walaupun diberinya cukup makanan dan minuman, akan tetapi serentak dia dihadapkan kepada pergaulan manusia, maka sudah dapat dipastikan bahwa dia tidak akan mampu berbicara dengan bahasa yang biasa, canggung pemalu dan lain-lain. Sehingga kalaupun dia kemudian dididik, maka penyesuaian dirinya itu akan berlangsung sangat lambat sekali.

2. Lingkungan membuat wajah budaya bagi individu

Lingkungan dengan aneka ragam kekayaannya merupakan sumber inspirasi dan daya cipta untuk diolah menjadi kekayaan budaya bagi dirinya. Lingkungan dapat membentuk pribadi seseorang, karena manusia hidup adalah manusia yang berfikir dan serba ingin tahu serta mencoba-coba terhadap segala apa yang tersedia di alam sekitarnya.
Lingkungan memiliki peranan bagi individu, sebagai :

1. Alat untuk kepentingan dan kelangsungan hidup individu dan menjadi alat pergaulan sosial individu. Contoh : air dapat dipergunakan untuk minum atau menjamu teman ketika berkunjung ke rumah.
2. Tantangan bagi individu dan individu berusaha untuk dapat menundukkannya. Contoh : air banjir pada musim hujan mendorong manusia untuk mencari cara-cara untuk mengatasinya.
3. Sesuatu yang diikuti individu. Lingkungan yang beraneka ragam senantiasa memberikan rangsangan kepada individu untuk berpartisipasi dan mengikutinya serta berupaya untuk meniru dan mengidentifikasinya, apabila dianggap sesuai dengan dirinya. Contoh : seorang anak yang senantiasa bergaul dengan temannya yang rajin belajar, sedikit banyaknya sifat rajin dari temannya akan diikutinya sehingga lama kelamaan dia pun berubah menjadi anak yang rajin.
4. Obyek penyesuaian diri bagi individu, baik secara alloplastis maupun autoplastis. Penyesuaian diri alloplastis artinya individu itu berusaha untuk merubah lingkungannya. Contoh : dalam keadaan cuaca panas individu memasang kipas angin sehingga di kamarnya menjadi sejuk. Dalam hal ini, individu melakukan manipulation yaitu mengadakan usaha untuk memalsukan lingkungan panas menjadi sejuk sehingga sesuai dengan dirinya. Sedangkan penyesuaian diri autoplastis, penyesusian diri yang dilakukan individu agar dirinya sesuai dengan lingkungannya. Contoh : seorang juru rawat di rumah sakit, pada awalnya dia merasa mual karena bau obat-obatan, namun lama-kelamaan dia menjadi terbiasa dan tidak menjadi gangguan lagi, karena dirinya telah sesuai dengan lingkungannya.

Kesulitan Belajar dan Bimbingan Belajar

Oleh : Akhmad Sudrajat

A. Kesulitan Belajar.

Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.

Kesulitan belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.

1. Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
2. Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
3. Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.
4. Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
5. Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.

Siswa yang mengalami kesulitan belajar seperti tergolong dalam pengertian di atas akan tampak dari berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif . Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain :

1. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
2. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah
3. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
4. Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
5. Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.
6. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.

Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan gagal dalam belajar apabila :

1. Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).
2. Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever.
3. Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater)

Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa : (1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandinngkan dengan potensi; dan (4) kepribadian.

1. Tujuan pendidikan

Dalam keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen pendidikan yang penting, karena akan memberikan arah proses kegiatan pendidikan. Segenap kegiatan pendidikan atau kegiatan pembelajaran diarahkan guna mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang dapat mencapai target tujuan-tujuan tersebut dapat dianggap sebagai siswa yang berhasil. Sedangkan, apabila siswa tidak mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan mengalami kesulitan belajar. Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tujuan pembelajaran, maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan harus dirumuskan secara jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang dicapai dijadikan sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut. Secara statistik, berdasarkan distribusi normal, seseorang dikatakan berhasil jika siswa telah dapat menguasai sekurang-kurangnya 60% dari seluruh tujuan yang harus dicapai. Namun jika menggunakan konsep pembelajaran tuntas (mastery learning) dengan menggunakan penilaian acuan patokan, seseorang dikatakan telah berhasil dalam belajar apabila telah menguasai standar minimal ketuntasan yang telah ditentukan sebelumnya atau sekarang lazim disebut Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sebaliknya, jika penguasaan ketuntasan di bawah kriteria minimal maka siswa tersebut dikatakan mengalami kegagalan dalam belajar. Teknik yang dapat digunakan ialah dengan cara menganalisis prestasi belajar dalam bentuk nilai hasil belajar.

2. Kedudukan dalam Kelompok

Kedudukan seorang siswa dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam pencapaian hasil belajarnya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila memperoleh prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelompok secara keseluruhan. Misalnya, rata-rata prestasi belajar kelompok 8, siswa yang mendapat nilai di bawah angka 8, diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Dengan demikian, nilai yang dicapai seorang akan memberikan arti yang lebih jelas setelah dibandingkan dengan prestasi yang lain dalam kelompoknya. Dengan norma ini, guru akan dapat menandai siswa-siswa yang diperkirakan mendapat kesulitan belajar, yaitu siswa yang mendapat prestasi di bawah prestasi kelompok secara keseluruhan.

Secara statistik, mereka yang diperkirakan mengalami kesulitan adalah mereka yang menduduki 25 % di bawah urutan kelompok, yang biasa disebut dengan lower group. Dengan teknik ini, kita mengurutkan siswa berdasarkan nilai nilai yang dicapainya. dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah, sehingga siswa mendapat nomor urut prestasi (ranking). Mereka yang menduduki posisi 25 % di bawah diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Teknik lain ialah dengan membandingkan prestasi belajar setiap siswa dengan prestasi rata-rata kelompok. Siswa yang mendapat prestasi di bawah rata – rata kelompok diperkirakan pula mengalami kesulitan belajar.

3. Perbandingan antara potensi dan prestasi

Prestasi belajar yang dicapai seorang siswa akan tergantung dari tingkat potensinya, baik yang berupa kecerdasan maupun bakat. Siswa yang berpotensi tinggi cenderung dan seyogyanya dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi pula. Sebaliknya, siswa yang memiliki potensi yang rendah cenderung untuk memperoleh prestasi belajar yang rendah pula. Dengan membandingkan antara potensi dengan prestasi belajar yang dicapainya kita dapat memperkirakan sampai sejauhmana dapat merealisasikan potensi yang dimikinya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila prestasi yang dicapainya tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Misalkan, seorang siswa setelah mengikuti pemeriksaan psikologis diketahui memiliki tingkat kecerdasan (IQ) sebesar 120, termasuk kategori cerdas dalam skala Simon & Binnet. Namun ternyata hasil belajarnya hanya mendapat nilai angka 6, yang seharusnya dengan tingkat kecerdasan yang dimikinya dia paling tidak dia bisa memperoleh angka 8. Contoh di atas menggambarkan adanya gejala kesulitan belajar, yang biasa disebut dengan istilah underachiever.

