Senin, 16 Juli 2012

LINGKUNGAN


Pendidikan Lingkungan Hidup: Bukan untuk pembebanan baru bagi siswa
By Ade Fadli

Manusia terdiri atas pikiran dan rasa dimana keduanya harus digunakan. Rasa menjadi penting digerakkan terlebih dahulu, karena seringkali dilupakan. Bagaimana memulai pendidikan lingkungan hidup? Pendidikan Lingkungan Hidup harus dimulai dari HATI. Tanpa sikap mental yang tepat, semua pengetahuan dan keterampilan yang diberikan hanya akan menjadi sampah semata.Untuk membangkitkan kesadaran manusia terhadap lingkungan hidup di sekitarnya, proses yang paling penting dan harus dilakukan adalah dengan menyentuh hati. Jika proses penyadaran telah terjadi dan perubahan sikap dan pola pikir terhadap lingkungan telah terjadi, maka dapat dilakukan peningkatan pengetahuan dan pemahaman mengenai lingkungan hidup, serta peningkatan keterampilan dalam mengelola lingkungan hidup 

Pendidikan Lingkungan Hidup: dalam buku catatan
Pada tahun 1986, pendidikan lingkungan hidup dan kependudukan dimasukkan ke dalam pendidikan formal dengan dibentuknya mata pelajaran ?Pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup (PKLH)?. Depdikbud merasa perlu untuk mulai mengintegrasikan PKLH ke dalam semua mata pelajaran Pada jenjang pendidikan dasar dan menegah (menengah umum dan kejuruan), penyampaian mata ajar tentang masalah kependudukan dan lingkungan hidup secara integratif dituangkan dalam sistem kurikulum tahun 1984 dengan memasukkan masalah-masalah kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam hampir semua mata pelajaran. Sejak tahun 1989/1990 hingga saat ini berbagai pelatihan tentang lingkungan hidup telah diperkenalkan oleh Departemen Pendidikan Nasional bagi guru-guru SD, SMP dan SMA termasuk Sekolah Kejuruan.

Di tahun 1996 terbentuk Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL) antara LSM-LSM yang berminat dan menaruh perhatian terhadap pendidikan lingkungan. Hingga tahun 2004 tercatat 192 anggota JPL yang bergerak dalam pengembangan dan pelaksanaan pendidikan lingkungan.

Selain itu, terbit Memorandum Bersama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 0142/U/1996 dan No Kep: 89/MENLH/5/1996 tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup, tanggal 21 Mei 1996. Sejalan dengan itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Depdikbud juga terus mendorong pengembangan dan pemantapan pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah antara lain melalui penataran guru, penggalakkan bulan bakti lingkungan, penyiapan Buku Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) untuk Guru SD, SLTP, SMU dan SMK, program sekolah asri, dan lain-lain. Sementara itu, LSM maupun perguruan tinggi dalam mengembangkan pendidikan lingkungan hidup melalui kegiatan seminar, sararasehan, lokakarya, penataran guru, pengembangan sarana pendidikan seperti penyusunan modul-modul integrasi, buku-buku bacaan dan lain-lain.

Pada tanggal 5 Juli 2005, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan SK bersama nomor: Kep No 07/MenLH/06/2005 No 05/VI/KB/2005 untuk pembinaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup. Di dalam keputusan bersama ini, sangat ditekankan bahwa pendidikan lingkungan hidup dilakukan secara integrasi dengan mata ajaran yang telah ada. 

Pendidikan Lingkungan Hidup: bahan dasar yang dilupakan
Salah satu puncak perkembangan pendidikan lingkungan adalah dirumuskannya tujuan pendidikan lingkungan hidup menurut UNCED adalah sebagai berikut:
Pendidikan lingkungan Hidup (environmental education – EE) adalah suatu proses untuk membangun populasi manusia di dunia yang sadar dan peduli terhadap lingkungan total (keseluruhan) dan segala masalah yang berkaitan dengannya, dan masyarakat yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, sikap dan tingkah laku, motivasi serta komitmen untuk bekerja sama , baik secara individu maupun secara kolektif , untuk dapat memecahkan berbagai masalah lingkungan saat ini, dan mencegah timbulnya masalah baru [UN - Tbilisi, Georgia - USSR (1977) dalam Unesco, (1978)]

PLH memasukkan aspek afektif yaitu tingkah laku, nilai dan komitmen yang diperlukan untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan (sustainable). Pencapaian tujuan afektif ini biasanya sukar dilakukan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran guru perlu memasukkan metode-metode yang memungkinkan berlangsungnya klarifikasi dan internalisasi nilai-nilai. Dalam PLH perlu dimunculkan atau dijelaskan bahwa dalam kehidupan nyata memang selalu terdapat perbedaan nilai-nilai yang dianut oleh individu. Perbedaan nilai tersebut dapat mempersulit untuk derive the fact, serta dapat menimbulkan kontroversi/pertentangan pendapat. Oleh karena itu, PLH perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun ketrampilan yang dapat meningkatkan ?kemampuan memecahkan masalah?.
Beberapa ketrampilan yang diperlukan untuk memecahkan masalah adalah sebagai berikut ini.
• Berkomunikasi: mendengarkan, berbicara di depan umum, menulis secara persuasive, desain grafis;
• Investigasi (investigation): merancang survey, studi pustaka, melakukan wawancara, menganalisa data;
• Ketrampilan bekerja dalam kelompok (group process): kepemimpinan, pengambilan keputusan dan kerjasama. 

Pendidikan lingkungan hidup haruslah:
1. Mempertimbangkan lingkungan sebagai suatu totalitas — alami dan buatan, bersifat teknologi dan sosial (ekonomi, politik, kultural, historis, moral, estetika);
2. Merupakan suatu proses yang berjalan secara terus menerus dan sepanjang hidup, dimulai pada jaman pra sekolah, dan berlanjut ke tahap pendidikan formal maupun non formal;
3. Mempunyai pendekatan yang sifatnya interdisipliner, dengan menarik/mengambil isi atau ciri spesifik dari masing-masing disiplin ilmu sehingga memungkinkan suatu pendekatan yang holistik dan perspektif yang seimbang.
4. Meneliti (examine) issue lingkungan yang utama dari sudut pandang lokal, nasional, regional dan internasional, sehingga siswa dapat menerima insight mengenai kondisi lingkungan di wilayah geografis yang lain;
5. Memberi tekanan pada situasi lingkungan saat ini dan situasi lingkungan yang potensial, dengan memasukkan pertimbangan perspektif historisnya;
6. Mempromosikan nilai dan pentingnya kerjasama lokal, nasional dan internasional untuk mencegah dan memecahkan masalah-masalah lingkungan;
7. Secara eksplisit mempertimbangkan/memperhitungkan aspek lingkungan dalam rencana pembangunan dan pertumbuhan;
8. Memampukan peserta didik untuk mempunyai peran dalam merencanakan pengalaman belajar mereka, dan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan dan menerima konsekuensi dari keputusan tersebut;
9. Menghubungkan (relate) kepekaan kepada lingkungan, pengetahuan, ketrampilan untuk memecahkan masalah dan klarifikasi nilai pada setiap tahap umur, tetapi bagi umur muda (tahun-tahun pertama) diberikan tekanan yang khusus terhadap kepekaan lingkungan terhadap lingkungan tempat mereka hidup;
10. Membantu peserta didik untuk menemukan (discover), gejala-gejala dan penyebab dari masalah lingkungan;
11. Memberi tekanan mengenai kompleksitas masalah lingkungan, sehingga diperlukan kemampuan untuk berfikir secara kritis dengan ketrampilan untuk memecahkan masalah.
12. Memanfaatkan beraneka ragam situasi pembelajaran (learning environment) dan berbagai pendekatan dalam pembelajaran mengenai dan dari lingkungan dengan tekanan yang kuat pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya praktis dan memberikan pengalaman secara langsung (first – hand experience).
Karena langsung mengkaji masalah yang nyata, PLH dapat mempermudah pencapaian ketrampilan tingkat tinggi (higher order skill) seperti :
1. berfikir kritis
2. berfikir kreatif
3. berfikir secara integratif
4. memecahkan masalah.
Persoalan lingkungan hidup merupakan persoalan yang bersifat sistemik, kompleks, serta memiliki cakupan yang luas. Oleh sebab itu, materi atau isu yang diangkat dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan lingkungan hidup juga sangat beragam. Sesuai dengan kesepakatan nasional tentang Pembangunan Berkelanjutan yang ditetapkan dalam Indonesian Summit on Sustainable Development (ISSD) di Yogyakarta pada tanggal 21 Januari 2004, telah ditetapkan 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Ketiga pilar tersebut merupakan satu kesatuan yang bersifat saling ketergantungan dan saling memperkuat. Adapun inti dari masing-masing pilar adalah :
1. Pilar Ekonomi: menekankan pada perubahan sistem ekonomi agar semakin ramah terhadap lingkungan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Pola konsumsi dan produksi, Teknologi bersih, Pendanaan/pembiayaan, Kemitraan usaha, Pertanian, Kehutanan, Perikanan, Pertambangan, Industri, dan Perdagangan
2. Pilar Sosial: menekankan pada upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Kemiskinan, Kesehatan, Pendidikan, Kearifan/budaya lokal, Masyarakat pedesaan, Masyarakat perkotaan, Masyarakat terasing/terpencil, Kepemerintahan/kelembagaan yang baik, dan Hukum dan pengawasan 

3. Pilar Lingkungan: menekankan pada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Pengelolaan sumberdaya air, Pengelolaan sumberdaya lahan, Pengelolaan sumberdaya udara, Pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir, Energi dan sumberdaya mineral, Konservasi satwa/tumbuhan langka, Keanekaragaman hayati, dan Penataan ruang 

Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu fungsi dialektis yang ajeg (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu, bisa menjebak kita ke dalam kerancuan berfikir. Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Jadi hubungan dialek tersebut tidak berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni: Pengajar, Pelajar atau anak didik, dan Realitas dunia. Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.

Dengan kata lain, langkah awal yang paling menentukan dalam upaya pendidikan pembebasannya Freire yakni suatu proses yang terus menerus, suatu ?commencement?, yang selalu ?mulai dan mulai lagi?, maka proses penyadaran akan selalu ada dan merupakan proses yang sebati (in erent) dalam keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Maka, proses penyadaran merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang memang tidak boleh berhenti, mandeg, ia senantiasa harus terus berproses, berkembang dan meluas, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingkat ?kesadaran naif? sampai ke tingkat ?kesadaran kritis?, sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni ?kesadarannya kesadaran? (the consice of the consciousness).

Joseph Cornell, seorang pendidik alam (nature educator) yang terkenal dengan permainan di alam yang dikembangkannya sangat memahami psikologi ini. Sekitar tahun 1979 ia mengembangkan konsep belajar beralur (flow learning). Berbagai kegiatan atau permainan disusun sedemikian rupa untuk menyingkronkan proses belajar di dalam pikiran, rasa, dan gerak. Ia merancang sedemikian rupa agar kondisi emosi anak dalam keadaan sebaik-baiknya pada saat menerima hal-hal yang penting dalam belajar.
Aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah:
• Aspek afektif: perasaan nyaman, senang, bersemangat, kagum, puas, dan bangga
• Aspek kognitif: proses pemahanan, dan menjaga keseimbangan aspek-aspek yang lain
• Aspek sosial: perasaan diterima dalam kelompok
• Aspek sensorik dan monotorik: bergerak dan merasakan melalui indera, melibatkan peserta sebanyak mungkin
• Aspek lingkungan: suasanan ruang atau lingkungan
Pendidikan Lingkungan Hidup: terjerumus di jurang pembebanan baru
Pendidikan saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi.

Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing. 

Pada dua tahun terakhir, PLH di Kalimantan Timur sangatlah berjalan perlahan ditengah hiruk pikuk penghabisan kekayaan alam Kaltim. Inisiatif-inisiatif baru bermunculan. Kota Balikpapan memulai, dengan dibantu oleh Program Kerjasama Internasional, lahirlah kurikulum pendidikan kebersihan dan lingkungan yang menjadi salah satu muatan lokal. Diikuti kemudian oleh Kabupaten Nunukan. Sementara saat ini sedang dalam proses adalah Kota Samarinda, Kabupaten Malinau dan Kota Tarakan. Kesemua wilayah ini terdorong ke arah ?jurang? hadirnya muatan lokal beraroma pendidikan lingkungan hidup. 

Tak ada yang salah dengan muatan lokal. Namun sangat disayangkan dalam proses-proses yang dilakukan sangat meninggalkan prinsip-prinsip dari Pendidikan Lingkungan Hidup itu sendiri. Nuansa hasil yang berwujud (buku, modul, kurikulum), sangat terasa dalam setiap aktivitas pembuatannya. Perangkat-perangkat pendukung masih sangat jauh mengikutinya. 

Pendidikan Lingkungan Hidup hari ini, bisa jadi mengulang pada kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika PKLH mulai diluncurkan. Statis, monolitik, membunuh kreatifitas. Prasyarat yang belum mencukupi yang kemudian dipaksakan, berakhir pada frustasi berkelanjutan.Sangat penting dipahami, bahwa pola Cara Belajar Siswa Aktif, Kurikulum Berbasis Kompetensi, dan berbagai teknologi pendidikan lainnya yang dikembangkan, kesemuanya bermuara pada kapasitas seorang guru. Kemampuan berekspresi dan berkreasi sangat dibutuhkan dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Bila tidak, lupakanlah. 

Demikian pula dengan PLH, sangat dibutuhkan kapasitas guru yang mampu membangitkan kesadaran kritis. Bukan sekedar untuk memicu kreatifitas siswa. Kesadaran kritis inilah yang akhirnya akan tereliminasi disaat PLH diperangkap dalam kurikulum muatan lokal. Siswa akan kembali berada dalam ruang statis, mengejar nilai semu, dan memperoleh pembebanan baru. 

Pendidikan Lingkungan Hidup: duduk, diam, dan bercerminlah
Sejak 2001, disaat pertama kali kawan-kawan pegiat PLH di Kaltim berkumpul, telah lahir berbagai gagasan dan agenda yang harus diselesaikan. Namun karena bukan menjadi PRIORITAS, maka hal ini menjadi bagian yang dilupakan.Di tahun 2005 ini, geliat PLH masih bergerak-gerak ditempat. Bagi yang memiliki dana, muatan lokal menjadi sebuah pilihan, karena akan lebih mudah mengukur indikator keberhasilannya. Bagi yang tidak memiliki dana, mencoba tertatih-tatih di ruang sempit untuk tetap berjalan sesuai dengan cita-cita sebenarnya dari PLH, yaitu membangun generasi yang memiliki KESADARAN KRITIS sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni ?KESADARANNYA KESADARAN?.

Kepentingan untuk PERCEPATAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP, haruslah dimaknai bukan untuk mengELIMINASI pondasi dasar PLH. Tidak kokohnya pondasi akan mengakibatkan kehancuran sebuah bangunan, semewah apapun ia. Kehausan akan target proyek, capaian indikator, pekerjaan, hanya akan menjadikan PLH sebagai sebuah obyek mainan baru, bukan lagi sebagai sebuah nilai yang sedang dibangun bagi generasi kemudian negeri ini. 

BERCERMINLAH untuk sekedar meREFLEKSIkan diri. Ini yang penting dilakukan oleh pegiat PLH. Bukan untuk berlari mengejar ketertinggalan. Tidak harus cepat mencapai garis akhir. Berjalan perlahan dengan semangat kebersamaan akan lebih menghasilkan nilai yang tertancap pada ruang yang terdalam di diri. APAKAH YANG SEDANG KITA LAKUKAN HANYA AKAN MENJADI PEMBEBANAN BARU BAGI GENERASI KEMUDIAN?
Manfaat dan Kekuatan Dongeng pada Psikologi Anak

Pada zaman serba canggih seperti sekarang, kegiatan mendongeng di mata anak-anak tidak populer lagi. Sejak bangun hingga menjelang tidur, mereka dihadapkan pada televisi yang menyajikan beragam acara, mulai dari film kartun, kuis, hingga sinetron yang acapkali bukan tontonan yang pas untuk anak. Kalaupun mereka bosan dengan acara yang disajikan, mereka dapat pindah pada permainan lain seperti videogame.

KENDATI demikian, kegiatan mendongeng sebetulnya bisa memikat dan mendatangkan banyak manfaat, bukan hanya untuk anak-anak tetapi juga orang tua yang mendongeng untuk anaknya. Kegiatan ini dapat mempererat ikatan dan komunikasi yang terjalin antara orang tua dan anak. Para pakar menyatakan ada beberapa manfaat lain yang dapat digali dari kegiatan mendongeng ini.

Pertama, anak dapat mengasah daya pikir dan imajinasinya. Hal yang belum tentu dapat terpenuhi bila anak hanya menonton dari televisi. Anak dapat membentuk visualisasinya sendiri dari cerita yang didengarkan. Ia dapat membayangkan seperti apa tokoh-tokoh maupun situasi yang muncul dari dongeng tersebut. Lama-kelamaan anak dapat melatih kreativitas dengan cara ini.

Kedua, cerita atau dongeng merupakan media yang efektif untuk menanamkan berbagai nilai dan etika kepada anak, bahkan untuk menumbuhkan rasa empati. Misalnya nilai-nilai kejujuran, rendah hati, kesetiakawanan, kerja keras, maupun tentang berbagai kebiasaan sehari-hari seprti pentingnya makan sayur dan menggosok gigi. Anak juga diharapkan dapat lebih mudah menyerap berbagai nilai tersebut karena Kak Agam di sini tidak bersikap memerintah atau menggurui, sebaliknya para tokoh cerita dalam dongeng tersebutlah yang diharapkan menjadi contoh atau teladan bagi anak.

Ketiga, dongeng dapat menjadi langkah awal untuk menumbuhkan minat baca anak. Setelah tertarik pada berbagai dongeng yang diceritakan Kak Agam, anak diharapkan mulai menumbuhkan ketertarikannya pada buku. Diawali dengan buku-buku dongeng yang kerap didengarnya, kemudian meluas pada buku-buku lain seperti buku pengetahuan, sains, agama, dan sebagainya.

Tidak ada batasan usia yang ketat mengenai kapan sebaiknya anak dapat mulai diberi dongeng oleh Kak agam. Untuk anak-anak usia prasekolah, dongeng dapat membantu mengembangkan kosa kata. Hanya saja cerita yang dipilihkan tentu saja yang sederhana dan kerap ditemui anak sehari-hari. Misalnya dongeng-dongeng tentang binatang. Sedangkan untuk anak-anak usia sekolah dasar dapat dipilihkan cerita yang mengandung teladan, nilai dan pesan moral serta problem solving. Harapannya nilai dan pesan tersebut kemudian dapat diterapkan anak dalam kehidupan sehari-hari.

Keberhasilan suatu dongeng tidak saja ditentukan oleh daya rangsang imajinatifnya, tapi juga kesadaran dan kemampuan pendongeng untuk menyajikannya secara menarik. Untuk itu Kak Agam dapat menggunakan berbagai alat bantu seperti boneka atau berbagai buku cerita sebagai sumber yang dapat dibaca oleh orang tua sebelum mendongeng.

Manfaat Dongeng untuk anak :

1. Mengasah daya pikir dan imajinasi
2. Menanamkan berbagi nilai dan etika
3. Menumbuhkan minat baca

Kekuatan Dongeng pada Anak

Kak Bimo, seorang pecinta anak-anak, guru, trainer, sekaligus pendongeng yang sangat fasih dan piawai. Di kotanya Yogyakarta penulis mengenalnya tak hanya lantaran kemampuannya menyihir anak-anak dengan dramatis, namun juga karena muatan pesan moral yang dalam serta komprehensif mampu diselipkan dengan sangat apik dan tak membebani. Anak-anak demikian terbius segenap perhatian dan pikirannya pada alur cerita sederhana namun enak diikuti selama dongeng berlangsung. Kemudian kita mungkin mengenal PM Toh, pendongeng asal Aceh yang selalu mementingkan interaksi serta suasana yang aman dan nyaman bagi anak-anak yang mendengarkannya. Selain itu tak asing bagi kita yakni Kusumo Priyono, maestro dongeng Indonesia yang berpendapat bahwa dalam mendongeng biasanya ada sesuatu yang ingin disampaikan, terutama moral dan budi pekerti. Selain itu, yang tak kalah penting adalah sarat nuansa hiburan bagi anak-anak (edukatif dan kreatif) sehingga anak merasa senang dan terhibur. Demikianlah, anak-anak memang sangat senang mendengarkan cerita atau dongeng. Terutama cerita yang dibacakan oleh orang tua atau orang dewasa.

Menimbang Manfaat Dongeng

Tak bisa disangkal bahwa dongeng memang memiliki daya tarik tersendiri. Di sebagian sisi, terjadi suatu fenomena klise, bahwa anak-anak sebelum tidur kerap minta mendengar dongeng yang dikisahkan oleh ibu, nenek, atau orang dewasa yang berusaha menidurkannya. Meski bisa saja ditafsirkan bahwa dongeng tak selamanya menyenangkan, namun kenyataannya memang dongeng mudah membuat anak tertidur, disamping dongeng disetujui sebagai aktifitas rileks memang memiliki potensi konstruktif untuk mendukung pertumbuhkembangan mental anak. Bercerita atau mendongeng dalam bahasa Inggris disebut storytelling, memiliki banyak manfaat. Manfaat tersebut diantaranya adalah mampu mengembangkan daya pikir dan imajinasi anak, mengembangkan kemampuan berbicara anak, mengembangkan daya sosialisasi anak dan yang terutama adalah sarana komunikasi anak dengan orang tuanya. (Media Indonesia, 2006). Kalangan ahli psikologi menyarankan agar orangtua membiasakan mendongeng untuk mengurangi pengaruh buruk alat permainan modern. Hal itu dipentingkan mengingat interaksi langsung antara anak balita dengan orangtuanya dengan mendongeng sangat berpengaruh dalam membentuk karakter anak menjelang dewasa.

Selain itu, dari berbagai cara untuk mendidik anak, dongeng merupakan cara yang tak kalah ampuh dan efektif untuk memberikan human touch atau sentuhan manusiawi dan sportifitas bagi anak. Melalui dongeng pula jelajah cakrawala pemikiran anak akan menjadi lebih baik, lebih kritis, dan cerdas. Anak juga bisa memahami hal mana yang perlu ditiru dan yang tidak boleh ditiru. Hal ini akan membantu mereka dalam mengidentifikasikan diri dengan lingkungan sekitar disamping memudahkan mereka menilai dan memposisikan diri di tengah-tengah orang lain. Sebaliknya, anak yang kurang imajinasi bisa berakibat pada pergaulan yang kurang, sulit bersosialisasi atau beradaptasi dengan lingkungan yang baru.

Namun terlepas dari setumpuk teori manfaat tersebut, rasanya kita tetap harus berhati-hati. Karena jika kita kurang teliti, cukup banyak dongeng mengandung kisah yang justru rawan menjadi teladan buruk bagi anak-anak. Sebut saja dongeng rakyat tentang Sangkuriang yang secara eksplisit mengisahkan bahwa ibu kandung Sang-kuriang gara-gara bersumpah akan menjadi istri pihak yang mengambil peralatan tenun yang jatuh terpaksa menikah dengan seekor anjing. Tak cukup itu kondisi diperparah oleh kisah bahwa setelah membunuh sang anjing yang notabene adalah ayah kandungnya sendiri Sangkuriang sempat jatuh cinta dalam makna asmara kepada Dayang Sumbi, ibu kandungnya sendiri. Belum terhitung kelicikan Dayang Sumbi membangunkan ayam jago agar berkokok sebelum saat fajar benar-benar tiba, demi mengecoh Sangkuriang agar menduga dirinya gagal memenuhi permintaan Dayang Sumbi yakni merampungkan pembuatan perahu dalam satu malam saja. Karena muatan-muatan pada cerita dongeng harus dipertimbangkan dengan kondisi psikologi yang mungkin deserap oleh sang anak, jangan sampai terjadi kesalahan pemahaman dari dongeng yang dimaksudkan positif malah menjadi negatif...

Written By : Rudi Maryati, S.Pd dan Kak Agam di http://www.dongengkakrico.com

Model Pembelajaran

Oleh: Drs. H. Erman Suherman, M.Pd.
Dosen tetap pada FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung

A. Pendahuluan
Kurikulum 2004 berbasis kompetensi (KBK), yang diperbaharui dengan Kurikulum 2006 (KTSP), telah berlaku selama 4 tahun dan semestinya dilaksanakan secara utuh pada setiap sekolah. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan pembelajaran di sekolah, masih kurang memperhatikan ketercapaian kompetensi siswa. Hal ini tampak pada RPP yang dibuat oleh guru dan dari cara guru mengajar di kelas masih tetap menggunakan cara lama, yaitu dominan menggunakan metode ceramah-ekspositori. Guru masih dominan dan siswa resisten, guru masih menjadi pemain dan siswa penonton, guru aktif dan siswa pasif. Paradigma lama masih melekat karena kebiasaan yang susah diubah, paradigma mengajar masih tetap dipertahankan dan belum berubah menjadi peradigma membelajarkan siswa. Padahal, tuntutan KBK, pada penyusunan RPP menggunakan istilah skenario pembelajaran untuk pelaksanaan pembelajaran di kelas, ini berarti bahwa guru sebagai sutradara dan siswa menjadi pemain, jadi guru memfasilitasi aktivitas siswa dalam mengembangkan kompetensinya sehingga memiliki kecakapan hidup (life skill) untuk bekal hidup dan penghidupannya sebagai insan mandiri. 

Demikian pula, pada pihak siswa, karena kebiasaan menjadi penonton dalam kelas, mereka sudah merasa enjoy dengan kondisi menerima dan tidak biasa memberi. Selain dari karena kebiasaan yang sudah melekat mendarah daging dan sukar diubah, kondisi ini kemungkinan disebabkan karena pengetahuan guru yang masih terbatas tentang bagaimana siswa belajar dan bagaimana cara membelajarkan siswa. Karena penghargaan terhadap profesi guru sangat minim, boro-boro sempat waktu untuk membaca buku yang aktual, mereka sangat sibuk untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dan memang itu kewajiban utama, apalagi untuk membeli buku pembelajaran yang inovatif. Mereka bukan tidak mau meningkatkan kualitas pemebelajaran, tetapi situasi dan kondisi kurang memungkinkan. Permasalahannya adalah bagaimana mengubah kebiasaan prilaku guru dalam kelas, mengubah paradigma mengajar menjadi membelajarkan, sehingga misi KBK dapat terwujud. Dengan paradigma yang berubah, mudah-mudahan kebiasaan murid yang bersifat pasif sedikit demi sedikit akan berubah pula menjadi aktif.

Tulisan sederhana ini sengaja dibuat untuk para guru, yang saya hormati dan saya banggakan, untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan, semoga dengan sajian sederhana ini dapat dijadikan bekal untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran, sehingga kualitas amal sholehnya melalui profesi guru menjadi meningkat pula. Tulisan ini membahas tentang kompetensi siswa sesuai tuntutan kurikulum untuk sekedar mengingatkan, model-model belajar agar memahami benar bagaimana siswa belajar yang efektif, dan model pembelajaran yang bisa dipilih dan digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, materi, fasilitas, dan guru itu sendiri.

B. Kompetensi Siswa
Kompetensi (competency) adalah kata baru dalam bahasa Indonesia yang artinya setara dengan kemampuan atau pangabisa dalam bahasa Sunda. Siswa yang telah memiliki kompetensi mengandung arti bahwa siswa telah memahami, memaknai dan memanfaatkan materi pelajaran yang telah dipelajarinya. Dengan perkataan lain, ia telah bisa melakukan (psikomotorik) sesuatu berdasarkan ilmu yang telah dimilikinya, yang pada tahap selanjutnya menjadi kecakapan hidup (life skill). Inilah hakikat pembelajaran, yaitu membekali siswa untuk bisa hidup mandiri kelak setelah ia dewasa tanpa tergantung pada orang lain, karena ia telah memiliki komptensi, kecakapan hidup. Dengan demikian belajar tidak cukup hanya sampai mengetahui dan memahami.

Kompetensi siswa yang harus dimilki selama proses dan sesudah pembelajaran adalah kemampuan kognitif (pemahaman, penalaran, aplikasi, analisis, observasi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, koneksi, komunikasi, inkuiri, hipotesis, konjektur, generalisasi, kreativitas, pemecahan masalah), kemampuan afektif (pengendalian diri yang mencakup kesadaran diri, pengelolaan suasana hati, pengendalian impulsi, motivasi aktivitas positif, empati), dan kemampuan psikomotorik (sosialisasi dan kepribadian yang mencakup kemampuan argumentasi, presentasi, prilaku). Istilah psikologi kontemporer, kompetensi / kecakapan yang berkaitan dengan kemampuan profesional (akademik, terutama kognitif) disebut dengan hard skill, yang berkontribusi terhadap sukses individu sebesar 40 % . Sedangkan kompetensi lainnya yang berkenaan dengan afektif dan psikomotorik yang berkaitan dengan kemampuan kepribadian, sosialisasi, dan pengendalian diri disebut dengan soft skill, yang berkontribusi sukses individu sebesar 60%. Suatu informasi yang sangat penting dan sekaligus peringatan bagi kita semua.

C. Model-model Belajar
Uraian berikut ini adalah untuk menjawab pertanyaan, bagaimana siswa belajar? Dengan memahami uraian ini, guru (kita) bisa menyesuaikan pelaksanaan pembelajaran dengan kondisi siswa. Bukankah pemberian harus diselaraskan dengan mereka yang akan menerima pemberian sehingga dapat bermanfaat secara optimal, dan tidak sebaliknya.
Model-model belajar yang dimaksud pada judul di atas adalah berbagai cara-gaya belajar siswa dalam aktivitas pembelajaran, baik di kelas ataupun dalam kehidupannya sehari-hari antar sesama temannya atau orang yang lebih tua. Dengan memahami model-model belajar ini, diharapkan para guru (kita semua) dapat membelajarkan siswa secara efisien sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif.
Ada berbagai model belajar yang akan dibahas, yaitu:

1. Peta Pikiran
Buzan (1993) mengemukakan bahwa otak manusia bekerja mengolah informasi melalui mengamati, membaca, atau mendengar tentang sesuatu hal berbentuk hubungan fungsional antar bagian (konsep, kata kunci), tidak parsial terpisah satu sama lain dan tidak pula dalam bentuk narasi kalimat lengkap. Sebagai contoh, kalau dalam pikiran kita ada kata (konsep) Bajuri, maka akan terkait dengan kata lain secara fungsional, seperti gemuk, supir bajay, kocak, sederhana, atau ke tokoh lain Oneng, Ema, Ucup, Hindun, dan lain-lain dengan masing-masing karakternya. Demikian pula kata dalam pikiran kita terlintas FKIP Universitas Langlangbuana Bandung akan terkait alamatnya, pejabatnya, dosen-dosen dan staf administrasi, dan besar penghargaan untuk perkuliahan per-sks. Silakan anda mencoba menuliskan / menggambarkan peta pikiran tentang Bajuri dan FKIP Unla di atas. Kalau dibuat narasinya akan ada perbedaan redaksi, meskipun dengan makna yang tidak berbeda.

Dalam bidang studi keahlian anda, misalnya ambil satu materi dalam pelajaran Matematika, Akuntansi, Agama, atau yang lainnya. Silakan buat (tulis-gambar) peta pikiran yang terlintas kemudian narasikan secara lisan. Tulisan atau gambar peta pikiran tersebut dinamakan dengan peta konsep (concept map).
Selanjutnya Buzan mengemukakan bahwa cara belajar siswa yang alami (natural) adalah sesuai dengan cara kerja otak seperti di atas berupa pikiran. Yang produknya berupa peta konsep. Dengan demikian belajar akan efektif dengan cara membuat catatan kreatif yang merupakan peta konsep, sehingga setiap konsep utama yang dipelajari semuanya teridentifikasi tidak ada yang terlewat dan kaitan fungsionalnya jelas, kemudian dinarasikan dengan gaya bahasa masing-masing. Dengan demikian konsep mendapat retensi yang kuat dalam pikiran, mudah diingat dan dikembangkan pada konsep lainnya. Belajar dengan menghafalkan kalimat lengkap tidak akan efektif, di samping bahasa yang digunakan menggunakan gaya bahasa penulis. Mengingat hal itu, sajian guru dalam pembelajaran harus pula dikondisikan berupa sajian peta konsep, guru membumbuinya dengan narasi yang kreatif.

Selanjutnya, Buzan mengemukakan bahwa kemampuan otak manusia dapat memproses informasi berupa bahasa sebanyak 600 – 800 kata permenit. Dengan kemampuan otak seperti itu dibandingkan dengan kemampuan komputer sangat tinggi. Jika benar-benar dimanfaatkan secara optimal, setiap kesempatan dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran diri dalam segala hal. Hanya sayang banyak orang yang mengabaikannya atau digunakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat untuk peningkatan kualitas diri, misalnya berangan-angan, menonton, mengobrol atau bercanda tanpa makna. Bagaimana dengan anda?. 

2. Kecerdasan Ganda
Goldman (2005) mengemukakan bahwa struktur otak, sebagai instrumen kecerdasan, terbagi dua menjadi kecerdasan intelektual pada otak kiri dan kecerdasan emosional pada otak kanan. Kecerdasan intelektual mengalir-bergerak (flow) antara kebosanan bila tuntutan pemikiran rendah dan kecemasan bila terjadi tuntutan banyak. Bila terjadi kebosanan otak akan mengisinya dengan aktivitas lain, jika positif akan mengembangkan penalaran akan tetapi jika diisi dengan aktivitasa negatif, misal kenakalan atau lamunan, inlah yang disebut dengan sia-sia atau mubadzir (at tubadziru minasy-syaithon). 