4. Kepribadian

Hasil belajar yang dicapai oleh seseorang akan tercerminkan dalam seluruh kepribadiannya. Setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam aspek kepribadian. Siswa yang berhasil dalam belajar akan menunjukkan pola-pola kepribadian tertentu, sesuai dengan tujuan yang tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Siswa diakatan mengalami kesulitan belajar, apabila menunjukkan pola-pola perilaku atau kepribadian yang menyimpang dari seharusnya, seperti : acuh tak acuh, melalaikan tugas, sering membolos, menentang, isolated, motivasi lemah, emosi yang tidak seimbang dan sebagainya.

B. Bimbingan Belajar

Bimbingan belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut

1. Identifikasi kasus

Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni :

1. Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan.
2. Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
3. Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
4. Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa.
5. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial

2. Identifikasi Masalah

Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan siswa dapat berkenaan dengan aspek : (a) substansial – material; (b) struktural – fungsional; (c) behavioral; dan atau (d) personality. Untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d) ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran; (g) agama, nilai dan moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan keluarga; dan (j) waktu senggang.

3. Diagnosis

Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar siswa, yaitu : (a) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (b) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.

4. Prognosis

Langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus – kasus yang dihadapi.

5. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)

Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.

6. Evaluasi dan Follow Up

Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi siswa.

Berkenaan dengan evaluasi bimbingan, Depdiknas telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan belajar, yaitu :

* Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh siswa berkaitan dengan masalah yang dibahas;
* Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
* Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.

Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yaitu apabila:

1. Siswa telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
2. Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
3. Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
4. Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
5. Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
6. Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
7. Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya

GURU-GURU INDONESIA KINI SAATNYA BERWAWASAN GLOBAL

OLEH: UMI MAIMANAH,S.Pd

Melalui forum ini Penulis termotivasi untuk menampilkan kembali Artikel dengan Tema tersebut diatas yaitu Pentingnya Penguasaan Tehnologi Infornasi Dan Komunikasi.Penulis sempat menulis cuplikan artikel tersebut pada Webb KTI Guru On-Line yang diselenggarakan oleh Direktur Profesi Pendidik dan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan ( PMPTK )

Pada intinya guru sebagai pelaku Pendidikan hendaknya mempunyai kesadaran yang tinggi akan kompetensi dirinya dalam peningkatan sumber daya manusia dan tentunya kualitas pendidikan secara umum.Sehubungan dengan tuntutan jaman, pendidikan juga dihadapkan pada masalah baik yang bersifat lokal,nasional bahkan internasional.

Menyadari akan keadaan yang seperti itu tidaklah timbul dalam nurani seorang guru untuk lebih memiliki wawasan yang luas demi menjawab segala permasalahan tersebut.Untuk itu marilah kita sebagai guru harus bangkit dan merubah paradigma kita, ternyata dunia pendidikan di Indonesia ini sudah berkompetisi pada tahap yang GLOBALISASI.

Dengan situasi yang demikian ini sebagi guru kita harus mengembangkan cara pembelajaran kita untuk mengedepankan pendekatan materi yang bersumber pada tehnologi informasi dan komunikasi yang ada.

Penggunaan internet sebagai alat dan sumber materi pembelajaran hendaknya selalu menyertai kita sebagai guru dalam kegiatan Pembelajaran. Tetapi tentunya untuk menguasai internet harus mahir dulu dalam hal penguasaan operasional komputer paling tidak bisa menguasai program Microsoft Word.

Ternyata dengan berwawasan global ini Penulis mendapatkan banyak pengalaman yang sangat bermanfaat sekali baik demi peningkatan kompetensi sebagai guru dan tentunya akan memberikan imbas pada peningkatan Pembelajaran di Kelas dan secara Umum bagi Peningkatan Kualitas Pendidikan di Indonesia ini.

Selain itu guru-guru harus perlu meningkatkan kompetensi terhadap penguasaan Bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional, karena banyak materi pelajaran yang ditulis dengan bahasa Inggris misalnya: mencari Lesson Plan ( Rencana Pembelajaran ) hanpir semua ditulis dengan menggunakan Bahasa Inggris.

Namun kita tidak usah pesimistis selama ada niat dan usaha pasti Tuhan akan menolong kita dan memberikan jalan keluar dengan beberapa kemudahan-kemudahan. Bukanlah dalam kesulitan teredapat kemudahan.Setelah kesulitan akan ada kemudahan

BAGAIMANA MENGAJAR ANAK CERDAS ISTIMEWA ?

Penulis : imam wibawa mukti,s.pd


Dalam kegiatan mengajar, keberadaan siswa cerdas istimewa sering terabaikan. Hal ini disebabkan ketidakpahaman guru maupun sekolah dalam mengidentifikasi, memahami dan mengetahui berbagai hal tentang keberadaan siswa cerdas istimewa.

CERDAS ISTIMEWA?

Menurut Renzuli, anak cerdas istimewa adalah anak yang memiliki tiga komponen diatas rata-rata teman sebaya, yaitu Intellegence Quotient lebih dan sama dengan 130,Task Comitment dan Creativity Quotient diatas rata - rata (3). Dengan alat ukur ini maka siswa berhak mendapatkan pelayanan pendidikan khusus yang bersifat individual untuk lebih memaksimalkan kemampuan mereka. Masalahnya muncul karena masih banyak guru yang belum mengenal karakteristik anak cerdas istimewa dan bentuk pelayanan yang tepat untuk memaksimalkan potensi terpendam mereka. (amanat Undang-undang No.2 Th 1989 tentang Sisdiknas pasal 24 ayat 6 dan Undang-undang Sisdiknas No.20 Th 2003 pasal 5 ayat 4).

Guru dapat melakukan pengamatan dini dengan memperhatikan beberapa karakteristik seperti diatas. Beberapa karakteristik lainnya diantaranya adalah seperti yang diungkap Prof. Dr. S.C. Utami Munandar yaitu mudah menangkap pelajaran, ingatan baik, perbendaharaan kata luas, penalaran tajam (berpikir logis-kritis, memahami hubungan sebab-akibat), daya konsentrasi baik (perhatian tak mudah teralihkan), menguasai banyak bahan tentang macam-macam topik, senang dan sering membaca, ungkapan diri lancar dan jelas, pengamat yang cermat. Namun selain karakteristik positif diatas, anak cerdas istimewa juga memiliki karakter negatif diantaranya tidak sabaran, tidak suka campur tangan orang lain, tidak suka hal yang rutin, sensitif dan menyukai berpikir kompleks.