Sebaliknya jika tuntutan kerja otak tinggi akan terjadi kecemasan-kelelahan. Kondisi ini akan bisa dinetralisir dengan relaksasi melalui penciptaan suasana kondusif, misalnya keramahan, kelembutan, senyum-tertawa, suasana nyaman dan menyenangkan, atau meditasi keheningan dengan prinsip kepasrahan kepada sang Pencipta. Dengan demikian aktivitas otak kiri semestinya dibarengi dengan aktivitas otak kanan.
Sel syaraf pada otak kiri berfungsi sebagai alat kecerdasan yang sifatnya logis, sekuensial, linier, rasional, teratur, verbal, realitas, ide, abstrak, dan simbolik. Sedangkan sela syaraf otak kanan berkaitan dengan kecerdasan yang sifatnya acak, intuitif, holistic, emosional, kesadaran diri, spasial, musik, dan kreativitas. Penting untuk diketahui bahawa kecerdasan intelkektual berkontribusi untuk sukses individu sebesar 20% sedangkan kecerdasan emosional sebesar 40%, siswanya sebanyak 40% dipengaruhi oleh hal lainnya.
Ary Ginanjar (2002) dan Jalaluddin Rahmat (2006) mengukakan kecerdasan ketiga, yaitu Kecerdasan Spiritual (nurani-keyakinan) atau kecerdasan fitrah yang berkenaan dengan nilai-nilai kehidupan beragama. Sebagai orang beragama, kita semestinya berkeyakinan tinggi terhadap kecerdasan ini, bukankah ada ikhtiar dan ada pula taqdir, ada do’a sebagai permintaan dan harapan, dan ibadah lainnya. Bukankan ketentraman individu karena keyakinan beragama ini.

Gardner (1983) mengemukakan tentang kecerdasan ganda yang sifatnya mulkti dengan akronim Slim n Bill, yaitu Spacial-visual , Linguistic-verbal, Interpersonal-communication, Musical-rithmic, natural, Body-kinestic, Intrapersonal-reflective, Logic-thinking-reasoning.

3. Metakognitif
Secara harfiah, metakognitif bisa diterjemahkan secara bebas sebagai kesadaran berfikir, berpikir tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana proses berpikirnya, yaitu aktivitas individu untuk memikirkan kembali apa yang telah terpikir serta berpikir dampak sebagai akibat dari buah pikiran terdahulu. Sharples & Mathew (1998) mengemukakan pendapat bahwa metakognitrif dapat dimanfaatkan untuk menerapkan pola pikir pada situasi lain yang dihadapi. 

Kemampuan metakognitif setiap individu akan berlainan, tergantung dari variabel meta kognitif, yaitu kondisi individu, kompleksitas, pengetahuan, pengalaman, manfaat, dan strategi berpikir. Holler, dkk. (2002) mengemukakan bahwa aktivitas metakognitif tergantung pada kesadaran individu, monitoring, dan regulasi.
Komponen meta kognitif menurut Sharples & Mathew ada 7, yaitu: refleksi kognitif, strategi, prediksi, koneksi, pertanyaan, bantuan, dan aplikasi. Sedangkan Holler berpendapat tentang komponen metakognitif, yaitu: kesadaran, monitoring, dan regulasi.

Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat unsure analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuhkembangnya kemampuan inkuiri dan kreativitas. Oleh karena itu pelaksanaan pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan metakognitif ini, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal.

4. Komunikasi
Siswa dalam belajar tidak akan lepas dari komunikasi antar siswa, siswa dengan fasilitas belajar, ataupun dengan guru. Kemampuan komunikasi setiap individu akan mempengaruhi proses dan hasil belajar yang bersangkutan dan membentuk kepribadiannya, ada individu yang memiliki pribadi positif dan ada pula yang berkpribadian negatif.

Perhatikan hasil penelitian Jack Canfield (1992), untuk kita simak dan renungkan, bahwa seorang anak ayang masih polos-natural, setiap hari biasa menerima 460 komentar negatif dan 75 koentar positif dari oarng yang lebih tua dalam kehidupannya. Akibatnya sungguh mengejutkan, anak yang pada awalnya secara alami penuh keyakinan, keberanian, suka tantangan, ingin mencoba, ingin tahu dengan pengaruh komunikasi negatif yang lebih dominant dari orang sekelilingnya, ternyata lama kelamaan keyakinannya terguncang dan rasa percaya dirinya menurun, sehingga dia tumbuh menjadi penakut, pemalu, ragu-ragu, menghindar, membiarkan, dan cemas. Dampak selanjutnya pada waktu bwersekolah, belajar menjadi beban dan rasa ercaya dirinya berkurang. Makin lama ia makin dewasa, pribadinya berpola negative, seperti pesimis, m\udah menyerah, dikendalikan keadaan , prasangka, pembenaran, menimpakan kesalahan, dan sibuk dengan alasan. Berbeda dengan individu yang memiliki pribadi positif, yaitu optimis, mengendalikan keadaan, ada kebebasan memilih, punya alternative, partisipatidf, dan mau memperbaiki diri.

Sebagai guru, tentunya akan berhadapan dengan siswa yang berkepribadian negative seperti di atas dan tentunya tidak untuk dibiarkan karena profesi guru adalah amanat. Bagaimanakh menghadapi siswa dengan pola pribadi seperti irtu? Caranya anatar lain dengan cara tidak memvonis, katakana “saya ….” bukan katanya, jangan sungkan untuk apologi jika kesalahan, tumbuhkan citra positif, bersikap mengajak dan bukan memerintah, dan jaga komunikasi non verbal (eksprsi wajah, nada suara, gerak tubuh, dan sosok panutan). Mengapa demikian? Karena cara berkomunikasi akan langsung berkenaan dengan akal dan rasa, yang selanjutnya mempengaruhi poses pembelajaran.

5. Kebermaknaan Belajar
Dalam belajar apapun, belajar efektif (sesuai tujuan) semestinya bermakna. Agar bermakna, belajar tidak cukup dengan hanya mendengar dan melihat tetapi harus dengan melakukan aktivitas (membaca, bertanya, menjawab, berkomentar, mengerjakan, mengkomunikasikan, presentasi, diskusi).
Dalam bahasa Sunda ada pepatah “pok-pek-prak” yang berarti bahwa belajar mempunya indikator berkata-pok (bertanya-menjawab-diskusi,presentasi). Mencoba-pek (menyelidiki, meng-identifikasi, menduga, menyimpulkan, menemukan), dan melaksanakan-prak (mengaplikasikan, menggunakan, memanfaatkan, mengembangkan). Tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantoro (1908) mengemukakan tiga prinsip pembelajaran ing ngarso sung tulodo (jadi pemimpin-guru jadilah teladan bagi siswanya), ing madyo mangun karso (dalam pembelajaran membangun ide siswa dengan aktivitas sehingga kompetensi siswa terbentuk), tut wuri handayani (jadilah fasilitator kegiatan siswa dalam mengembangkan life skill sehingga mereka menjadi pribadi mandiri). Dengan perkataan lain, pembelajaran adalah solusi tepat untuk pelaksanaan kurikulum 2006, dan bukan dengan kegiatan mengajar. 

Selanjutnya, Vernon A Madnesen (1983) san Peter Sheal (1989) mengemukakan bahwa kebermaknaan belajar tergantung bagaimana cbelajar. Jika belajar hanya dngan membaca kebermaknaan bisa mencapai 10%, dari mendengar 20%, dari melihat 30%, mendengar dan melihat 50%, mengatakan-komunikasi mencapai 70 %, da belajar dengan melakukan dan mengkomunikasikan besa mencapai 90%.
Drai uraian di atas implikasi terhadap pembelajaran adalah bahwa kegiatan pembelajaran identik dengan aktivitas siswa secara optimal, tidak cukuop dengan mendengar dan melihat, tepai harus dengan hands-on, minds-on, konstruksivis, dan daily life (kontekstual).

6. Konstruksivisme
Dalam paradigma pembelajaran, guru menyajikan persoalan dan mendorong (encourage) siswa untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, berhipotesis, berkonjektur, menggeneralisasi, dan inkuiri dengan cara mereka sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang disajikan. Sehingga jenis komunikasi yang dilakukan antara guru-siswa tidak lagi bersifat transmisi sehingga menimbulkan imposisi (pembebanan), melainkan lebih bersifat negosiasi sehingga tumbuh suasana fasilitasi.

Dalam kondisi tersebut suasana menjadi kondusif (tut wuri handayani) sehingga dalam belajar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuan dan opengalaman yang diperolehnya dengan pemaknaan yang lebih baik. Siswa membangun sendiri konsep atau struktur materi yang dipelajarinya, tidak melalui pemberitahuan oleh guru. Siswa tidak lagi menerima paket-paket konsep atau aturan yang telah dikemas oleh guru, melainkan siswa sendiri ang mengemasnya. Mungkin saja kemasannya tidak akurat, siswa yang satu dengan siswa lainnya berbeda, atau mungkin terjadi eksalahan, di sinilah tugas guru memberikan bantuan dan arahan (scalfolding) sebagai fasilitator dan pembimbing. Keslahan siswa merupakan bagian dari belajar, jadi harus dihargai karena hal itu cirinya ia sedang belajar, ikut partisipasi dan tidak menghindar dari aktivitas pembelajaran.
Hal inilah yang disebut dengan konstruksivisme dalam pembelajaran, dan memang pembelajaran pada hakikatnya adalah konstruksivisme, karena pembelajaran adalah aktivitas siswa yang sifatnbya proaktif dan reaktif dalam membangun pengetahuan. Agar konstruksicvisme dapat terlaksana secara optimal, Confrey (1990) menyarankan konstruksivisme secara utuh (powerfull constructivism), yaitu: konsistensi internal, keterpaduan, kekonvergenan, refeleksi-eksplanasi, kontinuitas historical, simbolisasi, koherensi, tindak lanjut, justifikasi, dan sintaks (SOP).

7. Prinsip Belajar Aktif
Ada dua jenis belajar, yaitu belajar secara aktif dan secara reaktif (pasif). Belajar secara aktif indikatornya adalah belajar pada setiap situasi, menggunakan kesempatan untuk meraih manfaat, berupaya terlaksana, dan partisipatif dalam setiap kegiatan. Sedangakan belajar reaktif indikatornya adalah tidak dapat melihat adanya kesempatan belajart, mengabaikan kesempatan, membiarkan segalanya terjadi, menghindar dari kegiatan. 

Dari indikator belajar aktif, sesuai dengan pengertian kegiatan pembelajaran di atas, maka prinsip belajar yang harus diterapkan adalah siswa harus sebaga subjek, belajar dengan melakukan-mengkomunikasikan sehingga kecerdasan emosionalnya dapat berkembang, seperti kemampuan sosialisasi, empati dan pengendalian diri. Hal ini bisa terlatih melalui kerja individual-kelompok,diskusi, presentasi, tanya-jawab, sehingga terpuku rasa tanggung jawab dan disiplin diri. 

Prinsip belajar yang dikemuakan leh Treffers (1991) adalah memiliki indikatro mechanistic (latihan, mengerjakan), structuralistic (terstrutur, sitematik, aksionmatik), empiristic (pngelaman induktif-deduktif), dan realistic-human activity (aktivitas kehidupan nyata). Prisip tersebut akan terwujud dengan melaksanakan pembelajaran dengan memperhatikan keterlibatan intelektual-emosional, kontekstual-trealistik, konstruksivis-inkuiri, melakukan-mengkomunikasikan, dan inklusif life skill.

D. Model-model Pembelajaran
Untuk membelajarkan siswa sesuai dengan cara-gaya belajar mereka sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran. Dalam prakteknya, kita (guru) harus ingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri.

Berikut ini disajikan beberapa model pembelajaran, untuk dipilih dan dijadikan alternatif sehingga cocok untuk situasi dan kjondisi yang dihadapi. Akan tetapi sajian yang dikemukakan pengantarnya berupa pengertian dan rasional serta sintaks (prosedur) yang sifatnya prinsip, modifikasinya diserahkan kepada guru untuk melakukan penyesuaian, penulis yakin kreativitas para guru sangat tinggi.

1. Koperatif (CL, Cooperative Learning).
Pembelajaran koperatif sesuai dengan fitrah manusis sebagai makhluq sosial yang penuh ketergantungan dengan otrang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembegian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyatan itu, belajar berkelompok secara koperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing. 

Jadi model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksu konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siawa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada control dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi. Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.

2. Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif - nyaman dan menyenangkan. Pensip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.

Ada tujuh indokator pembelajarn kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya, yaitu modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh), questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi), learning community (seluruh siswa partisipatif dalam belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan), inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan), constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis), reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut), authentic assessment (penilaian selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya darei berbagai aspek dengan berbagai cara).

3. Realistik (RME, Realistic Mathematics Education)
Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided reinventiondalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan uantuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reoorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio, pengemabngan mateastika).
Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi), pemahaman (menemukan-informal daam konteks melalui refleksi, informal ke formal), inter-twinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial, sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan).

4. Pembelajaran Langsung (DL, Direct Learning)
Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus pada ketrampilan dasar akan lebih efektif jika disampaikan dengan cara pembelajaran langsung. Sintaknya adalah menyiapkan siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau ekspositori (ceramah bervariasi).
5. Pembelajaran Berbasis masalah (PBL, Problem Based Learning)
Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemamuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap hatrus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dap[at berpikir optimal.
Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi (analisis), interpretasi, induksi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, konjektur, sintesis, generalisasi, dan inkuiri

6. Problem Solving
Dalam hal ini masalah didefinisikan sebagai suatu persoalan yang tidak rutin, belum dikenal cara penyelesaiannya. Justru problem solving adalah mencari atau menemukan cara penyelesaian (menemukan pola, aturan, atau algoritma). Sintaknya adalah: sajiakn permasalah yang memenuhi criteria di atas, siswa berkelompok atau individual mengidentifikasi pola atau atuiran yang disajikan, siswa mengidentifkasi, mengeksplorasi,menginvestigasi, menduga, dan akhirnya menemukan solusi. 

7. Problem Posing
Bentuk lain dari problem posing adaslah problem posing, yaitu pemecahan masalah dngan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-bagian yang lebih simple sehingga dipahami. Sintaknya adalah: pemahaman, jalan keluar, identifikasi kekeliruan, menimalisasi tulisan-hitungan, cari alternative, menyusun soal-pertanyaan. 

8. Problem Terbuka (OE, Open Ended)
Pembelajaran dengan problem (masalah) terbuka artinya pembelajaran yang menyajikan permasalahan dengan pemecahan berbagai cara (flexibility) dan solusinya juga bisa beragam (multi jawab, fluency). Pembelajaran ini melatih dan menumbuhkan orisinilitas ide, kreativitas, kognitif tinggi, kritis, komunikasi-interaksi, sharing, keterbukaan, dan sosialisasi. Siswa dituntuk unrtuk berimprovisasi mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi dalam memperoleh jawaban, jawaban siswa beragam. Selanjtynya siswa juda diinta untuk menjelaskan proses mencapai jawaban tersebut. Denga demikian model pembelajaran ini lebih mementingkan proses daripada produk yang akan membentiuk pola piker, keterpasuan, keterbukaan, dan ragam berpikir.

Sajian masalah haruslah kontekstual kaya makna secara matematik (gunakan gambar, diagram, table), kembangkan peremasalahan sesuai dengan kemampuan berpikir siswa, kaitakkan dengan materui selanjutnya, siapkan rencana bimibingan (sedikit demi sedikit dilepas mandiri).
Sintaknya adalah menyajikan masalah, pengorganisasian pembelajaran, perhatikan dan catat reson siswa, bimbingan dan pengarahan, membuat kesimpulan.

9. Probing-prompting
Teknik probing-prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian petanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan engetahuan sisap siswa dan engalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa memngkonstruksiu konsep-prinsip-aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan.
Dengan model pembelajaran ini proses tanya jawab dilakukan dengan menunjuk siswa secara acak sehingga setiap siswa mau tidak mau harus berpartisipasi aktif, siswa tidak bisa menghindar dari prses pembelajaran, setiap saat ia bisa dilibatkan dalam proses tanya jawab. Kemungkinan akan terjadi sausana tegang, namun demikian bisa dibiasakan. Untuk mngurang kondisi tersebut, guru hendaknya serangkaian pertanyaan disertai dengan wajah ramah, suara menyejukkan, nada lembut. Ada canda, senyum, dan tertawa, sehingga suasana menjadi nyaman, menyenangkan, dan ceria. Jangan lupa, bahwa jawaban siswa yang salah harus dihargai karena salah adalah cirinya dia sedang belajar, ia telah berpartisipasi

10. Pembelajaran Bersiklus (cycle learning)
Ramsey (1993) mengemukakan bahwa pembelajaran efektif secara bersiklus, mulai dari eksplorasi (deskripsi), kemudian eksplanasi (empiric), dan diakhiri dengan aplikasi (aduktif). Eksplorasi berarti menggali pengetahuan rasyarat, eksplnasi berarti menghenalkan konsep baru dan alternative pemecahan, dan aplikasi berarti menggunakan konsep dalam konteks yang berbeda.

11. Reciprocal Learning
Weinstein & Meyer (1998) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran harus memperhatikan empat hal, yaitu bagaimana siswa belajar, mengingat, berpikir, dan memotivasi diri. Sedangkan Resnik (1999) mwengemukan bhawa belajar efektif dengan cara membaca bermakna, merangkum, bertanya, representasi, hipotesis.Untuk mewujudkan belajar efektif, Donna Meyer (1999) mengemukakan cara pembelajaran resiprokal, yaitu: informasi, pengarahan, berkelompok mengerjakan LKSD-modul, membaca-merangkum.

12. SAVI
Pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indar yang dimiliki siswa. Istilah SAVI sendiri adalah kependekan dari: Somatic yang bermakna gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik) di mana belajar dengan mengalami dan melakukan; Auditory yang bermakna bahwa belajar haruslah dengan melaluui mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan penndepat, dan mennaggapi; Visualization yang bermakna belajar haruslah menggunakan indra mata melallui mengamati, menggambar, mendemonstrasikan, membaca, menggunbakan media dan alat peraga; dan Intellectualy yang bermakna bahawa belajar haruslah menggunakan kemampuan berpikir (minds-on) nbelajar haruslah dengan konsentrasi pikiran dan berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan. 

13. TGT (Teams Games Tournament)
Penerapan model ini dengan cara mengelompokkan siswa heterogen, tugas tiap kelompok bisa sama bis aberbeda. SDetelah memperoleh tugas, setiap kelompok bekerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan dinamikia kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana diskuisi nyaman dan menyenangkan sepeti dalam kondisi permainan (games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah , lembut, santun, dan ada sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok sehuingga terjadi diskusi kelas.
Jika waktunya memungkinkan TGT bisa dilaksanakan dalam beberapa pertemuan, atau dalam rangak mengisi waktu sesudah UAS menjelang pembagian raport. Sintaknya adalah sebagai berikut:
a. Buat kelompok siswa heterogen 4 orang kemudian berikan informasi pokok materi dan \mekanisme kegiatan
b. Siapkan meja turnamen secukupnya, missal 10 meja dan untuk tiap meja ditempati 4 siswa yang berkemampuan setara, meja I diisi oleh siswa dengan level tertinggi dari tiap kelompok dan seterusnya sampai meja ke-X ditepati oleh siswa yang levelnya paling rendah. Penentuan tiap siswa yang duduk pada meja tertentu adalah hasil kesewpakatan kelompok.
c. Selanjutnya adalah opelaksanaan turnamen, setiap siswa mengambil kartu soal yang telah disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk jangka waktu terttentu (misal 3 menit). Siswa bisda nmngerjakan lebbih dari satu soal dan hasilnya diperik\sa dan dinilai, sehingga diperoleh skor turnamen untuk tiap individu dan sekaligus skor kelompok asal. Siswa pada tiap meja tunamen sesua dengan skor yang dip[erolehnay diberikan sebutan (gelar) superior, very good, good, medium.
Bumping, pada turnamen kedua ( begitu juga untuk turnamen ketiga-keempat dst.), dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan sebutan gelar tadi, siswa superior dalam kelompok meja turnamen yang sama, begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi oleh siswa dengan gelar yang sama.
e. Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor individual, berikan penghargaan kelompok dan individual.

14. VAK (Visualization, Auditory, Kinestetic)
Model pebelajaran ini menganggap bahwa pembelajaran akan efektif dengan memperhatikan ketiga hal tersebut di atas, dengan perkataan lain manfaatkanlah potensi siwa yang telah dimilikinya dengan melatih, mengembangkannya. Istilah tersebut sama halnya dengan istilah pada SAVI, dengan somatic ekuivalen dengan kinesthetic.

15. AIR (Auditory, Intellectualy, Repetition)
Model pembelajaran ini mirip dengan SAVI dan VAK, bedanya hanyalah pada Repetisi yaitu pengulangan yang bermakna pendalama, perluasan, pemantapan dengan cara siswa dilatih melalui pemberian tugas atau quis.

16. TAI (Team Assisted Individualy)
Terjemahan bebas dari istilah di atas adalah Bantuan Individual dalam Kelompok (BidaK) dengan karateristirk bahwa (Driver, 1980) tanggung jawab vbelajar adalah pada siswa. Oleh karena itu siswa harus membangun pengetahuan tidak menerima bentuk jadi dari guru. Pola komunikasi guru-siswa adalah negosiasi dan bukan imposisi-intruksi.
Sintaksi BidaK menurut Slavin (1985) adalah: (1) buat kelompok heterogen dan berikan bahan ajar berupak modul, (2) siswa belajar kelompok dengan dibantu oleh siswa pandai anggota kelompok secara individual, saling tukar jawaban, saling berbagi sehingga terjadi diskusi, (3) penghargaan kelompok dan refleksi serta tes formatif.

17. STAD (Student Teams Achievement Division)
STAD adalah salah sati model pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen (4-5 orang), diskusikan bahan belajar-LKS-modul secara kolabratif, sajian-presentasi kelompok sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa atau kelompok, umumkan rekor tim dan individual dan berikan reward.

18. NHT (Numbered Head Together)
NHT adalah salah satu tipe dari pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen dan tiap siswa memiliki nomor tertentu, berikan persoalan materi bahan ajar (untuk tiap kelompok sama tapi untuk tiap siswa tidak sama sesuai dengan nomor siswa, tiasp siswa dengan nomor sama mendapat tugas yang sama) kemudian bekerja kelompok, presentasi kelompok dengan nomnor siswa yang sama sesuai tugas masing-masing sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan beri reward.

19. Jigsaw
Model pembeajaran ini termasuk pembelajaran koperatif dengan sintaks sepeerti berikut ini. Pengarahan, informasi bahan ajar, buat kelompok heterogen, berikan bahan ajar (LKS) yang terdiri dari beberapa bagian sesuai dengan banyak siswa dalam kelompok, tiap anggota kelompok bertugas membahasa bagian tertentu, tuiap kelompok bahan belajar sama, buat kelompok ahli sesuai bagian bahan ajar yang sama sehingga terjadi kerja sama dan diskusi, kembali ke kelompok aasal, pelaksnaa tutorial pada kelompok asal oleh anggotan kelompok ahli, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

20. TPS (Think Pairs Share)
Model pembelajaran ini tergolong tipe koperatif dengan sintaks: Guru menyajikan materi klasikal, berikan persoalan kepada siswa dan siswa bekerja kelompok dengan cara berpasangan sebangku-sebangku (think-pairs), presentasi kelompok (share), kuis individual, buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.

21. GI (Group Investigation)
Model koperatif tipe GI dengan sintaks: Pengarahan, buat kelompok heterogen dengan orientasi tugas, rencanakan pelaksanaan investigasi, tiap kelompok menginvestigasi proyek tertentu (bisa di luar kelas, misal mengukur tinggi pohon, mendata banyak dan jenis kendaraan di dalam sekolah, jenis dagangan dan keuntungan di kantin sekolah, banyak guru dan staf sekolah), pengoalahn data penyajian data hasi investigasi, presentasi, kuis individual, buat skor perkem\angan siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.

22. MEA (Means-Ends Analysis)
Model pembelajaran ini adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan sintaks: sajikan materi dengan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristic, elaborasi menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana, identifikasi perbedaan, susun sub-sub masalah sehingga terjadli koneksivitas, pilih strategi solusi

23. CPS (Creative Problem Solving)
Ini juga merupakan variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah melalui teknik sistematik dalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sintaksnya adalah: mulai dari fakta aktual sesuai dengan materi bahan ajar melalui tanya jawab lisan, identifikasi permasalahan dan fokus-pilih, mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk menentukan solusi, presentasi dan diskusi.

24. TTW (Think Talk Write)
Pembelajaran ini dimulai dengan berpikir melalui bahan bacaan (menyimak, mengkritisi, dan alternative solusi), hasil bacaannya dikomunikasikan dengan presentasi, diskusi, dan kemudian buat laopran hasil presentasi. Sinatknya adalah: informasi, kelompok (membaca-mencatatat-menandai), presentasi, diskusi, melaporkan.

25. TS-TS (Two Stay – Two Stray)
Pembelajaran model ini adalah dengan cara siswa berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan kelompok lain. Sintaknya adalah kerja kelompok, dua siswa bertamu ke kelompok lain dan dua siswa lainnya tetap di kelompoknya untuk menerima dua orang dari kelompok lain, kerja kelompok, kembali ke kelompok asal, kerja kelompok, laporan kelompok.

26. CORE (Connecting, Organizing, Refleting, Extending)
Sintaknya adalah (C) koneksi informasi lama-baru dan antar konsep, (0) organisasi ide untuk memahami materi, (R) memikirkan kembali, mendalami, dan menggali, (E) mengembangkan, memperluas, menggunakan, dan menemukan.

27. SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, Review)
Pembelajaran ini adalah strategi membaca yang dapat mengembangkan meta kognitif siswa, yaitu dengan menugaskan siswa untuk membaca bahan belajar secara seksama-cermat, dengan sintaks: Survey dengan mencermati teks bacaan dan mencatat-menandai kata kunci, Question dengan membuat pertanyaan (mengapa-bagaimana, darimana) tentang bahan bacaan (materi bahan ajar), Read dengan membaca teks dan cari jawabanya, Recite dengan pertimbangkan jawaban yang diberikan (cartat-bahas bersama), dan Review dengan cara meninjau ulang menyeluruh

28. SQ4R (Survey, Question, Read, Reflect, Recite, Review)
SQ4R adalah pengembangan dari SQ3R dengan menambahkan unsur Reflect, yaitu aktivitas memberikan contoh dari bahan bacaan dan membayangkan konteks aktual yang relevan.

29. MID (Meaningful Instructionnal Design)
Model ini adalah pembnelajaran yang mengutyamakan kebermaknaan belajar dan efektifivitas dengan cara membuat kerangka kerja-aktivitas secara konseptual kognitif-konstruktivis. Sintaknya adalah (1) lead-in dengan melakukan kegiatan yang terkait dengan pengalaman, analisi pengalaman, dan konsep-ide; (2) reconstruction melakukan fasilitasi pengalaan belajar; (3) production melalui ekspresi-apresiasi konsep

30. KUASAI
Pembelajaran akan efektif dengan melibatkan enam tahap berikut ini, Kerangka pikir untuk sukses, Uraikan fakta sesuai dengan gaya belajar, Ambil pemaknaan (mengetahui-memahami-menggunakan-memaknai), Sertakan ingatan dan hafalkan kata kunci serta koneksinya, Ajukan pengujian pemahaman, dan Introspeksi melalui refleksi diri tentang gaya belajar.

31. CRI (Certainly of Response Index)
CRI digunakan untuk mengobservasi proses pembelajaran yang berkenaan dengan tingkat keyakinan siswa tentang kemampuan yang dimilkinya untuk memilih dan menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya. Hutnal (2002) mengemukakan bahwa CRI menggunakan rubric dengan penskoran 0 untuk totally guested answer, 1 untuk amost guest, 2 untuk not sure, 3 untuk sure, 4 untuk almost certain, dn 5 untuk certain. 

32. DLPS (Double Loop Problem Solving)
DPLS adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan penekanan pada pencarian kausal (penyebab) utama daritimbulnya masalah, jadi berkenaan dengan jawaban untuk pertanyaan mengapa. Selanutnya menyelesaikan masalah tersebut dengan cara menghilangkan gap uyang menyebabkan munculnya masalah tersebut.
Sintaknya adalah: identifkasi, deteksi kausal, solusi tentative, pertimbangan solusi, analisis kausal, deteksi kausal lain, dan rencana solusi yang terpilih. Langkah penyelesdai maslah sebagai berikurt: menuliskan pernyataan masalah awal, mengelompokkan gejala, menuliskan pernyataan masalah yang telah direvisi, mengidentifikasui kausal, imoplementasi solusi, identifikasi kausal utama, menemukan pilihan solusi utama, dan implementasi solusi utama.

33. DMR (Diskursus Multy Reprecentacy)
DMR adalah pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan, penggunaan, dan pemanfaatan berbagai representasi dengan setting kelas dan kerja kelompok. Sintaksnya adalah: persiapan, pendahuluan, pengemabangan, penerapan, dan penutup.

34. CIRC (Cooperative, Integrated, Reading, and Composition)
Terjemahan bebas dari CIRC adalah komposisi terpadu membaca dan menulis secara koperatif –kelompok. Sintaksnya adalah: membentuk kelompok heterogen 4 orang, guru memberikan wacana bahan bacaan sesuai dengan materi bahan ajar, siswa bekerja sama (membaca bergantian, menemukan kata kunci, memberikan tanggapan) terhadap wacana kemudian menuliskan hasil kolaboratifnya, presentasi hasil kelompok, refleksi.

35. IOC (Inside Outside Circle)
IOC adalah mode pembelajaran dengan sistim lingkaran kecil dan lingkaran besar (Spencer Kagan, 1993) di mana siswa saling membagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda dengan ssingkat dan teratur. Sintaksnya adalah: Separu dari sjumlah siswa membentuk lingkaran kecil menghadap keluar, separuhnya lagi membentuk lingkaran besar menghadap ke dalam, siswa yang berhadapan berbagi informasi secara bersamaan, siswa yang berada di lingkran luar berputar keudian berbagi informasi kepada teman (baru) di depannya, dan seterusnya

36. Tari Bambu
Model pembelajaran ini memberuikan kesempatan kepada siswa untuk berbagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda secara teratur. Strategi ini cocok untuk bahan ajar yang memerlukan pertukartan pengalaman dan pengetahuan antar siswa. Sintaksnya adalah: Sebagian siswa berdiri berjajar di depoan kelas atau di sela bangku-meja dan sebagian siswa lainnya berdiri berhadapan dengan kelompok siswa opertama, siswa yang berhadapan berbagi pengalkaman dan pengetahuan, siswa yang berdiri di ujung salah satui jajaran pindah ke ujunug lainnya pada jajarannya, dan kembali berbagai informasi.

37. Artikulasi
Artikulasi adlah mode pembelajaran dengan sintaks: penyampaian konpetensi, sajian materi, bentuk kelompok berpasangan sebangku, salah satu siswa menyampaikan materi yang baru diterima kepada pasangannya kemudian bergantian, presentasi di depan hasil diskusinya, guru membimbing siswa untuk menyimpulkan.

38. Debate
Debat adalah model pembalajaranb dengan sisntaks: siswa menjadi 2 kelompok kemudian duduk berhadapan, siswa membaca materi bahan ajar untuk dicermati oleh masing-masing kelompok, sajian presentasi hasil bacaan oleh perwakilan salah satu kelompok kemudian ditanggapi oleh kelompok lainnya begitu setrusnya secara bergantian, guru membimbing membuat kesimpulan dan menambahkannya biola perlu.

39. Role Playing
Sintak dari model pembelajaran ini adalah: guru menyiapkan scenario pembelajaran, menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari scenario tersebut, pembentukan kelompok siswa, penyampaian kompetensi, menunjuk siswa untuk melakonkan scenario yang telah dipelajarinya, kelompok siswa membahas peran yang dilakukan oleh pelakon, presentasi hasil kelompok, bimbingan penimpoulan dan refleksi.

40. Talking Stick
Suintak p[embelajana ini adalah: guru menyiapkan tongkat, sajian materi pokok, siswa mebaca materi lengkap pada wacana, guru mengambil tongkat dan memberikan tongkat kepada siswa dan siswa yang kebagian tongkat menjawab pertanyaan dari guru, tongkat diberikan kepad siswa lain dan guru memberikan petanyaan lagi dan seterusnya, guru membimbing kesimpulan-refleksi-evaluasi.

Selasa, 10 April 2012

PTK

PENERAPAN MODEL PENGAJARAN LANGSUNG DENGAN MULTIMEDIA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA POKOK BAHASAN BANGUN RUANG SISI DATAR PADA SISWA KELAS VIIIA SEMESTER 2 SMPN 1 GUMUKMAS TAHUN PELAJARAN 2OO8/2009


OLEH : SAMSULHADI, S.Pd


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Matematika merupakan ilmu dasar yang harus dikuasai, selain membaca dan menulis. Menguasai ilmu matematika, membaca, dan menulis berarti mempunyai harapan untuk mudah dan cepat memahami ilmu pengetahuan yang lain. Sehingga tidak mengherankan apabila setiap dikeluarkanya kebijakan tentang Ujian Negara/ Nasional pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, matematika pasti menjadi salah satu mata pelajaran yang diujikan. Tetapi yang memprihatinkan, matematika sering menjadi penyebab siswa tidak lulus ujian.