BAGAIMANA MEMPERLAKUKAN MEREKA?

Karena mendapatkan pelayanan khusus merupakan hak mereka, maka semua sekolah wajib melakukan perbaikan dan pembenahan dalam menangani anak cerdas istimewa. Memang ada beberapa sekolah yang melaksanakan program akselerasi sebagai salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak cerdas istimewa, namun keberadaan mereka yang mungkin ada di setiap populasi (hasil penelitian menyebutkan 2 - 5 % dari jumlah populasi potensial cerdas istimewa) masih belum dapat merasakan pelayanan yang tepat, maka semua sekolah wajib memberikan layanan kepada mereka dengan maksimal.

Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan pendampingan pendidikan kepada anak cerdas istimewa diantaranya adalah :

Pertama, kurikulum yang dipakai adalah kurikulum nasional dan lokal yang telah dimodifikasi dengan memasukan unsur pengayaan, pendalaman dan pemilihan materi essensi sehingga kurikulum dapat bersifat fleksibel dan mampu merangsang daya kreatif siswa. Kurikulum ini disebut dengan kurikulum berdiferensiasi. Guru dituntut untuk dapat melakukan rekayasan kurikulum secara cerdas sehingga memungkinkan guru dan siswa melakukan improvisasi dalam kegiatan belajar.

Kedua, metode pembelajaran. Karena karakteristik anak cerdas istimewa salah satunya adalah cepat bosan dan senang melakukan proyek sendiri, maka guru dituntut untuk kreatif dan cepat tanggap terhadap tingkat kebutuhan siswa. Siswa cerdas istimewa cenderung mudah bosan dengan materi yang bersifat hapalan dan banyak menulis. Memberikan tugas atau proyek dengan skala besar dan membutuhkan perhatian yang ekstra dan menantang sangat digemari mereka. Misalnya menugaskan siswa untuk mempersiapkan materi tertentu untuk kemudian mereka presentasikan di depan teman-temannya.

Ketiga, evaluasi. Evaluasi siswa cerdas istimewa harus dibedakan dengan siswa lainnya. Untuk mereka guru tidak bisa hanya menggunakan satu jenis tes seperti "pen and paper test". Guru bisa menguji mereka dari kemampuan presentasi, cerita, pentas drama, proyek, lisan, quiz atau membaca buku dengan bobot nilai diperlakukan dengan ulangan harian. Untuk memberi score pun lebih baik tidak terpaku pada angka 100, namun guru dapat memberikan nilai 120 atau 130 apabiila siswa mampu memberi jawaban lebih dari yang diharapkan. Hal ini akan meningkatkan motivasi mereka untuk meraih nilai optimal.

PENUTUP

Akhirnya, bagaimanapun sekolah dan guru harus mampu memberikan layanan pada siswa cerdas istimewa karena itu adalah hak bagi mereka. Juga keberadaan mereka yang selama ini termarginalkan dapat lebih eksis dan mampu menjadikan diri mereka sebagai asset bangsa di masa depan.

Pelayanan kepada siswa cerdas istimewa ini pun sejalan dengan program pendidikan inklusi yang memberikan perlakukan sama kepada semua siswa dengan berbagai ciri dan karakter yang berbeda di semua sekolah

Menghargai Keunikan Anak

Oleh : fima rosyidah

Setiap anak memiliki keunikan yang berbeda-beda. Oleh karena itu diharapkan orang tua dan pendidik dapat mengenali keunikan-keunikan tersebut dalam bentuk kecerdasan. Dahulu kita mengenal Intelligence Quotient (IQ) yang diperkenalkan oleh Alfred Binet, dimana IQ akan menentukan keberhasilan pendidikan anak. Sedangkan, pada saat ini Gardner telah mengenalkan kita dengan kecerdasan majemuk (multiple intelligences) Setiap anak memiliki semua kecerdasan yang disebutkan oleh Gardner, dimana kecerdasan linguistik, logis-matematis, kinestetik-jasmani, musikal, antarpribadi, interpribadi dan naturalis diharapkan dapat memaksimalkan potensi yang dimiliki manusia. Setiap anak memiliki kesempatan untuk mengembangkan setiap kecerdasan yang mereka miliki dengan bimbingan orang tua dan guru. Mereka juga dapat menunjukkan kemampuan yang sesuai dengan kecerdasannya.

Seorang anak yang "bodoh" di dalam kelas, dimana selalu mendapat rangking terakhir bukanlah anak yang tidak cerdas. Setiap anak, pasti memiliki kecerdasan yang disebutkan oleh Gardner. Mungkin anak yang tertinggal tersebut tidak memiliki kecerdasan logis-matematis atau linguistik yang banyak dimaksimalkan di dalam proses belajar mengajar di sekolah. Kemungkinan dia memiliki kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik-jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan antarpribadi, kecerdasaran interpribadi atau kecerdasan naturalis.

Anak anda mungkin senang menulis cerpen, puisi atau juga memiliki prestasi tinggi dalam mata pelajaran menulis. Dari kecenderungannya ini, anak tersebut memiliki kecerdasan linguistik (bahasa). Tapi, jika anda pernah diberi pertanyaan oleh seorang anak seperti "mengapa langit biru" atau "dimana akhir alam semesta", maka anda perlu menyadari bahwa anak tersebut memiliki rasa ingin tahu yang tinggi mengikuti kecerdasan logis-matematisnya. Selain itu, seorang anak juga ada yang lebih senang menirukan gerakan orang lain dari pada menggambar. Jika dia senang bergerak menirukan orang lain maka ia memiliki kecerdasan kinestetik-jasmani. Kemudian, anak yang lebih senang menggambar dan menonjol dalam mata pelajaran seni memiliki kecerdasan spasial.

Setiap anak juga memiliki cara belajar yang berbeda-beda. Gaya belajar yang lebih senang diiringi musik biasanya memiliki kepekaan terhadap musik. Menurut Armstrong (2002: 31), anak tersebut memiliki kecerdasan musikal yang perlu diasah dengan memberikan aktivitas belajar melalui musik.

Salah satu cara untuk melihat kecerdasan apa yang dimiliki seorang anak, kita bisa memperhatikan mereka saat bermain. Sering kali ketika bermain, anak lebih senang sendiri atau bergabung dengan teman-temannya. Jika dia lebih senang bersosialisasi dengan teman-temannya atau bahkan belajar bersama-sama, anak tersebut memiliki kecerdasan antarpribadi. Selain itu, anak yang memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah teman sebayanya juga memiliki kecerdasan ini. Tetapi, jika anak anda lebih senang belajar dan beraktivitas sendiri, maka dia memiliki kecerdasan interpribadi. Biasanya anak tersebut memperlihatkan sikap independen dan kemauan yang kuat.