Berdasarkan keterangan dari pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Jember prosentase kelulusan siswa SMP Kabupaten Jember menduduki peringkat paling bawah pada peringkat prosentase kelulusan siswa SMP tingkat Propinsi Jawa Tengah pada tahun pelajaran 2006/2007. Sebagian penyebab ketidaklulusan berasal dari perolehan nilai mata pelajaran matematika yang masih kurang. Sehingga guru dianjurkan untuk melakukan inovasi dalam proses belajar mengajar dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, seperti model pembelajaran dengan multimedia ( sambutan Kasie Ketenagaan Dinas Pendidikan Kabupaten Jember pada Pembukaan Workshop Multimedia Guru Matematika SMP Se-Kabupaten Jember, Tanggal 20 Nopember 2007 ).

Hal di atas juga diakui oleh beberapa guru di Kabupaten Jember. Menurut mereka sebagian besar siswa tidak tertarik pada mata pelajaran matematika, bahkan menganggap mata pelajaran matematika sebagai momok mata pelajaran yang dibenci dan ditakuti. Masih adanya kesulitan guru dalam memahamkan hal-hal yang abstrak kapada siswa, pembelajaran yang kurang menyenangkan karena masih mengandalkan dengan metode ceramah saja menambah rendahnya minat siswa terhadap mata pelajaran matematika, dan model pembelajaran yang tidak efektif dalam memahamkan konsep menyebabkan prestasi belajar siswa rendah.

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman guru matematika kelas VIIIA SMP Negeri 1 Gumukmas Kabupaten Jember dalam mengajar selama ini, minat siswa dalam pembelajaran matematika masih kurang, siswa kurang memahami materi yang diajarkan guru dan masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal matematika. Dengan menggunakan Skala Perbedaan Semantik, diperoleh informasi prosentase minat siswa terhadap belajar dan mengerjakan soal-soal matematika sebagai berikut: Menyatakan menarik dan tidak membosankan 42,86%, senang dan tidak terpaksa 38,10%, menantang 35,71%, bermanfaat/menguntungkan 76,16%, mudah/tidak berat 28,57%. Dari indikator tersebut diperoleh prosentase minat sebesar 44,29%.

Pengalaman juga menunjukkan bahwa hasil belajar siswa belum memuaskan. Hal ini dapat dilihat di antaranya dari nilai ulangan harian pada materi pokok sebelum dilaksanakan penelitian (pra-siklus). Dimana jumlah siswa yang mencapai tingkat ketuntasan belajar baru 35,71 % dari 42 siswa. Dan rata-rata nilai ulangan hariannya sebesar 55,40.

Sesungguhnya matematika muncul dari kehidupan nyata sehari-hari. Sebagai contoh, bangun-bangun ruang dan datar pada dasarnya didapat dari benda-benda kongkret dengan melakukan proses abstraksi dan idealisasi dari benda-benda nyata. Proses pembelajaran matematika harus dapat menghubung-kan antara ide abstrak matematika dengan situasi nyata yang dialami atau diamati oleh siswa. Tentunya proses pembelajaran tidak efektif apabila guru hanya bercerita (ceramah) tentang hal-hal yang terjadi. Untuk itulah diperlukan media pembelajaran, media yang dapat dimanipulasi, dapat dilihat, dapat didengar dan dapat dibaca. Media yang dapat menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi.

Untuk mengatasi permasalahan di atas diperlukan adanya pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi dan minat belajar siswa, diperlukan media pembelajaran yang menampilkan benda-benda kongkret atau kejadian-kejadian nyata diluar kelas sehingga dapat diamati oleh siswa di dalam kelas, agar lebih kontekstual, lebih mudah dipahami, dan diharapkan lebih efektif. Sebenarnya SMPN 1 GUMUKMAS sejak tiga tahun yang lalu telah mempunyai sarana pembelajaran dengan multimedia seperti: TV, Video player, komputer/laptop, LCD, dan peralatan audio, tetapi selama ini siswa kelas VIII A belum pernah menerima model pembelajaran dengan multimedia.

Dalam upaya meningkatkan minat belajar dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika pokok bahasan bangun ruang sisi datar, proses pembelajaran akan dilakukan dengan menggunakan multimedia. Misalnya dengan menggunakan media (teks, grafis, foto, video, audio, dan animasi) yang disajikan dengan program microsoft power point. Perangkat yang digunakan adalah komputer/laptop, LCD, dan speaker aktif (sound system). Model pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran, misalnya menggunakan model pengajaran langsung (Direct Instruction ), dengan metode ceramah, tanya jawab, dan pemberian tugas. Tetapi proses penyampaian informasi lebih banyak dengan menggunakan penayangan gambar/foto dan rekaman kejadian sehari-hari, penyampaian konsep yang memerlukan urutan langkah dengan prosedur tertentu digunakan animasi dengan program microsoft powerpoint.

Hal tersebut di atas, mendasari perlunya diadakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) dengan judul “PENERAPAN MODEL PENGAJARAN LANGSUNG (DIRECT INSTRUCTION) DENGAN MULTI-MEDIA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA STANDAR KOMPETENSI BANGUN RUANG SISI DATAR PADA SISWA KELAS VIIIA SEMESTER II SMP NEGERI 1 GUMUKMAS TAHUN PELAJARAN 2008/2009 ”.

B. Penegasan Istilah
Untuk menghindari salah pengertian atau tafsiran dalam pemakaian istilah yang berkaitan dengan judul penelitian ini maka diperlukan penjelasan pengertian istilah sebagai berikut:

1. Model Pengajaran Langsung
Model Pengajaran Langsung (Direct Instruction) merupakan model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual yang dirancang untuk mengajarkan pengetahuan prosedural dan atau pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik dan dapat dipelajari tahap demi tahap seperti keterampilan motorik, metode ilmiah, keterampilan penelitian, cara belajar dan lain-lain. Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu. Sedang pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan tentang sesuatu seperti pengetahuan tentang konsep, prinsip dan informasi. Kontekstual artinya guru mengaitkan materi yang diajarkannya dengan dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari (Dikdasmen:2005).
Adapun contoh pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang menemukan rumus luas permukaan dan volume kubus, balok, prisma dan limas. Sedangkan contoh pengetahuan deklaratif misalnya pengetahuan tentang pengertian kubus, balok, prisma dan limas. Diharapkan model pengajaran langsung sesuai dengan karakteristik materi pokok bahasan Bangun Ruang Sisi Datar.

2. Multimedia
Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang berarti perantara atau pengantar (Sadiman,2006:6).

Multimedia secara harfiah dapat diartikan; “multi” adalah banyak, sedangkan “media” mempunyai makna wadah/tempat atau saluran. Jadi multimedia mempunyai arti gabungan dari berbagai media/saluran. Namun sejalan dengan perkembangan yang pesat pada cara penggabungannya, multimedia menjadi semakin terintegrasi. Jenis-jenis media yang dapat menjadi komponen dalam multimedia adalah: teks, grafis, foto/gambar, video, audio, dan animasi. (Mulyanto, 2007:2)
Multimedia merupakan kombinasi dari perangkat keras dan perangkat lunak (software) yang memungkinkan dapat mengintegrasikan berbagai media tersebut untuk mengembangkan presentasi yang efektif.
Dalam penelitian ini multimedia yang digunakan adalah komputer, LCD, speaker aktif (sound sistem) dengan software program Microsoft Power Point.

3. Minat Belajar
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, minat berarti perhatian; keinginan untuk memperhatikan atau melakukan sesuatu; berminat berarti mau, suka, ingin akan (JS Badudu,1996:899).
4. Hasil Belajar
Perlu diketahui bahwa hasil belajar siswa tidak ditentukan hanya dari lulusnya siswa dari suatu atau keseluruhan tes yang diberikan (aspek kognitif), tetapi juga terbentuknya sikap, kepribadian, dan keterampilan yang diharapkan sesuai dengan tujuan pembelajaran (meliputi aspek afektif dan psikomotorik) (Ismail,2007:9.18).

5. Bangun Ruang Sisi Datar
Bangun ruang sisi datar adalah bangun ruang yang dibatasi seluruhya oleh bidang datar (Dikdasmen: 2005). Bangun ruang sisi datar merupakan materi mata pelajaran matematika Sekolah Menengah Pertama kelas VIII semester II pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ). Dalam hal ini bangun ruang sisi datar yang dimaksud adalah kubus, balok, prisma, dan limas.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan: Apakah dengan menerapkan model pengajaran langsung (Direct Instruction) dengan multimedia dapat meningkatkan minat dan hasil belajar matematika standar kompetensi Bangun Ruang Sisi Datar pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 1 Gumukmas Semester II Tahun Pelajaran 2008/2009 ?

D. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah yang dikemukakan, maka tujuan penelitian tindakan (action research) ini adalah untuk mengetahui meningkat tidaknya minat dan hasil belajar matematika standar kompetensi Bangun Ruang Sisi Datar pada siswa kelas VIIIA SMP Negeri 1 Gumukmas semester II tahun pelajaran 2008/2009 setelah diterapkan model pengajaran langsung (Direct Instruction) dengan multimedia.

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat yang dapat diperoleh pihak-pihak tertentu, yaitu:

1. Siswa, yaitu diharapkan bahwa melalui model pembelajaran dengan multimedia, siswa semakin tertarik dan semakin berminat dalam belajar. Sehingga aktifitas belajar dan hasil belajar siswa meningkat.

2. Guru, yaitu diharapkan dapat membuka cakrawala berfikir guru bahwa kreativitas guru dalam pembelajaran termasuk penerapan model pembelajaran dengan multimedia merupakan bagian dari upaya memperbaiki kinerja guru dan profesionalisme guru dalam pembelajaran.

3. Pihak sekolah, yaitu akan bertambah literaturnya dan akan membantu sekolah di dalam mengambil kebijakan yang berkenaan dengan peningkatan mutu pendidikan.


BAB II
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN
A. Landasan Teori
1. Belajar
Menurut Robert M. Gagne belajar merupakan proses yang memungkinkan manusia mengubah tingkah laku secara permanen. Sedangkan menurut Edward I. Thorendike dasar terjadinya belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan respon (Ismail,2007: 2.2).
Dave Meier (2000:90-92) berpendapat bahwa: Belajar akan berlangsung optimal jika menggabungkan gerakan fisik dengan aktifitas intelektual dan penggunaan semua panca indera. Dan dalam belajar mengandung unsur-unsur: (1) somatis, yakni belajar dengan bergerak dan berbuat, (2) auditori, yakni belajar dengan berbicara dan mendengar,(3) visual, belajar dengan mengamati dan menggambarkan, dan (4) intelectual, yakni belajar dengan memecahkan masalah dan merenung. Konsep belajar dari Dave Meier ini sedikitnya ada kesamaan dengan konsep belajar yang diajukan oleh Bobbi Deporter (1999:85) yang mengatakan bahwa : Modalitas belajar meliputi visual, auditorial dan kinestetik. Meskipun penggambarannya dari sudut pandang yang berbeda, namun sama-sama melibatkan fungsi penglihatan, pendengaran dan anggota tubuh seperti melihat, mendengar, meraba, berbicara, dan berbuat. Menurut Bruner untuk memahami konsep-konsep yang sifatnya abstrak, dibutuhkan wakil yang representatif yang dapat ditangkap oleh indera manusia. Ada tiga tahap representatif yang dapat digunakan seseorang untuk belajar dari lingkungannya, yaitu:
a. Tahap enaktif, yaitu suatu tahap pembelajaran dimana informasi atau pengetahuan itu harus dipelajari secara aktif oleh peserta didik dengan menggunakan benda-benda konkrit.
b. Tahap Ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran dimana pengetahuan itu direpresentasikan dalam bentuk bayangan visual (gambar, skema, diagram, grafik, tabel, dan sebagainya) yang menggambarkan situasi konkrit ysng terdapat pada tahap enaktif tersebut.
c. Tahap Simbolik, yaitu suatu tahap pembelajaran dimana pengetahuan itu direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak, baik simbolsimbol verbal, lambang-lambang matematika maupun lambang-lambang abstrak lainnya.
Menurut Bruner, proses belajar seseorang akan berlangsung optimal jika proses belajar diawali dari tahap enaktif, apabila tahap ini sudah cukup beralih ke tahap ikonik, dan selanjutnya ke tahap simbolik (Dikdasmen:2005).
Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran terjadi jika ada perubahan tingkah laku manusia akibat pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Apabila stimulus yang diberikan dapat ditangkap oleh semua panca indera manusia, maka pembelajaran dapat berlangsung optimal. Demikian pula halnya dengan aktifitas intelektual (aspek kognitif) juga sangat dipengaruhi pengunaan seluruh panca indera manusia pada saat pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, guru sebaiknya mencari media pembelajaran yang dapat ditangkap oleh sebagian besar panca indera siswa, agar proses pembelajaran lebih efektif.
2. Minat Belajar
Minat berarti perhatian; keinginan untuk memperhatikan atau melakukan sesuatu; berminat berarti mau, suka, ingin akan (JS Badudu,1996:899).
Beberapa cara yang dapat membangkitkan minat siswa adalah:
a. Mengaitkan topik yang dibahas dengan kegunaannya di masyarakat, di tempat kerja, dan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
b. Memberi kesempatan mendapatkan hasil yang baik (sense of succses).
c. Menggunakan variasi metode dalam proses pembelajaran.
d. Mengaitkan materi baru dengan materi lama.
Minat belajar juga berkaitan erat dengan motivasi. Apabila siswa mempunyai motivasi yang tinggi maka ia akan: a)memperlihatkan minat dan mempunyai perhatian; b) bekerja keras dan memberikan waktu kepada usaha tersebut; c) terus bekerja sampai tugas terselesaikan.
Motivasi adalah daya penggerak yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu dengan tujuan tertentu. Motivasi terbaik adalah motivasi intrinsik, suatu motivasi yang tumbuh dari kesadaran diri pribadi sendiri yang didorong oleh cita-cita atau harapan pribadi. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang tumbuh karena pengaruh dari luar. Misalnya untuk memotivasi siswa pada awal pembelajaran dapat digunakan cerita menarik, masalah menantang, sejarah matematikawan, gambar menarik, aplikasi konsep dan sebagainya. Untuk proses belajar mengajar, motivasi intrinsik lebih menguntungkan karena biasanya dapat bertahan lebih lama. Motivasi ekstrinsik dapat diberikan oleh guru dengan jalan mengatur kondisi dan situasi belajar yang kondusif. Dengan memberikan jalan penguatan (reinforcement) maka motivasi yang mula-mula bersifat ekstrinsik lambat laun diharapkan akan berubah menjadi motivasi intrinsik (Dikdasmen,2005).
Selanjutnya motivasi dan minat belajar akan mempengaruhi hasil belajar yang akan dicapai.
3. Hasil Belajar
Bloom (1981:4) menggambarkan hubungan antara hasil belajar dengan faktor-faktor belajar dengan mengatakan bahwa: Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kognitif dan afektifnya saat belajar. Dan kualitas pengajaran yang diterimanya dipengaruhi oleh cara pengelolaan proses interaksi kelas.
Bloom membedakan tiga macam hasil belajar yaitu: (1) pengetahuan kognitif, (2) hasil belajar afektif, dan (3) psikomotorik.
Penggolongan hasil belajar tersebut sesuai dengan tuntutan pembelajaran dewasa ini, yaitu mengacu pembelajaran kontekstual yang menghendaki tercapainya kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik.
4. Model Pengajaran Langsung
Model Pengajaran Langsung (Direct Instruction) merupakan model pembelajaran yang dirancang secara khusus untuk menunjang proses belajar siswa berkenaan dengan pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik dan dapat dipelajari selangkah demi selangkah.
Pengajaran langsung tidak sama dengan metode ceramah, tetapi ceramah dan resitasi (mengecek pemahaman dengan tanya jawab) berhubungan erat dengan model pengajaran langsung.
Ciri-ciri pengajaran langsung adalah sebagai berikut:
a. Adanya tujuan pembelajaran dan prosedur penilaian hasil belajar.
b. Sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran.
c. Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang mendukung berlangsung dan berhasilnya pembelajaran.