Lingkungan alam di sekitar kita bisa dijadikan sebagai objek yang menarik bagi anak yang memiliki kecerdasan naturalis. Kecenderungan anak ini akrab dengan hewan peliharaannya atau tumbuhan yang dia rawat. Jangan heran, jika anak anda senang membawa pulang tumbuhan atau hewan untuk ditunjukkan kepada keluarganya.

Dari kedelapan kecerdasan tersebut, orang tua maupun pendidik perlu untuk menyadari adanya perbedaan kemampuan anak. Dari semua kecerdasan ini, anak dapat diarahkan sesuai dengan kecerdasan yang ia miliki. Sekolah, sebagai institusi yang mewadahi pendidikan perlu mempertimbangkan kecerdasan yang dimiliki anak supaya mereka dapat memperkuat kecerdasan yang mereka miliki

PEMANFAATAN MEDIA MASSA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS DI TINGKAT PERSEKOLAHAN

Oleh :
Drs. ARIEF ACHMAD MSP., M.Pd.

A. Pendahuluan

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) disebut juga sebagai synthetic science, karena konsep, generalisasi, dan temuan-temuan penelitian ditentukan atau diobservasi setelah fakta terjadi (Welton dan Mallan, 1988 : 66-67). Informasi faktual tentang kehidupan sosial atau masalah-masalah kontemporer yang terjadi di masyarakat dapat ditemukan dalam liputan (exposure) media massa (Wronski, 1971 : 430-434), karena media massa diyakini dapat menggambarkan realitas sosial dalam berbagai aspek kehidupan. Meskipun untuk itu, informasi atau pesan (message) yang ditampilkannya-sebagaimana dapat dibaca di surat kabar atau majalah, didengarkan di radio, dilihat di televisi atau internet-telah melalui suatu saringan (filter) dan seleksi dari pengelola media itu untuk berbagai kepentingannya (misalnya : untuk kepentingan bisnis atau ekonomi, kekuasaan atau politik, pembentukan opini publik, hiburan [entertainment] hingga pendidikan).

Terlepas dari berbagai kepentingan yang melatarbelakangi pemunculan suatu informasi atau pesan yang disajikan oleh media massa, kiranya tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pada masa kini pertemuan orang dengan media massa sudah tidak dapat dielakkan lagi. Tidaklah berlebihan kiranya apabila abad ke-21 disebut sebagai abad komunikasi massa (Rakhmat, 1985 : 174). Bahkan dalam pembabakan sejarah umat manusia, McLuhan (1964) menyatakannya sebagai babak neo-tribal (sesudah babak tribal dan babak Gutenberg), yakni masa di mana alat-alat elektronis memungkinkan manusia menggunakan beberapa macam alat indera dalam komunikasi. Adapun Toffler (1981) menamakannya sebagai The Third Wave.

Sementara itu, seiring dengan pesatnya perkembangan media informasi dan komunikasi, baik perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software), akan membawa perubahan bergesernya peranan guru-termasuk guru IPS-sebagai penyampai pesan/informasi. Ia tidak bisa lagi berperan sebagai satu-satunya sumber informasi bagi kegiatan pembelajaran para siswanya. Siswa dapat memperoleh informasi dari berbagai sumber-terutama dari media media massa, apakah dari siaran televisi dan radio (media elektronik), surat kabar dan majalah (media cetak), komputer pribadi, atau bahkan dari internet. Sehingga sistem pembelajaran yang cocok untuk mengelaborasi itu semua adalah sebagaimana digagas oleh Morris (1963 : 12) di bawah ini :

Gambar 1. Sistem Pembelajaran

Adalah tidak berlebihan kiranya apabila Splaine (Shaver, 1991 : 300-309) menyebutkan bahwa media massa sangat berpengaruh di dalam pendidikan IPS. Hal ini didasarkan pada berbagai temuan penelitian yang menyiratkan, antara lain :

1. Media massa, khususnya televisi, telah begitu memasyarakat;.

2. Media massa berpengaruh terhadap proses sosialisasi;

3. Orang-orang lebih mengandalkan informasi yang berasal dari media massa daripada dari orang lain;

4. Para guru IPS perlu memberdayakan media massa sebagai sumber pembelajarannya; dan

5. Para orang tua dan pendidik, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama, dapat meminimalisasikan pengaruh negatif media massa dan mengoptimalkan dampak positifnya.

Dari sini, maka dapatlah ditarik probematika sebagai berikut : Sudahkah guru-guru IPS memberdayakan media massa sebagai sumber pembelajarannya secara efektif ?, dan Apakah para siswa sudah memanfaatkan media massa sebagai sumber pembelajaran IPS? Tentu saja untuk menjawabnya diperlukan sebuah pembuktian empirik!.

Namun, terdapat sebuah "amanat yuridis-formal" yang sudah semestinya diimplementasikan secara praksis, yakni sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 35, yang menyatakan bahwa "Setiap satuan pendidikan jalur pendidikan sekolah, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat harus menyediakan sumber belajar"; kemudian di dalam Penjelasannya ditegaskan bahwa :

Pendidikan tidak mungkin dapat terselenggara dengan baik bilamana para tenaga kependidikan maupun para peserta didik tidak didukung oleh sumber belajar yang diperlukan untuk penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar yang bersangkutan.

B. Pengertian IPS

Hingga saat ini, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) hanyalah sebuah program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu tersendiri, sehingga tidak akan ditemukan baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial (social sciences), maupun ilmu pendidikan (Somantri, 2001 : 89). Social Science Education Council (SSEC) dan National Council for Social Studies (NCSS) menyebut IPS sebagai "Social Science Education" dan "Social Studies".

Pada tahun 1992, NCSS telah mendefinisikan IPS sebagai berikut :

Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world. (Stahl dan Hartoonian, 2003)

Sementara itu berdasarkan hasil rumusan Forum Komunikasi II HISPIPSI di Yogyakarta (1991) dan menurut versi FPIPS dan Jurusan Pendidikan IPS, dapat diformulasikan pengertian IPS, seperti dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1. Definisi IPS Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pendidikan IPS untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah Pendidikan IPS untuk tingkat pendidikan tinggi

Pendidikan IPS adalah penyederhanaan adaptasi, seleksi, dan modifikasi dari disiplin akademis ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis-psikologis untuk tujuan institusional pendidikan dasar dan menengah dalam kerangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila Pendidikan IPS adalah seleksi dari struktur disiplin akademik ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk mewujudkan tujuan pendidikan dalam kerangka pencapaian tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila

Sumber : Somantri, 2001 : 103.