Fase-fase model pembelajaran langsung dapat disajikan pada table berikut ini:
Fase Peran Guru


5. Multimedia
Jenis-jenis media yang dapat menjadi komponen dalam multimedia adalah: teks, grafis, foto, video, audio dan animasi.
a. Teks merupakan media yang dapat mendukung pembelajaran pada semua aspek keterampilan dengan baik. Teks baik sekali untuk menyampaikan berbagai informasi verbal, membangun keterampilan intelektual, menimbulkan tumbuhnya strategi kognitif, melatih ketarampilan motorik, serta membentuk sikap. Teks terkadang lebih efektif daripada video atau audio. Akan tetapi teks tidak efektif bagi mereka yang kemampuan membacanya masih relatif rendah.
Teks, Teks, Teks, Teks, Teks, Teks, Teks, Teks.
b. Grafis ialah media yang cocok untuk dipergunakan mengidentifikasi benda, menklasifikasi, menunjukkan hubungan secara spesial, mengkongkritkan sesuatu yang masih bersifat abstrak dan sebagainya. Grafis bila digunakan menyertai teks akan dapat menghemat waktu untuk memahaminya dibanding menggunakan teks saja. Grafis sebagai media pembelajaran dapat mengkombinasikan fakta-fakta, gagasan-gagasan secara jelas dan kuat melalui perpaduan antara ungkapan kata-kata dan gambar. Pengungkapan itu bisa dalam bentuk sket, diagram, atau grafik.Kelompok media grafis antara lain: bagan, diagram, poster, kartun, dan komik.
c. Foto adalah media yang dapat membantu mendorong para siswa dan dapat membangkitkan minatnya pada pelajaran. Membantu mereka dalam mengembangkan kemampuan berbahasa, kegiatan seni, dan pernyataan kreatif dala bercerita, dramatisasi, bacaan, penulisan, melukis dan menggambar. Foto dalam multimedia dapat memberikan informasi tentang benda atau situasi nyata yang tidak memerlukan gerak.


d. Video adalah media yang memiliki begitu banyak manfaat terutama dalam kekuatan visualisasinya, akan tetapi tidak efektif untuk memberikan informasi detail mengenai sesuatu. Video bermanfaat untuk menyampaikan berbagai informasi yang mengandung gerak atau sesuatu benda yang terlalu besar/kecil sehingga sangat sulit diamati oleh penglihatan kita. Selain itu video juga dapat menyampaikan suatu peristiwa penting yang sudah berlalu.
e. Audio adalah media yang efektif bila dikombinasikan dengan media lainnya. Audio selain dapat digunakan untuk memancing perhatian juga cocok untuk tujuan belajar tertentu yang menonjolkan aspek suara asli atau “real sound”. Audo juga dapat digunakan untuk melatih daya analisis siswa dari apa yang mereka dengar. Selain itu audio dapat memperkuat informasi yang diberikan melalui teks, foto, grafik, video, maupun animasi. Audio dalam multimedia dapat berbentuk narasi, dialog, musik, maupun sound effect.
f. Animasi merupakan media yang sangat efektif untuk: menunjukkan hubungan antar obyek atau ide, merangsang tindakan, mendisplay urutan langkah dalam prosedur, menjelaskan konsep yang sulit, dan dipergunakan untuk menggantikan peran video dalam hal keadaan nyata yang tidak bisa didapat. Misalnya petir dengan lidahnya berkilat-kilatan.
Jadi multimedia adalah kombinasi antara teks, grafis, suara, foto, video, dan animasi yang disajikan melalui perangkat komputer atau alat elektronik lainnya.(Mulyanto, 2007:5)

B. Kerangka Berfikir
Di dalam makalahnya dengan judul Pedagogy in Mathematics Education, Tran Vui membahas empat aspek yang berkaitan dengan praktek pembelajaran di kelas yang perlu mendapat perhatian para guru matematika yaitu: kelemahan praktek pembelajaran dengan ceramah, konstruktivisme, pemecahan masalah (problem-solving), dan kontekstualisme (Dikdasmen: 2005).
Praktek pembelajaran dengan ceramah dapat dikatakan hanya lebih menekankan mengingat (memorizing) atau menghafal (rote learning) dan kurang atau malah tidak menekankan kepada pemahaman (understanding), bernalar (reasoning), dan memecahkan masalah (problem-solving). Tran Vui menyatakan : constructivism emphasize on the rule of the internal mental processes and installed database of the individual student in his or her learning, pada intinya, konstruktivisme menekankan peran proses mental internal serta kerangka kognitif yang ada di dalam pikiran siswa ketika proses pembelajar sedang berlangsung ; problem solving is put forth as a major method and goal, pemecahan masalah harus diletakkan sebagai tujuan utama dan metode utama pembelajaran matematika, karenanya proses pembelajaran di kelas disarankan untuk dimulai dengan menayangkan masalah nyata yang pernah dialami atau dipikirkan para siswa. Kaitanya dengan kontekstualisme disebutkan bahwa proses pembelajaran hendaklah dimulai dari hal-hal nyata lalu bergerak ke hal-hal yang abstrak. Untuk itu, diperlukan media pembelajaran yang baik.
Multimedia merupakan media pembelajaran yang dapat mengkombinasikan informasi berupa teks, gambar, grafis, foto, audio, animasi, dan video diharapkan dapat menyajikan materi matematika lebih menarik minat belajar siswa, dapat memberikan contoh-contoh keterkaitan atau penggunaan matematika yang sesuai dengan realitas kehidupan sesungguhnya. Sehingga dapat membantu proses abstraksi matematika dari hal-hal yang nyata, dan membantu siswa dalam memahami dan mengkonstruksi pengetahuanya. Multimedia dapat meningkatkan kemampuan mengingat (memorizing) atau menghafal (rotelearning), kemampuan pemahaman (understanding), bernalar (reasoning), dan memecahkan masalah (problem-solving) sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar atau hasil belajar.
Gambar di bawah ini memperlihatkan komunikasi yang berhasil berkat ikut sertanya media dalam proses belajar mengajar. Pesan A yang disampaikan oleh guru maupun media dan sumber pesan ditafsirkan sebagai A pula oleh para siswa. (Sumber: Sadiman, 2006:15)


Selain itu penggunaan multimedia juga akan dapat mempengaruhi perubahan tingkah laku dalam hal sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika. Melalui multimedia menjadikan pembelajaran matematika lebih menarik dan menyenangkan karena dapat disampaikan dengan bervariasi dan tidak monoton. Melalui multimedia menjadikan pembelajaran lebih kontekstual karena dapat menyajikan contoh-contoh penggunaan ilmu matematika dalam kehidupan sehari-hari dan manfaatnya terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga siswa menyadari bahwa belajar metematika itu bermanfaat, menguntungkan dan menantang. Akhirnya siswa akan mempunyai motivasi dan minat yang tinggi untuk belajar dan mengerjakan soal matematika.
Bangun Ruang Sisi Datar (BRSD) pada dasarnya didapat dari benda-ben da kongkret atau dunia nyata siswa dalam kehidupan sehari-hari (kontekstual). Di dalamnya terdapat pengetahuan prosedural dan pengetahuan dekalratif yang dipelajari tahap demi tahap. Maka model pembelajaran yang dipilih pada materi pokok bahasan Bangun Ruang Sisi Datar adalah Pengajaran Langsung (Direct Instruction) yaitu model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual yang dirancang untuk mengajarkan pengetahuan prosedural dan atau pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik dan dapat dipelajari tahap demi tahap.

C. Hipotesis Tindakan
Dengan memperhatikan kajian teori dan kerangka berfikir di atas, kaitannya dengan permasalahan yang ada maka hipotesis tindakan yang diajukan adalah penerapan model pengajaran langsung (Direct Instruction) dengan multi21 media akan dapat meningkatkan minat belajar dan hasil belajar matematika standar kompetensi Bangun Datar Sisi Datar pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 1 Gumukmas semester II tahun pelajaran 2008/2009.



BAB III
METODE PENELITIAN

A. Setting Penelitian
1. Tempat Penelitian
Tempat yang digunakan untuk penelitian tindakan kelas ini adalah SMP Negeri 1 Gumukmas Kabupaten Jember, Kelas VIII A Semester II Tahun Pelajaran 2008/2009.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2008 sampai dengan bulan Januari 2009 dan dilakukan secara bertahap:
a. Tahap persiapan mencakup pengajuan judul, pembuatan proposal, pembuatan instrumen, permohonan ijin di sekolah yang direncanakan sebagai tempat penelitian.
b. Tahap pelaksanaan, yaitu kegiatan-kegiatan yang berlangsung di sekolah yang meliputi uji coba instrumen, pelaksanaan tindakan, dan pengambilan data.
c. Tahap penyusunan, yaitu tahap pengolahan data dan penyusunan laporan.

B. Subyek Penelitian
Subyek penelitian tindakan kelas ini adalah siswa kelas VIII A SMP Negeri 1 Gumukmas sebanyak 42 siswa.

C. Faktor –faktor yang diteliti
Faktor–faktor yang diteliti kejadian-kejadian atau kegiatan-kegiatan yang muncul pada proses pembelajaran, faktor guru yaitu: kemampuan guru menjadi fasilitator pembelajaran di dalam kelas; dan faktor siswa yaitu: minat siswa selama mengikuti pembelajaran dan hasil belajar siswa berupa kemampuan menyelesaikan soal.

D. Prosedur Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) dengan pusat penekanan pada upaya penyempurnaan dan peningkatan kualitas proses serta praktek pembelajaran. Penelitian ini lebih memfokuskan pada penerapan model pembelajaran dengan menggunakan multimedia sebagai upaya untuk meningkatkan minat dan mengembangkan kemampuan siswa atau meningkatkan hasil belajar matematika pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 1 Gumukmas Kabupaten Jember dalam kegiatan yang berbentuk Randoms Siclus, sebanyak 2 (dua) siklus. Setiap siklus prosedur atau langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini dilaksanakan terdiri dari empat komponen kegiatan pokok, yaitu: (a) perencanaan (planning); (b) tindakan (acting); (c) pengamatan (observing); (d) refleksi (reflecting), yang pada pelaksanaannya keempat komponen kegiatan pokok itu berlangsung secara terus menerus dengan diselipkan modifikasi pada komponen perencanaan berupa perbaikan perencanaan . Siklus dalam penelitian tindakan kelas ini digambarkan sebagai sebuah spiral penelitian yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin dan dikembangkan oleh Kemmis & McTaggart, seperti ditunjukkan pada diagram berikut:


Adapun proses penelitian dijelaskan sebagai berikut :
1. Perencanaan tindakan (Planning)
a. Menetapkan jumlah siklus yaitu 2 siklus. Tiap siklus 2 kali tatap muka pembelajaran. Materi pokok yang akan dipelajari adalah Luas Permukaan dan Volume Bangun Ruang Sisi Datar.
b. Menentukan kelas yang akan dijadikan tempat dilakukannya penelitian tindakan yaitu kelas VIII A SMP Negeri 1 Gumukmas Kabupaten Jember pada semester II tahun pelajaran 2008/2009.
c. Menyusun rencana pembelajaran (lesson plan) .
d. Mempersiapkan instrumen penilaian.
e. Menyusun format observasi dengan melakukan analisis validitas instrumen.

2. Implementasi Tindakan (action)
Pada tahap ini dilaksanakan tindakan (action) melalui beberapa siklus.
Adapun siklus-siklus tersebut adalah sebagai berikut:
a. Siklus I:
1) Melaksanakan proses pembelajaran sebanyak 2 pertemuan yang masing masing 2 jam pelajaran @ 45 menit.
a) Pertemuan pertama membahas unsur-unsur bangun ruang sisi datar seperti: rusuk, bidang sisi, diagonal bidang sisi, diagonal ruang, dan bidang diagoanal; serta jaring-jaring kubus, balok, prisma dan limas.
Siswa ditunjukkan contoh benda-benda dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan kubus, balok, prisma, dan limas yaitu dengan menampilkan foto/gambar bangunan gedung, rumah, menara, tenda, piramid, balok kayu, dan lain-lain beserta penjelasanya melalui teks/tulisan dan narasi/cerita yang ditayangkan bersama-sama. Melalui ceramah dan tanya jawab, siswa dibimbing untuk melakukan idealisasi dan abstraksi fakta yang ada ke dalam bentuk kombinasi kubus, balok, prisma atau limas. Dengan animasi, siswa ditunjukkan unsur-unsur bangun ruang, siswa menentukan banyaknya masing-masing unsur dari kubus, balok , prisma dan limas.
Selanjutnya, siswa diberikan proses membuat jaring-jaring kubus, balok, prisma, dan limas yang dijelaskan melalui animasi/peragaan yang dibuat dalam program power point.
b) Pertemuan kedua membahas Luas Permukaan Bangun Ruang Sisi Datar.
Siswa ditunjukkan tampilan foto/gambar bangun-bangun ruang sisi datar beserta jaring-jaringnya. Dengan lembar kerja, siswa dibimbing menemukan rumus luas permukaan kubus, balok, prisma, dan limas; dengan cara mencari luas jaring-jaringnya dan atau dengan cara menentukan bentuk dan banyaknya bidang sisi bangun ruang tersebut, kemudian mencari luasnya.
2) Pada saat pembelajaran dilaksanakan observasi oleh observer sesuai dengan instrumen pengumpulan data yang telah ditetapkan.
3) Selesai pembelajaran pada pertemuan pertama dilakukan refleksi untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan dari apa yang telah dilakukan, kemudian menyusun perbaikan khususnya efektifitas penggunaan media sejalan dengan hasil refleksi untuk digunakan pada pertemuan kedua.
4) Melaksanakan tes kemampuan siswa sebagai evaluasi siklus I.
b. Siklus II:
1) Melaksanakan proses pembelajaran sebanyak 2 pertemuan yang masing-masing 2 jam pelajaran @ 45 menit.
a) Pertemuan pertama membahas: pengertian dan satuan volume, menentukan volume kubus dan balok.
Dengan memberikan tayangan fakta berupa suatu contoh benda yang diisi dengan benda lain, misalnya gelas atau bak mandi yang berisi air, tangki yang berisi bensin/minysk, bak truk berisisi pasir, dan sebagainya, guru menjelaskan pengertian dan satuan volume. Kemudian siswa dibimbing menemukan rumus volum kubus dan balok dari tayangan animasi kubus/balok besar yang diisi dengan kubus kecil-kecil atau kubus satuan (1cm3).
b) Pertemuan kedua membahas cara menentukan volume prisma dan limas, serta menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan Bangun Ruang Sisi Datar.
Siswa diberikan tayangan dalam bentuk animasi proses penurunan prisma dan limas yang berasal dari suatu kubus atau balok. Dengan mengamati proses tersebut diharapkan siswa dapat menemukan rumus volume prisma dan limas dari menurunkan rumus volume kubus dan balok.
Siswa diberi masalah-masalah sehari-hari yang berkaitan dengan bangun ruang sisi datar melalui teks, animasi dan tampilan foto/gambar.
2) Pada saat pembelajaran dilaksanakan observasi oleh observer sesuai dengan instrumen pengumpulan data yang telah ditetapkan.
3) Selesai pembelajaran pada pertemuan pertama dilakukan refleksi untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan dari apa yang telah dilakukan, kemudian menyusun perbaikan khususnya efektifitas penggunaan media sejalan dengan hasil refleksi untuk digunakan pada pertemuan kedua.
4) Melaksanakan tes kemampuan siswa yang kedua sebagai evaluasi siklus II.
c. Pemantauan (Observing)
Untuk mengetahui sejauh mana efektifitas tindakan kelas ini dilakukan, maka diperlukan instrumen-instrumen pengamatan dan evaluasi yang terinci sehingga dapat digunakan alat ukur keberhasilan (measure echievement). Data diperoleh melalui observasi, angket, dan tes. Cara pengamatan dilaksanakan oleh observer dan peneliti.
d. Refleksi (reflection)
Untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan tindakan kelas setiap siklus sebagai bahan acuan perbaikan pada tindakan kelas berikutnya, maka diperlukan analisis masalah yang terjadi terutama yang berkaitan dengan penerapan model pembelajaran, aktivitas belajar, tanggapan, dan rencana pembelajaran berikutnya. Pada tahap ini rumusan masalah yang digunakan sebagai pedoman keberhasilan, antara lain: Apakah proses belajar mengajar telah sesuai dengan rencana?, Bagaimana tingkat pencapaian hasil belajar? dan perubahan apa yang terjadi pada siswa dan guru?

E. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Data yang akan diambil selama penelitian diperoleh dengan cara melakukan dokumentasi, angket, observasi, dan tes. Untuk memperoleh data dan keterangan – keterangan yang dibutuhkan diperlukan :
1. Sumber data adalah siswa dan guru
2. Jenis data, jenis data yang didapat adalah kuantitatif dan kualitatif yang terdiri dari:
a. Data hasil belajar
b. Data hasil observasi pada pelaksanaan pembelajaran.
Cara Pengambilan data:
1. Data hasil belajar dengan memberikan tes pada siswa.
2. Data tentang proses pembelajaran pada saat dilaksanakan tindakan dengan menggunakan lembar angket minat siswa dalam mengikuti pembelajaran.
3. Data tentang kemampuan guru menjadi fasilitator pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi guru.
4. Untuk memperoleh data awal digunakan dokumentasi hasil belajar siswa sebelumnya.


F. Validasi Data
Peneliti menyusun tes untuk mengevaluasi hasil belajar siswa pada akhir siklus. Sebelum tes diberikan terlebih dahulu diujicobakan untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya pembeda dan taraf kesukaran dari tiap-tiap butir. Jika terdapat butir yang tidak valid maka dilakukan perbaikan-perbaikan pada butir soal tersebut. Tes yang sudah melewati tahap perbaikan dan valid, akan diberikan pada tes akhir siklus.
Ujicoba dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara memberikan tes kepada kelompok yang bukan merupakan sampel penelitian, melainkan pada kelompok lain , yaitu kelas VIII B dengan jumlah 40 anak. Setelah instrument diujicobakan, langkah selanjutnya ialah menganalisis hasil uji coba instrumen, meliputi:
1. Validitas
Sebuah tes dikatakan memiliki validitas jika hasilnya sesuai dengan kriterium, yaitu memiliki kesejajaran antara hasil tes dengan kriterium.
Teknik yang digunakan untuk mengetahui kesejajaran adalah teknik korelasi produt moment yang dikemukakan oleh Pearson. Rumus korelasi produt moment dengan angka kasar :


(Suharsimi Arikunto,2001:73)
Dengan,
rxy = Koefisien korelasi antara variabel x dan variabel y
X = skor tiap butir soal
Y = skor total yang benar dari tiap subyek
N = jumlah subyek
Interpretasi besarnya koefisien korelasi positif yaitu:
a. Antara 0,800 sampai dengan 1,00 = sangat tinggi
b. Antara 0,600 sampai dengan 0,800 = tinggi
c. Antara 0,400 sampai dengan 0,60 = cukup
d. Antara 0,200 sampai dengan 0,40 = rendah
e. Antara 0,000 sampai dengan 2,00 = sangat rendah
( Suharsimi Arikunto, 2001:75)

Penafsiran harga koefisien korelasi ada dua cara antara lain:
a. Dengan melihat harga r dan diintreprestasikan
b. Dengan berkonsultasi ke tabel harga kritik product moment sehingga dapat diketahui sifgnifikan tidaknya korelaksi. Jika harga r lebih kecil dari harga kritik dalam tabel, maka korelasi tersebut tidak signifikan. Begitu sebaliknya.
2. Reliabilitas
Reliabilitas berhubungan dengan tingkat kepercayaan. Suatu tes dikatakan memiliki kepercayaan yang tinggi jika tes dapat tersebut dapat memberikan hasil yang tetap. Jika hasilnya berubah-ubah maka dapat dikatakan tidak berarti. Sehingga pengertian reliabilitas tes berhubungan dengan masalah ketetapan hasil tes.
Rumus yang digunakan untuk mencari realibilitas soal tes bentuk uraian dalam rumus alpha, yaitu:



( Suharsimi Arikunto, 2001: 109 )
Rumus varian butir soal, yaitu:


Harga yang diperoleh dikonsultasikan dengan r tabel produt moment dengan taraf signifikan 5%. Jika harga r hitung > r tabel maka item soal yang diujikan bersifat valid ( Suharsimi Arikunto,2001:97)
3. Daya Pembeda
Menurut Whitney dan Sabers cara menghitung daya pembeda soal bentuk uraian dengan menentukan siswa yang termasuk kelompok atas (25%) dan kelompok bawah (25%), selanjutnya digunakan rumus:


Dengan :



4. Tingkat Kesukaran
Menurut Whitney dan Sabers cara menghitung tingkat kesukaran soal bentuk uraian dengan menentukan siswa yang termasuk kelompok atas (25%) dan kelompok bawah (25%), selanjutnya digunakan rumus:




Dengan,
P = tingkat kesukaran
 A = jumlah skor kelompok atas
 B = jumlah skor kelompok bawah
N = 25% peserta tes
Skormaks= skor maksimal setiap butir soal
Skormin= skor minimal setiap butir soal

Menurut Fernandes kategori tingkat kesukaran butir soal adalah sebagai berikut:
P 0,76 = mudah
0,25 P 0,75 = sedang
P 0,24 = sukar
( Noehi Nasution, 2002: 5.16 )
Untuk memperoleh hasil yang baik, sebagai proporsi antara tingkat kesukaran item dijabarkan dengan asumsi bahwa kelompok siswa ( testi) itu distribusinya secara normal sehingga proporsi tersebut dapat diatur sebagai berikut:
a. Item sukar 25%, item sedang 50%, item mudah 25% atau
b. Item sukar 20%, item sedang 60%, item mudah 20% atau
c. Item sukar 15%, item sedang 70%, item mudah 15%
Dapat dikatakan bahwa penyusunan suatu item dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kesulitan item, maka diharapkan hasil yang diperoleh siswa dapat menggambarkan prestasi yang sebenarnya.

G. Analisa Data
Teknik analisa data pada penelitian ini menggunakan teknik analisis data dalam PTK , yaitu:
1. Analisis kualitatif, digunakan untuk menggambarkan perubahan perilaku, kegiatan, sikap siswa dan guru dalam pembelajaran. Untuk mengetahui seberapa besar minat siswa dalam mengikuti proses belajar dan aktifitas guru dalam pembelajaran matematika, maka dilakukan analisa pada instrument lembar angket dan observasi dengan menggunakan skala perbedaan semantic (semantic differential).
2. Analisis Kuantitatif, digunakan untuk memberikan gambaran tentang kemajuan peningkatan yang terdiri dari segi daya serap atau rata-rata nilai ulangan harian dan ketuntasan belajar yang akan disajikan dalam bentuk deskriptif dan tabel.
Data yang diperoleh dari hasil belajar dapat ditentukan ketuntasan belajar individu, menggunakan analisis deskriptif prosentase dengan perhitungan sebagai berikut :


Batas ketuntasan belajar individu adalah 65% atau mempunyai nilai minimal 65. Dari perhitungan ini juga dapat daya serap atau rata-rata nilai ulangan harian.




Data yang diperoleh dari ketuntasan belajar individu dapat ditentukan ketuntasan belajar klasikal, menggunakan analisis deskriptif prosentase dengan perhitungan sebagai berikut:




H. Indikator Kinerja
Indikator kinerja sejalan dengan tujuan dari penelitian tindakan kelas ini adalah meningkatnya minat belajar dan hasil belajar siswa, dengan tetap mempertimbangkan faktor kemampuan guru sebagai fasilitator pembelajaran Untuk keperluan mengklasifikasikan kualitas guru dalam pembelajaran dengan Skala Perbedaaan Semantik, ditentukan kriteria pencapaian kinerja guru secara kualitatif menurut interval nilai sebagai berikut :
Baik sekali ≥ 90 ; 80 ≤ Baik < 90 ; 60 ≤ Cukup < 80 ; Kurang ≤ 60 .
Sedangkan indikator kinerja untuk tingkat keberhasilan siswa ditentukan sebagai berikut:
1. Khusus untuk keperluan klasifikasi meningkatnya kualitas minat belajar belajar, peneliti menentukan kriteria dengan prosentase kenaikan sebagai berikut :
Baik sekali ≥ 25 %; 15% < Baik < 25 %; 10 % ≤ Sedang < 15%; Kurang ≤ 10%.
Dengan tetap mempertimbangkan kualitas guru sebagai fasilitator pembelajaran minimal baik, diharapkan pencapaian kenaikan minat belajar siswa juga memenuhi kriteria minimal baik.
2. Adapun untuk keperluan klasifikasi meningkatnya kualitas hasil belajar berupa meningkatnya tingkat ketuntasan belajar dan rata-rata nilai ulangan harian, peneliti menentukan kriteria dengan prosentase kenaikan sebagai berikut:
Baik sekali ≥ 15 %; 10% < Baik < 15 %; 5 % ≤ Sedang < 10%; Kurang ≤ 5%.
Dengan tetap mempertimbangkan kualitas guru sebagai fasilitator pembelajaran minimal baik, diharapkan pencapaian kenaikan hasil belajar siswa juga memenuhi kriteria minimal baik.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Awal
Tempat yang digunakan untuk penelitian tindakan kelas ini adalah SMP Negeri 1 Gumukmas Kabupaten Jember. Jumlah kelas di sekolah ini cukup banyak, terdiri dari siswa kelas VII sebanyak 6 kelas, kelas VIII dan IX masing-masing 5 kelas, tetapi berasal dari penerimaan siswa baru (PSB) yang masih kurang selektif karena hampir semua pendaftar dinyatakan diterima.
Subyek penelitian ini adalah siswa dan guru kelas VIII A SMP Negeri 1 Gumukmas Kabupaten Jember. Jumlah siswa kelas VIII A adalah 42 orang, terdiri dari 14 orang laki-laki dan 28 orang perempuan. Latar belakang mereka antara lain : (i) berasal dari lingkungan masyarakat pedesaan yang kesadaran pendidikannya kurang sehingga budaya belajar di lingkungan itu juga rendah, (ii) terlahir dari keluarga yang ekonominya kurang mampu (sebagian besar orang tua mereka adalah petani dan nelayan, tidak sedikit di antara mereka hanya menggarap sawah milik orang lain), (iii) dukungan belajar dari orang tua juga rendah.
Dari latar belakang siswa yang demikian itu, pada beberapa tahun terakhir ini Sekolah mengambil kebijakan untuk melengkapi fasilitas pembelajaran seperti penambahan komputer/laptop, pembelian LCD proyektor, pemasangan internet dan lain-lain dengan tujuan untuk membantu kelancaran proses kegiatan belajar mengajar, meningkatan minat, aktifitas dan hasil belajar siswa.
Untuk memperoleh data awal (pra-tindakan penelitian) melalui angket dan dokumentasi, maka minat belajar dan hasil belajar siswa kelas VIIIA dapat dilaporkan sebagai berikut:

Tabel 2: Data Minat Siswa Terhadap Belajar dan Mengerjakan Soal
Matematika Kelas VIII A



B. Uji Instrumen
Dari uji coba instrumen tes hasil belajar diperoleh koefisien reliabilitas tes sebesar 0,601 dan termasuk dalam kriteria baik. Dari 11 item soal terdapat 9 butir yang valid sehingga bisa digunakan untuk mengambil data, yaitu 5 soal untuk evaluasi akhir siklus I dan 4 soal untuk evaluasi akhir siklus II. Hasil uji coba instrumen selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 5,6,7,8 dan 9.

C. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian tindakan ini dilaksanakan dalam dua siklus. Masing-masing siklus dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Siklus I
Pada bagian ini disampaikan deskripsi siklus I dari tahapan perencanaan, tindakan, pengamatan sampai refleksi. Siklus pertama direncanakan dua kali pertemuan. Materi yang dibahas pada siklus I adalah Unsur-unsur Bangun Ruang Sisi Datar dan Luas Permukaan Bangun Ruang Sisi Datar.
a. Perencanaan
Pada siklus pertama, tindakan yang direncanakan untuk mengatasi permasalahan adalah sebagai berikut:
1) Menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan multimedia untuk dua kali pertemuan. Adapun model pembelajaran yang digunakan adalah Direct Instruction. Rencana pelaksanaan pembelajaran yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 10.
2) Menyusun Lembar Kerja Siswa (LKS). Siswa mengerjakan LKS setelah penyampaian bahan ajar dengan multimedia dilakukan.
(Lampiran 10)
3) Menyusun Instrumen Penilaian yaitu kisi-kisi dan naskah soal evaluasi siklus I. Soal ini dipilih dari soal hasil ujicoba di kelas VIII B yang telah memenuhi kriteria valid, realibel, serta mempunyai daya pembeda dan tingkat kesukaran yang baik.(Lampiran 12 dan 13)
4) Menyusun lembar angket minat siswa dalam belajar matematika.
(Lampiran 18)
5) Menyusun lembar observasi untuk Penilaian Guru dalam pelaksanaan pembelajaran.
(Lampiran 19)
b. Pelaksanaan
Pelaksanaan tindakan kelas pada siklus I dilaksanakan pada hari Senin tanggal 5 Januari 2009 dan hari Selasa tanggal 6 Januari 2009.
Kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan mengacu Sintak Model Direct Instruction yang terdiri dari beberapa fase.
Pada fase pertama, Guru menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa. Yaitu dengan cara menjelaskan tujuan, mengingatkan kembali materi prasyarat, dan mengkondisikankan siswa agar siap mengikuti pembelajaran.
Pada fase kedua, Guru mendemonstrasikan ketrampilan atau menyajikan informasi tahap demi tahap.
Fase kedua pertemuan pertama, melalui model/kerangka/ sebuah jaring-jaring kubus dan balok, dibahas pengertian dan unsur-unsur (bagian-bagian) bangun ruang sisi datar. Selanjutnya melalui multimedia siswa ditunjukkan contoh benda-benda dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan kubus, balok, prisma, dan limas yaitu dengan menampilkan foto/gambar bangunan gedung, rumah, menara, tenda, piramid, balok kayu, dan lain-lain selanjutnya dilakukan idealisai menjadi gambar kubus, balok, prisma, dan limas beserta penjelasan unsurunsurnya melalui teks/tulisan dan animasi. Hal ini bertujuan meningkatkan minat siswa dalam pembelajaran dan sebagai bekal siswa untuk membangun kemampuan mengkonstruksi dan menemukan pengetahuan.
Fase kedua pertemuan kedua, melalui model/kerangka/ sebuah jaring-jaring kubus dan balok, dibahas pengertian Luas Permukaan bangun ruang sisi datar. Selanjutnya melalui multimedia siswa ditunjukkan tampilan foto/gambar bangun-bangun ruang sisi datar beserta jaring-jaringnya. Dengan lembar kerja, siswa dibimbing menemukan rumus luas permukaan kubus, balok, prisma, dan limas; dengan cara mencari luas jaring-jaringnya dan atau dengan cara menentukan bentuk dan banyaknya bidang sisi bangun ruang tersebut, kemudian mencari luasnya.
Pada fase ketiga, Guru memberikan latihan terbimbing. Yaitu dengan cara siswa mengerjakan lembar kerja yang bersifat individu dan kelompok dan soal latihan pada buku paket.
Pada fase keempat, Guru mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik. Yaitu dengan cara siswa memaparkan tugas kelompoknya, beberapa siswa mengerjakan tugas/pekerjaan rumah di depan kelas.
Pada fase kelima, Guru mempersiapkan latihan untuk siswa dengan menerapkan konsep yang dipelajari pada kehidupan sehari-hari yaitu berupa masalah-masalah yang berkaitan dengan kerangka dan luas permukaan bangun ruang sisi datar.
c. Pengamatan
1) Pengamatan terhadap guru.
a) Pada kegiatan pendahuluan guru sudah melakukan apersepsi dengan baik, tetapi waktu saat mulai mengajar terlambat.
b) Suara, penggunaan metode mengajar, dorongan agar siswa aktif, pengelolaan kelas, penguasaan dan penyajian bahan pelajaran, suasana pembelajaran sudah baik, tetapi penggunaan waktu kurang efisien akibatnya akhir siklus I harus menambah satu kali pertemuan lagi untuk pembahasan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan perhitungan kerangka dan luas permukaan bangun ruang sisi datar.
c) Pengajaran sudah berorientasi pada sasaran, pengecekan pemahan siswa sudah dilakukan, menanggapi pertanyaan siswa sudah baik, pertanyaan dan tehnik bertanya bervariasi, tetapi distribusi pertanyaan tidak merata.
Pengamatan terhadap guru dalam pembelajaran pada siklus I selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 22.
2) Pengamatan terhadap siswa.
a) Secara umum perhatian siswa terhadap penyajian materi dengan multimedia cukup baik, beberapa siswa diam saja sambil menyaksikan, ada juga yang berkomentar, tetapi kebanyakan siswa selalu ingin mencatat semua materi yang ditayangkan.
b) Beberapa siswa masih kesulitan dalam menggambar bangun ruang sisi datar.
c) Siswa memerlukan bimbingan dan penjelasan guru dalam menyelesaikan lembar kerja siswa (LKS) yang diberikan.
d) Pengamatan terhadap minat siswa dalam belajar dan mengerjakan soal matematika pada siklus I dapat dilihat pada lampiran 21.
e) Pengamatan terhadap kemampuan siswa mengerjakan soal dapat dilihat pada hasil evaluasi akhir siklus I. (Lampiran 24)
d. Refleksi
Setelah melaksanakan pengamatan atas tindakan di kelas, selanjutnya diadakan refleksi terhadap kegiatan yang dilaksanakan. Hasil refleksi siklus I sebagai berikut:
1) Sebelum masuk jam pelajaran sebaiknya guru telah mempersiapkan media yang digunakan agar pembelajaran dapat dimulai/ diakhiri tepat waktu sehingga waktu yang digunakan lebih efisien.
2) Seharusnya guru mengecek pemahaman siswa, dengan distribusi pertanyaan yang merata.
3) Guru perlu menyampaikan bahwa pada waktu pembahasan materi pelajaran siswa tidak perlu mencatat dahulu materi yang ditayangkan. Karena dapat dilakukan pada saat membuat rangkuman (kegiatan penutup).
4) Guru perlu menegaskan kembali konsep-konsep tertentu dengan pembahasan melalui papan tulis, misalnya bagaimana cara menggambar bangun ruang sisi datar.