Dengan demikian, maka untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah, IPS diimplemementasikan sebagai Social Studies dan untuk tingkat pendidikan tinggi sebagai Social Science Education. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2. Implementasi IPS di tingkat pendidikan dasar, menengah, dan tinggi

Menurut Depdikbud (1994), IPS yang diajarkan di tingkat pendidikan dasar mencakup bahan kajian lingkungan sosial, ilmu bumi, ekonomi, dan pemerintahan, serta bahan kajian sejarah. Sedangkan untuk jenjang pendidikan menengah didasarkan pada bahan kajian pokok Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Antropologi, Tata Negara, dan Sejarah.

C. Pengertian Sumber Pembelajaran

Menurut Association for Educational Communications and Technology (AECT, 1977), sumber pembelajaran adalah segala sesuatu atau daya yang dapat dimanfaatkan oleh guru, baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, untuk kepentingan belajar mengajar dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi tujuan pembelajaran. Sumber pembelajaran dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu :

1. Sumber pembelajaran yang sengaja direncanakan (learning resources by design), yakni semua sumber yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal; dan

2. Sumber pembelajaran yang karena dimanfaatkan (learning resources by utilization), yakni sumber belajar yang tidak secara khusus didisain untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan, diaplikasikan, dan dimanfaatkan untuk keperluan belajar-salah satunya adalah media massa.

D. Media Pendidikan dan Sumber Pembelajaran IPS

Media pendidikan adalah alat, metode dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pembelajarannya (Hamalik, 1985 : 23).

Sebagai sumber pembelajaran IPS, media pendidikan diperlukan untuk membantu guru dalam menumbuhkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran IPS. Diversifikasi aplikasi media atau multi media, sangat direkomendasikan dalam proses pembelajaran IPS, misalnya melalui : pengalaman langsung siswa di lingkungan masyarakat; dramatisasi; pameran dan kumpulan benda-benda; televisi dan film; radio recording; gambar; foto dalam berbagai ukuran yang sesuai bagi pembelajaran IPS; grafik, bagan, chart, skema, peta; majalah, surat kabar, buletin, folder, pamflet dan karikatur; perpustakaan, learning resources, laboratorium IPS; serta ceramah, tanya jawab, cerita lisan, dan sejenisnya (Rumampuk, 1988 : 23-27; Mulyono, 1980 : 10-12).

E. Pemanfaatan Media Massa sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Dari beberapa batasan pengertian media massa yang dikemukakan oleh para pakar komunikasi (McLuhan, 1964; Bittner, 1980 : 10; Wright, 1985 : 2-7; Susanto, 1980 : 2; NCSS, 2002) maka berikut ini sintesanya.

Media massa adalah suatu jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melewati media cetak atau elektronik, sehingga pesan informasi yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. Pengertian "dapat" di sini menekankan pada pengertian, bahwa jumlah sebenarnya penerima pesan informasi melalui media massa pada saat tertentu tidaklah esensial. Yang penting ialah "The communicator is a social organization capable or reproducing the message and sending it simultaneously to large number of people who are spartially separated" (Tan, 1981 : 73). Adapun bentuk media massa, secara garis besar, ada dua jenis, yaitu : media cetak (surat kabar dan majalah, termasuk buku-buku) dan media elektronik (televisi dan radio, termasuk internet).

Media massa dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembelajaran IPS, karena media massa pada hakekatnya merupakan representasi audio-visual masyarakat itu sendiri. Sehingga fenemona faktual yang terjadi di masyarakat, dapat secara langsung (live) diliput dan ditayangkan media massa (melalui siaran televisi atau radio, misalnya). Pemanfaatan media massa artinya penggunaan berbagai bentuk media massa, baik cetak maupun elektronik untuk tujuan tertentu-yang dalam kajian ini disebut sebagai sumber pembelajaran IPS.

Guru dapat memanfaatkan atau memberdayakan media massa sebagai sumber pembelajaran IPS secara optimal dan efektif sehingga dapat menunjang keberhasilan pembelajaran IPS melalui tiga cara, yaitu :

1. media massa dapat memperbaiki bagian konten dari kurikulum IPS;

2. media massa dapat dijadikan alat pembelajaran yang penting bagi IPS; dan

3. media massa dapat digunakan untuk menolong siswa mempelajari metodologi ilmu-ilmu sosial, khususnya di dalam menentukan dan menginterpretasi fakta-fakta sosial.(Clark, 1965 : 46-54).

Sebagai konsekuensi logis dari pemanfaatan media massa sebagai sumber pembelajaran IPS di tingkat persekolahan, maka menurut Rakhmat (1985 : 216-258), terdapat paling tidak empat buah efek pemanfatan media massa, yaitu :

1. Efek kehadiran media massa, yaitu menyangkut pengaruh keberadaan media massa secara fisik;

2. Efek kognitif, yaitu mengenai terjadinya perubahan pada apa yang diketahui, difahami, atau dipersepsi siswa;

3. Efek afektif, yaitu berkenaan dengan timbulnya perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, atau dibenci siswa; dan

4. Efek behavioral, yaitu berkaitan pada perilaku nyata yang dapat diamati, yang mencakup pola-pola tindakan kegiatan, atau kebiasaan berperilaku siswa.

F. Penutup

Berdasarkan kajian teoretik, ternyata :

1. Kelemahan kadar pembelajaran IPS selama ini terletak pada, antara lain : teacher centered, cenderung naratif/ekspositori, dan kurang mengoptimalkan sumber pembelajaran (baik by design maupun by utilization).

2. Pemanfaatan media massa sebagai sumber pembelajaran, diyakini dapat meningkatkan kadar pembelajaran IPS.

3. Media massa adalah sesuatu yang sangat berpengaruh di dalam pembelajaran IPS.

Kemudian, berdasarkan kajian empirik, ternyata : para siswa-di tingkat persekolahan yang memanfaatkan media massa sebagai sumber pembelajarannya cenderung lebih baik hasil belajar IPS-nya daripada yang tidak memanfaatkannya.

Faktor-Faktor Makro yang Menyebabkan Anak Malas Belajar

Oleh : Prof. Sarlito Wirawan Sarwono
Dosen/Guru Besar Fakultas Psikologi UI
Tanggal: 3 Juni 2003


Bulan-bulan tertentu menjelang Ebtanas dan UMPTN, setiap tahun, adalah musimnya orangtua mengkonsultasikan anak-anaknya untuk tes bakat pada psikolog. Persoalan orangtua (belum tentu persoalan anak juga) adalah bahwa anaknya, walaupun sudah kelas 3 SMU, belum jelas mau memilih jurusan apa di perguruan tinggi. Karena takut bahwa anaknya gagal di tengah jalan, maka orangtua pun mengkonsultasikan anaknya kepada psikolog.
Sementara itu, dari pengamatan saya di ruang praktek, di pihak anaknya sendiri kurang nampak ada urgensi pada permasalahan yang sedang dihadapinya. Rata-rata anak memang ingin lulus UMPTN di Universitas-universitas favorit (UI, ITB), tetapi tidak terbayangkan betapa ketatnya persaingan yang harus dihadapinya1. Kalau tidak lulus UMPTN, pilihan untuk PTS (Perguruan Tinggi Swasta) masih banyak. Kalau tidak diterima di Trisakti atau Atmajaya, masih banyak PTS yang lain. Bagi yang orangtuanya mampu, kuliah di luar negeri2 bahkan lebih banyak lagi peluangnya.
Tidak adanya perasaan urgensi (kegawatan) lebih nampak lagi pada hampir-hampir tidak adanya persiapan yang serius. Kebanyakan anak tidak mempunyai kebiasaan belajar yang teratur, tidak mempunyai catatan pelajaran yang lengkap, tidak membuat PR, sering membolos (dari sekolah maupun dari les), seringkali lebih mengharapkan bocoran soal ulangan/ujian atau menyontek untuk mendapat nilai yang bagus.
Di sisi lain, cita-cita mereka (yang karena kurang baiknya hubungan anak-orangtua, sering dianggap tidak jelas) adalah sekolah bisnis (MBA). Dalam bayangan mereka, MBA berarti menjadi direktur atau manajer, kerja di kantor yang mentereng, memakai dasi atau blazer dan pergi-pulang kantor mengendarai mobil sendiri. Hampir-hampir tidak terbayangkan oleh mereka proses panjang yang harus dilakukan dari jenjang yang paling bawah untuk mencapai posisi manajer atau direktur tsb.
Sikap "jalan pintas" ini bukan hanya menyebabkan motivasi belajar yang sangat kurang, melainkan juga menyebabkan timbulnya gaya hidup yang mau banyak senang, tetapi sedikit usaha, untuk masa sepanjang hidup mereka. Dengan perkataan lain, anak-anak ini selamanya akan hidup di alam mimpi yang sangat rawan frustrasi dan akibat dari frustrasi ini bisa timbul banyak masalah lain3.
Teori Brofenbrenner
Untuk memahami mengapa anak-anak bersikap jalan pintas sehingga malas belajar (banyak yang sejak SD), dan untuk membantu orangtua mencari cara pencegahan serta jalan keluarnya, saya mengajak anda sekalian untuk mengkaji sebuah teori yang dikemukakan oleh Brofenbrenner4.
Teori Brofenbrenner yang berparadigma lingkungan (ekologi) ini menyatakan bahwa perilaku seseorang (termasuk perilaku malas belajar pada anak) tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan dampak dari interaksi orang yang bersangkutan dengan lingkungan di luarnya.
Adapun lingkungan di luar diri orang (dalam makalah ini selanjutnya akan difokuskan pada anak atau siswa SD-SLTA) oleh Brofenbrenner di bagi dalam beberapa lingkaran yang berlapis-lapis (lihat diagram**):
1. Lingkaran pertama adalah yang paling dekat dengan pribadi anak, yaitu lingkaran sistem mikro yang terdiri dari keluarga, sekolah, guru, tempat penitipan anak, teman bermain, tetangga, rumah, tempat bermain dan sebagainya yang sehari-hari ditemui oleh anak.
2. Lingkaran kedua adalah interaksi antar faktor-faktor dalam sistem mikro (hubungan orangtua-guru, orangtua-teman, antar teman, guru-teman dsb.) yang dinamakannya sistem meso.
3. Di luar sistem mikro dan meso, ada lingkaran ketiga yang disebut sistem exo, yaitu lingkaran lebih luar lagi, yang tidak langsung menyentuh pribadi anak, akan tetapi masih besar pengaruhnya, seperti keluarga besar, polisi, POMG, dokter, koran, televisi dsb.
4. Akhirnya, lingkaran yang paling luar adalah sistem makro, yang terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat, budaya dsb.
Makalah ini, dengan mengikuti teori Brofenbrenner tersebut di atas, akan menguraikan bagaimana sistem makro yang terjadi di dunia dan Indonesia, melalui sistem-sistem lain yang lebih kecil (exo, meso dan mikro) berpengaruh pada kepribadian dan perilaku anak, termasuk perilaku malas belajar yang sedang kita biacarakan ini.
Sistem Makro
Kiranya hampir semua orangtua dan pendidik (dan semua orang juga) merasakan bahwa jaman sekarang ini terlalu banyak sekali perubahan. Para orangtua dari generasi "Tembang Kenangan" tidak bisa mengerti, apalagi menikmati, lagu-lagu favorit anak-anak mereka yang dibawakan oleh Dewa atau Westlife group. Bahkan generasi yang remaja di tahun 1980-an (generasi Stevie Wonder, Lionel Richie) juga sulit menerima lagu-lagu sekarang. Sulitnya, di kalangan generasi muda sendiri juga terdapat banyak versi musik (rap, reggae, house, salsa dsb.) yang masing-masing punya penggemar masing-masing. Di sisi lain musik-musik tradisional seperti keromcong dan gending Jawa, juga mengalami perubahan versi sehingga muncul musik campur-sari yang sekarang sedang populer di masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk generasi mudanya. Sementara itu, musik dangdut, yang tadinya monopoli masyarakat lapis bawah, justru berkembang menjadi lebih universal dengan mulai memasuki dunia kelas menengah atas.
Perubahan-perubahan yang drastis dan sekaligus banyak ini juga terjadi pada bidang-bidang lain. Wayang orang dan wayang kulit yang saya gemari di masa kecil dan merupakan kegemaran juga dari ayah saya dan nenek-moyang saya, sekarang praktis tidak mempunyai lahan hidup lagi. Modifikasi dari kesenian tradisional (wayang kulit berbahasa Indonesia dan berdurasi hanya 2 jam diselingi musik dang dut, atau ketoprak humor), hanya bisa mengembangkan penggemarnya sendiri tanpa bisa mengangkat kembali kesenian tradisional sebagai mana bentuk aslinya.