2. Siklus II
Pada bagian ini akan disampaikan deskripsi siklus II dari tahapan perencanaan, tindakan, pengamatan sampai refleksi. Siklus kedua direncanakan dua kali pertemuan. Materi yang dibahas adalah Volum Bangun Ruang Sisi Datar.
a. Perencanaan
Dengan mempertimbangkan pengamatan dan hasil refleksi pada siklus I maka tindakan pada siklus kedua ini akan diadakan perbaikan, selanjutnya kembali dilakukan rencana tindakan sebagai berikut:
1) Menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan multimedia untuk dua kali pertemuan. Adapun model pembelajaran yang digunakan adalah Direct Instruction. Rencana pelaksanaan pembelajaran yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 11.
2) Menyusun Lembar Kerja Siswa (LKS). Siswa mengerjakan LKS setelah penyampaian bahan ajar dengan multimedia. (Lampiran 11)
3) Menyusun Instrumen Penilaian yaitu kisi-kisi dan naskah soal evaluasi siklus II. Soal ini dipilih dari soal hasil ujicoba di kelas VIIIB yang telah memenuhi kriteria valid, realibel, serta mempunyai daya pembeda dan tingkat kesukaran yang baik. (Lampiran 14 dan 15)
4) Menyusun lembar angket minat siswa dalam belajar matematika. (Lampiran 18)
5) Menyusun lembar observasi untuk Penilaian Guru dalam pelaksanaan pembelajaran. (Lampiran 19)
b. Pelaksanaan
Pelaksanaan tindakan kelas pada siklus II dilaksanakan pada hari Senin tanggal 19 Januari 2009 dan hari Selasa tanggal 20 Januari 2009. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan mengacu Sintak Model Direct Instruction yang terdiri dari beberapa fase.
Pada fase pertama, Guru menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa. Yaitu dengan cara menjelaskan tujuan; mengingatkan kembali materi prasyarat seperti satuan volume, menentukan luas dan keliling segitiga, persegi, persegi panjang, jajargenjang, belah ketupat, layang-layang, dan trapesium; dan mengkondisikan siswa agar siap mengikuti pembelajaran.
Pada fase kedua, Guru mendemonstrasikan ketrampilan atau menyajikan informasi tahap demi tahap.
Fase kedua pertemuan pertama, melalui multimedia diberikan tayangan fakta berupa suatu contoh benda yang diisi dengan benda lain, misalnya gelas atau bak mandi yang berisi air, tangki yang berisi bensin/minyak, bak truk berisisi pasir, dan sebagainya, guru menjelaskan pengertian dan satuan volume. Dengan ceramah, tanya jawab dan lembar kerja siswa menemukan rumus volum kubus dan balok setelah mengamati tayangan animasi kubus/balok besar yang diisi dengan kubus kecil-kecil atau kubus satuan.
Fase kedua pertemuan kedua, Siswa diberikan tayangan dalam bentuk animasi proses penurunan prisma dan limas yang berasal dari suatu kubus atau balok. Dengan ceramah, tanya jawab, lembar kerja dan mengamati proses tersebut siswa menemukan rumus volume prisma dan limas dari menurunkan rumus volume kubus dan balok.
Pada fase ketiga, Guru memberikan latihan terbimbing. Yaitu dengan cara siswa mengerjakan lembar kerja yang bersifat individu dan kelompok dan soal latihan pada buku paket.
Pada fase keempat, Guru mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik. Yaitu dengan cara siswa memaparkan tugas kelompok, dan beberapa siswa mengerjakan tugas/pekerjaan rumah di depan kelas.
Pada fase kelima, Guru mempersiapkan latihan untuk siswa dengan menerapkan konsep yang dipelajari pada kehidupan sehari-hari yaitu berupa masalah-masalah yang berkaitan dengan volume bangun ruang sisi datar.
c. Pengamatan
1) Pengamatan terhadap guru.
a) Pada kegiatan pendahuluan guru sudah melakukan apersepsi dengan baik, waktu saat mulai mengajar tepat.
b) Suara, penggunaan metode mengajar, dorongan agar siswa aktif, pengelolaan kelas, penguasaan dan penyajian bahan pelajaran, suasana pembelajaran sudah baik, dan penggunaan waktu sudah efisien .
c) Pengajaran sudah berorientasi pada sasaran, pengecekan pemahaman siswa sudah dilakukan, menanggapi pertanyaan siswa sudah baik, tetapi pertanyaan dan tehnik bertanya kurang bervariasi dan distribusi pertanyaan masih kurang merata.
Pengamatan terhadap guru dalam pembelajaran pada siklus II selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 23.
2) Pengamatan terhadap siswa.
a) Perhatian siswa terhadap penyajian materi dengan multimedia sudah lebih baik, siswa tidak lagi mencatat semua materi yang ditayangkan, tetapi lebih pada cara mengikuti alur tayangan.
b) Sebagian besar siswa sudah dapat menyelesaikan lembar kerja siswa (LKS) yang diberikan.
c) Sebagian siswa meminta guru untuk menjelaskan kembali konsep yang sulit dipahami melalui pembahasan di papan tulis.
d) Pengamatan terhadap minat siswa dalam belajar dan mengerjakan soal matematika pada siklus II dapat dilihat pada lampiran 22.
e) Pengamatan terhadap kemampuan siswa mengerjakan soal dapat dilihat pada hasil evaluasi akhir siklus II. (Lampiran 25)
d. Refleksi
1) Dengan mempersiapkan media yang digunakan sebelum masuk jam pelajaran pembelajaran dapat dimulai/ diakhiri tepat waktu.
2) Waktu yang digunakan lebih efisien.
3) Seharusnya guru mengecek pemahaman siswa, dengan distribusi pertanyaan yang merata, yaitu lebih banyak memberikan pertanyaan yang bersifat individual dengan menggunakan teknik yang bervariasi.
4) Walaupun telah menggunakan multimedia, guru tidak boleh sama sekali meninggalkan pembelajaran dengan menggunakan model/benda-benda nyata yang bisa dipegang dan diraba, serta penjelasanpenjelasan tertentu yang menggunakan papan tulis, penggaris, kapur berwarna dan alat bantu lain yang dibutuhkan.
D. Hasil Penelitian
Adapun hasil penelitian tindakan dari tiap-tiap siklus dapat disampaikan sebagai berikut:
1. Siklus I
Data hasil penelitian pada siklus I dapat dilihat pada grafik dibawah ini :
Grafik 1: Hasil Pengukuran Kemampuan Guru dalam Pembelajaran, Minat Siswa, Rerata Nilai Evaluasi Akhir Siklus , dan Ketuntasan Belajar Pada Siklus I


Hasil pengukuran kemampuan guru pada siklus I mendapat nilai 73,33 atau memperoleh skor 11 dari 15 skor/jenis kegiatan yang harus dilakukan guru sebagai fasilitator pembelajaran.(Lihat lampiran 23)
Hasil angket minat siswa dalam belajar dan mengerjakan soal matematika menunjukkan bahwa dari 42 siswa yang menyatakan menarik dan tidak membosankan sebanyak 24 orang atau 57,14%, menyatakan senang dan tidak terpaksa 21 orang atau 50,00%, menantang 17 orang atau 40,48%, bermanfaat dan menguntungkan 35 orang atau 83,33%, dan 15 orang atau 35,71% menyatakan mudah dan tidak berat. Sehingga diperoleh prosentase minat siswa sebesar 53,33%.(Lihat lampiran 21)
Dari hasil siswa mengerjakan soal tes/evaluasi pada akhir siklus I diperoleh nilai rata-rata kelas sebesar 60,95. Banyaknya siswa yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 65 sebanyak 17 orang dari 42 orang siswa. Sehingga pencapaian prosentase ketuntasan belajar siswa adalah sebesar 40,48 %.(Lihat lampiran 25)
2. Siklus II
Data hasil penelitian pada siklus II dapat dilihat pada grafik dibawah ini:
Grafik 2 : Hasil Pengukuran Kemampuan Guru dalam Pembelajaran, Minat Siswa, Rerata Nilai Evaluasi Akhir Siklus , dan Ketuntasan Belajar Pada Siklus II.


Hasil pengukuran kemampuan guru pada siklus II mendapat nilai 86,67 atau
memperoleh skor 13 dari 15 skor/jenis kegiatan yang harus dilakukan guru sebagai fasilitator pembelajaran.(Lihat lampiran 24)
Hasil angket minat siswa belajar dan mengerjakan soal matematika menunjukkan bahwa dari 42 siswa yang menyatakan menarik dan tidak membosankan sebanyak 32 orang atau 79,19%, menyatakan senang dan tidak terpaksa 30 orang atau 71,43%, menantang 22 orang atau 52,38%, bermanfaat dan menguntungkan 38 orang atau 90,48%, dan 17 orang atau 40,48% menyatakan mudah dan tidak berat. Sehingga prosentase minat siswa pada siklus II sebesar 66,19%.(Lihat lampiran 22)
Dari hasil siswa mengerjakan soal tes/evaluasi pada akhir siklus II diperoleh nilai rata-rata kelas sebesar 68,69. Banyaknya siswa yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 65 sebanyak 25 orang dari 42 orang siswa. Sehingga pencapaian prosentase ketuntasan belajar siswa adalah sebesar 59,52 %. (Lihat lampiran 26)

E. Pembahasan Hasil Penelitian
Hasil pengukuran kinerja sebelum dan setelah dilakukannya tindakan dapat dilihat pada grafik berikut ini:
Grafik 3: Hasil Pengukuran Kemampuan Guru dalam Pembelajaran, Minat Siswa, Evaluasi Akhir Siklus , dan Ketuntasan Belajar


Untuk lebih jelasnya akan disampaikan hasil penelitian selama menerapkan Model Pengajaran Langsung (Direct Instruction) dengan multimedia kaitannya dengan upaya meningkatkan minat dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika, ditinjau dari tiap-tiap faktor yang diteliti.
1. Kemampuan Guru menjadi Fasilitator Pembelajaran
Dari observasi yang dilakukan untuk menilai kemampuan guru selama menjadi fasilitator pembelajaran di dalam kelas, diperoleh hasil sebagai berikut:


Berdasarkan hasil diatas, terjadi peningkatan kinerja guru dari siklus I ke siklus II. Dan sesuai dengan indikator keberhasilan kinerja guru yang telah ditetapkan pada awal penelitian tindakan ini, maka secara keseluruhan kinerja guru telah memenuhi kriteria baik.
2. Minat Siswa terhadap Belajar dan Mengerjakan Soal Matematika Dari angket minat siswa dalam belajar dan mengerjakan soal matematika diperoleh hasil sebagai berikut:
Grafik 4: Peningkatan Minat Siswa terhadap Belajar Matematika


Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa kenaikan prosentase minat belajar siswa dari Pra-siklus ke Siklus I adalah 9,04 atau mempunyai prosentase kenaikan sebesar 20,41%. Sedangkan kenaikan prosentase minat belajar dari Siklus I ke Siklus II adalah 12,86 atau mempunyai prosentase kenaikan sebesar 24,11%.
Dan sesuai dengan indikator keberhasilan yang telah ditetapkan, maka peningkatan minat siswa memenuhi kriteria baik. Sehingga penelitian tindakan ini dikatakan berhasil meningkatkan minat siswa.
3. Hasil Belajar Siswa yang Berupa Ketuntasan Belajar dan Rata-rata Nilai Ulangan Harian.
Dari analisis evaluasi siklus I dan II diperoleh hasil ketuntasan belajar siswa dan rata-rata nilai evaluasi (ulangan harian) sebagai berikut:
Grafik 5 : Peningkatan Ketuntasan Belajar Siswa dan Rata-rata Nilai Ulangan Harian


Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa kenaikan prosentase ketuntasan belajar siswa dari Pra-siklus ke Siklus I adalah 4,77 atau mempunyai prosentase kenaikan sebesar 13,35%. Sedangkan kenaikan prosentase ketuntasan belajar dari Siklus I ke Siklus II adalah 19,44 atau mempunyai prosentase kenaikan sebesar 48,50%.
Dan sesuai dengan indikator keberhasilan yang telah ditetapkan, maka peningkatan ketuntasan belajar siswa memenuhi kriteria baik sekali.
Sedangkan dari rata-rata nilai ulangan harian (evaluasi akhir siklus) diketahui bahwa kenaikan nilai rata-rata dari Pra-siklus ke Siklus I adalah 5,55 atau mempunyai prosentase kenaikan sebesar 10,02%.
Sedangkan kenaikan nilai rata-rata dari Siklus I ke Siklus II adalah 7,74 atau mempunyai prosentase kenaikan sebesar 12,70%. Dan sesuai dengan indikator keberhasilan yang telah ditetapkan, maka peningkatan rata-rata nilai ulangan harian memenuhi kriteria baik. Sehingga penelitian tindakan ini dikatakan berhasil meningkatkan hasil belajar siswa yang berupa peningkatan ketuntasan dan rata-rata nilai ulangan harian. Beberapa penelitian yang mendukung dan relevan dengan hasil penelitian tindakan di atas antara lain Mayer dan Anderson, Mousavi dan Sweller.
Mayer dan Anderson (1992) meneliti tentang instruksi animasi dalam pengajaran yang dapat membantu siswa membangun hubungan antara kata dengan gambar dalam pembelajaran multimedia, dimana hasilnya menunjukkan bahwa siswa yang mendapatkan penjelasan narasi bersamaan animasi mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada siswa yang diberikan narasi atau aminasi saja.
Mousavi dan Sweller (1995) meneliti tentang pengurangan muatan kognitif dengan membaurkan model presentasi audio dan visual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber-sumber informasi yang beragam menghasilkan muatan kognitif yang besar, kapasitas kognitif yang efektif bisa ditingkatkan bila digunakan audio dan visual.


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 1 Gumukmas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pembelajaran dengan multimedia membantu dan meringankan tugas guru dalam kegiatan pembelajaran. Multimedia sangat membantu guru dalam menyampaikan informasi sehingga menjadikan guru tidak cepat lelah.
2. Pembelajaran dengan multimedia dapat meningkatan motivasi dan minat siswa pada mata pelajaran matematika. Hal ini terlihat pada besarnya kenaikan prosentase minat siswa setelah penelitian tindakan dilakukan.
3. Penerapan model pengajaran langsung (Direct Instruction) dengan multimedia dapat meningkatan hasil belajar matematika, khususnya meningkatnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal materi Bangun Ruang Sisi Datar. Hal ini terlihat pada besarnya kenaikan prosentase ketuntasan belajar klasikal dan nilai rata-rata yang dicapai siswa setelah tindakan dilakukan.
B. Implikasi
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang telah disampaikan dimuka dapat dikemukakan beberapa implikasi sebagai berikut:
1. Dengan diperolehnya kesimpulan dalam penelitian ini, maka mendukung teori yang ada. Pembentukan stimulus melalui pembelajaran yang dapat menarik perhatian dan penggunaan sebagian besar panca indera meng-akibatkan tejadinya perubahan tingkah laku dan merangsang proses berfikir siswa , sehingga belajar berlangsung optimal.
2. Penggunaan multimedia merangsang kreatifitas guru dalam mempersiapkan dan melaksanakan proses pembelajaran, khususnya pemanfaatan Tekhnologi Informasi dan Komunikasi.
C. Saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi diatas, maka ada beberapa hal yang peneliti sarankan, yaitu:
1. Untuk meningkatkan motivasi, minat, aktifitas dan hasil belajar siswa, guru perlu mencoba model pembelajaran dengan multimedia pada materi atau pokok bahasan yang lain.
2. Penggunaan model dan media pembelajaran yang tidak sesuai dengan karakteristik materi pelajaran dapat menjadikan pembelajaran tidak efektif, maka sebaiknya guru memilih model dan media yang tepat.
3. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, sekolah sebaiknya mempunyai media pembelajaran yang memadai.

DAFTAR PUSTAKA

Arief S Sadiman, dkk. 2006. Media Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Bloom, Benyamin. Et al. 1981. Taxonomi of Educational The Classification of Educational Goals: Hand Book I, Cognitive Domayn. New York: Longman.
DePorter, Bobbi.1999. Quantum Learning. Bandung : Kaifa
Dikdasmen. 2005. Materi Pelatihan Terintegrasi: Matematika ,buku 2. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
-------------. 2005. Materi Pelatihan Terintegrasi: Matematika ,buku 3. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
http://journal.unair.ac.id/filterPDF/ Prinsip-Prinsip Kognitif Pembelajaran Multi-media: Peran Modality dan Contiguity terhadap Peningkatan Hasil Belajar.pdf
Ismail, dkk. 2007. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka
J.S.Badudu. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Meier, Dave. 2000. The Accelerated Learning Hand Book. Bandung: Kaifa
Mulyanto. 2007. Dasar-dasar Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif. Semarang: LPMP Jawa Tengah
Noehi Nasution, Adi Suryanto. 2002. Evaluasi Pengajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.
Ratna Wilis Dahar. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga
Samsul Hadi. 2007. Aplikasi Matematika 2 SMP. Jakarta: Yudhistira.
Suharsimi Arikunto. 2001. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.