Dalam setiap sektor kehidupan yang lain pun terdapat perubahan yang cepat. Karena itu jangan heran jika istilah-istilah "prokem" di jaman tahun 1980-an sudah tidak dimengerti lagi oleh anak-anak "gaul" angkatan 1990-an yang punya gaya bahasa "funky" tersendiri. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi perkembangannya adalah yang paling cepat. Anak SD sekarang sudah terampil menggunakan komputer, sedangkan eyang-eyang mereka menggunakan HP saja masih sering salah pencet. Video Betamax yang sangat modern di tahun 1980-an, sekarang sudah menjadi barang musium dengan adanya VCD (Video Digital Disc) dan yang terbaru DVD (Digital Video Disc; yang sebentar lagi pasti akan usang juga).
Dampak dari perubahan cepat ini sangat dahsyat sekali. Jika dalam bidang sosial budaya kita hanya mengamati kekacauan yang sulit dimengerti, dalam politik, perkembangan dan perubahan yang teramat sangat cepat ini telah meruntuhkan beberapa negara (Rusia, Yugoslavia), setidak-tidaknya telah menimbulkan banyak konflik yang menggoyangkan stabilitas dalam negeri dan menelan banyak korban harta dan jiwa (seperti yang sedang terjadi di Indonesia).
Para ilmuwan, setelah menganilis situasi yang dahsyat di seluruh dunia tsb. di atas, menyimpulkan bahwa saat ini kita sedang memasuki era Postmodernism (disingkat: Posmo)5 . Menurut para pemikir Posmo, jaman sekarang kira-kira sama dahsyatnya dengan jaman revolusi industri (ditemukannya mesin uap, listrik, mesiu dsb.) di akhir abad XIX yang juga berdampak berbagai peperangan, revolusi (perancis, Rusia), depresi ekonomi, kemerdekaan berbagai negara kolonial, penyakit menular dsb. yang kemudian kita kenal sebagai jaman modern. Perbedaan antara jaman modern dengan jaman sebelumnya adalah bahwa kendali kekuasaan (dalam bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik) beralih ke tangan-tangan pemilik modal, pekerja, pemikir dsb., dari penguasa sebelumnya yaitu para raja, bangsawan, tuan tanah dsb. Dalam bidang musik misalnya, supremasi Beethoven sudah diambil alih oleh Elvis Presley, sedangkan kekuasaan Paus di Roma sudah tersaingi oleh berbagai versi agama Kristen lain yang tersebar di seluruh dunia (termasuk versi Katolik Roma di Philipina, misalnya). Di Jawa, misalnya, pusat kebudayaan di Kraton Mataram6, segera beralih ke Ismail Marzuki dan Chaeril Anwar setelah revolusi kemerdekaan. Dalam politik, ideologi yang berdasarkan feodalisme beralih ke ideologi komunisme (revolusi Rusia) atau liberalisme (revolusi kemerdekaan Amerika Serikat). Tetapi di zaman tradisional maupun di zaman modern, masih terasa adanya pusat-pusat kekuasaan, yang oleh manusia (dari sudut pandang psikologi) sangat diperlukan sebagai patokan atau pedoman hidup, sebagai tolok ukur untuk menilai mana yang benar atau salah, baik atau buruk, indah atau jelek.
Di dalam politik, misalnya, sampai dengan awal tahun 1990-an masih ada dua kekuatan utama di dunia (super powers) yaitu blok Barat (AS dan Eropa Barat) dan blok Timur. Upaya negara-negara dunia ke-3 untuk membangun KTT Non-Blok tidak banyak artinya, karena anggota-anggotanya tetap saja terpecah antara yang condong ke Blok Barat dan Blok Timur.
Tetapi di jaman Posmo ini, tidak ada lagi pusat-pusat kekuasaan seperti itu. Tidak ada tokoh, aliran, partai politik, ideologi, dan sebagainya yang mampu menonjol atau dominan dalam waktu yang cukup lama. Semua orang, aliran, ideologi dsb. bisa bisa timbul-tenggelam setiap saat. Bahkan agama pun, yang merupakan pranata yang paling konservatif, berubah-ubah dengan cepat sekali dengan timbul-tenggelamnya berbagai aliran, sekte dan bahkan agama-agama baru. Maka dapat dimengerti bahwa masyarakat awam di lapis bawah akan terperangkap dalam kebingungan-kebingungan karena hampir tidak ada tolok ukur yang dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari.
Sistem Exo
Pengaruh Posmo pada sistem exo dapat dilihat dan dirasakan dengan perubahan drastis dalam berbagai pranata sosial, politik dan ekonomi. Di Indonesia kita dapat menyimaknya dalam berbagai gejala seperti berubahnya fungsi Polri dari aparat pertahanan dan keamanan menjadi fungsi keamanan, ketertiban dan penegakkan hukum (karena itu Polri keluar dari ABRI). Dalam bidang perekonomian, pemerintah kehilangan kendalinya terhadap sistem moneter, karena begitu banyaknya yang bisa ikut bermain dalam sistem moneter, sehingga nilai valuta asing menjadi sangat fluktuatif. Dalam bidang pendidikan, sistem pendidikan nasional, yang tadinya seragam untuk seluruh Indonesia, makin bervariasi dengan banyaknya sekolah yang berorientasi pada bermacam-macam agama, sekolah yang bekerja sama dengan luar negeri, sekolah-sekolah alternatif yang dikelola LSM dan sebagainya, sementara di tingkat perguruan tinggi berkembang terus-menerus berbagai gelar baru (bahkan ada gelar-gelar palsu) dan peraturan-peraturan Depdiknas pun berubah-ubah setiap saat.
Di bidang media massa dan sarana komunikasi dan perhubungan, terdapat makin banyak alternatif. Jika di tahun 1960-an hanya ada radio dan telpon yang diputar dengan tangan dan hubungan ke luar Jawa sangat langka dan lama, sekarang sudah tersedia berbagai alternatif seperti televisi fax (dari satu stasiun saja di tahun 1963, menjadi puluhan stasiun dengan sarana satelit), HP, internet, fax, bus antar propinsi (dari Banda Aceh sampai Kupang), pesawat udara (sehingga Jakarta-Jayapura hanya beberapa jam saja) dsb., sehingga hampir tidak ada lagi daerah yang masih terisolir seperti Kabupaten Lebak di zaman Max Havelaar.
Dalam bidang kehidupan berkeluarga, sistem kekerabatan (keluarga besar) sudah makin ditinggalkan orang dan beralih ke pada sistem keluarga inti. Bahkan akhir-akhir ini sudah banyak orang yang memilih untuk tidak menikah (single family) atau menjadi orangtua tunggal (single parent family). Rata-rata usia menikah makin meningkat (di kalangan menengah-ke atas sudah mencapai 26 tahun dan 30 tahun bagi wanita dan pria). Psangan nikah pun ditentukan sendiri oleh anak, bukan orangtua. Upacara-upacara perkawinan masih dilakukan secara tradisional, tetapi hanya simbolik saja, karena upacara-upacara itu sama sekali tidak mencerminkan kehidupan yang sesungguhnya dari pasangan yang bersangkutan (uoacaranya berbahasa Jawa, padahal pengantin sama sekali tidak mengerti bahasa Jawa, bahkan sangat boleh jadi psangan sudah berhubungan seks jauh sebelum upacara adat yang disakralkan itu).
Sistem Meso dan Mikro
Yang dimaksud dengan sistem Mikro adalah orang-orang yang terdekat dengan anak dan setiap hari berhubungan dengan anak (ayah-ibu, kakak-adik, oom, tante, opa, pembantu, supir, teman sekolah, guru dsb.), maupun tempat-tempat di mana anak sehari-hari berada (rumah, lingkungan tetangga, kebun, sekolah, kota dsb.). Interaksi antara unsur-unsur dalam sistem Mikro tersebut dinamakan sistem Meso.
Sehubungan dengan berkembangnya Posmo (yang oleh Alvin Toffler dinamakan "The Third Wave" QUOTATION), maka sistem Mikro dan Meso anak juga akan berubah drastis. Orangtua, guru, guru ngaji, orangtuanya teman-teman, apalagi televisi, tidak lagi satu bahasa dan seia-sekata dalam mendidik anak-anak. Di masa lalu, setiap ucapan orangtua hampir selalu konsisten dengan arahan guru di sekolah atau omongan orang-orang di surau atau di pasar. Tetapi sekarang apa yang dikatakan orangtua sangat berbeda dengan yang ditayangkan di TV, atau dengan omongan orangtuanya teman, atau nasihat ibu guru. Bahkan antara ayah dan ibu saja sering tidak sepaham, karena ibu-ibu jaman sekarang sudah sadar jender, punya penghasilan sendiri (bahkan kadang-kadang lebih besar dari suaminya), jadi merasa berhak juga untuk memutuskan dalam lingkungan rumah tangga.
Buat orangtua sendiri, yang dirasakan adalah bahwa anak tidak lagi hanya mendengarkan orangtua sendiri. Anak makin sering membantah, bahkan melawan orangtua, karena ia melihat banyak contoh di luar yang tidak sama dengan apa yang dikatakan orangtuanya. Jika anak dilarang menyetir pad usia 14 tahun, ia segera bisa menunjuk anak lain yang diijinkan nyetir sejak SD; jika anak disuruh sholat, ia segera mengacu pada Pak De-nya yang tidak sholat. jika ia dilarang pulang malam, ia malah pulang pagi, karena semua temannya mengajaknya ke disko atau ke kafe.
Anak
Sementara itu, anak sendiri tetap saja anak seperti sejak jaman dahulu kala. Semasa kecil anak-anak membentuk kepribadiannya melalui masukan dari lingkungan primernya (keluarga). Sampai usia 5-8 tahun ia masih menerima masukan-masukan (tahap formative). Menjelang remaja (usia ABG) ia mulai memberontak dan mencari jati dirinya dan akan makin menajam ketika ia remaja (makin sulit diatur) sehingga masa ini sering dinamakan masa pancaroba.
Masa pancaroba ini pada hakikatnya merupakan tahap akhir sebelum anak memasuki usia dewasa yang matang dan bertanggung jawab, karena ia sudah mengetahui tolok ukur yang harus diikuti dan mampu menetapkan sendiri mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk dan mana yang indah dan jelek.
Tetapi masa pancaroba dalam diri individu itu akan lebih sulit mencapai kemantapan dan kematangan jika kondisi di dunia luar juga pancaroba terus, seperti halnya di era Posmo ini. Dampaknya adalah timbulnya generasi remaja dan dewasa muda yang terus berpancaroba sampai dewasa. Generasi inilah yang saya temui di ruang praktek dengan kebingungan memilih jurusan yang mana, bimbang karena pacarnya tidak disetujui orangtua, kehabisan akal karena hamil di luar nikah atau karena tidak bisa keluar dari kebiasaan menyalah gunakan Narkoba.
Perubahan Paradigma
Menghadapi era Posmo yang serba tidak jelas ini, kesalahan paling besar, tetapi yang justru paling sering dilakukan, adalah mendidik anak berdasarkan tradisi lama dan tanpa alternatif. Artinya, semua yang diajarkan oleh orangtua mutlak harus diikuti, orangtua penya hak dan kekuasaan atas anak, anak harus berbakti kepada orangtua dsb. Di sekolah para guru pun masih sering berpatokan pada pepatah "guru adalah digugu/dipatuhi dan ditiru), sehingga benar atau salah guru harus selaludipatuhi. Demikian pula dalam bidang agama, bahkan politik (masing-masing elit politik dan kelompok mahasiswa merasa dialah yang paling benar).
Jika dihadapakan terus-menerus dengan pendekatan otoriiter, maka anak-anak yang sedangserba kebingungan akan makin bingung sehingga makin tidak percaya diri, atau justru makin memberontak dan menjadi pelanggar hukum. Karena itu dalam era sistem Makro yang diwaranai oleh Posmo ini, pendidikan pada anak harus berorientasi pada pengembangan kemampuan anak untuk membuat penilaian dan keputusan (judgement) sendiri secara tepat dan cepat. Dengan perkataan lain, anak harus dididik untuk menilai sendiri yang mana yang benar/salah, baik/tidak baik atau indah/jelek dan atas dasar itu ia memutuskan perbuatan mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Anak yang dididik untuk selalu mentaati perintah orangtua, dalam pemberrontakannya akan mencari orang lain atau pihak lain (dalam sistem Mikro-nya) yang bisa dijadikannya acuan baru dan selanjutnya ia akan mentaati saja ajakan atau arahan orang lain itu (yang sangat boleh jadi justru menjerumuskan).
Penutup
Harus diakui bahwa menjadi orangtua atau pendidik jaman sekarang sangat sulit. Pertama, karena kebanyakan orantua belum pernah mengalami situasi seperti sekarang ini di masa kecilnya; kedua, karena mereka cenderung meniru saja cara-cara mendidik yang dilakukan oleh orangtua atau senior merekasendiri di masa lalu; dan yang ketiga, memang sangat sulit untuk mengubah pola pikir seseorang dari pola pikir tradisional dan pola pikir alternatif sesuai dengan tuntutan jaman sekarang.
Tetapi bagaimana pun berat dan sulitnya, upaya itu harus dilakukan, karena kalau tidak maka kita akan menjerumuskan generasi muda kita dalam kesulitan yang lebih besar