Jumat, 23 Oktober 2009

CERITA

LEGENDA NINI MITA
Tidak begitu jelas pada tahun berapa terjadinya, tetapi menurut bebebrapa orang yang sudah lanjut usianya, di Surakarta pernah terjadi pageblug (wabah sampar yang mengerikan). Wabah itu melanda Surakarta ketika Paku Buwono V bertahta (1820-1823). Pageblug ini sangat menyedihkan sebab sebelumnya Surakarta dikenal sebagai wilayah yang subur dan makmur.
Setelah berbagai usaha dijalankan untuk mengatasi wabah sampar itu gagal, Sunan Paku Buwaono V segera mencari jalan sendiri. Sebagai seorang raja yang bijak, beliau tidak segan-segan memeriksa diri sendiri, memohon ampun dan petunjuk kepada Sang Maha Pencipta. Tatkala beliau sedang tafakur, terdengar suara mengatakan bahwa Surakarta akan kembali aman dan makmur, serta rakyat sehat dan sejahtera jika dapat ditemukan seorang lelaki pancal panggung (orang yang pergelangan kedua tangan dan kakinya bergaris putih melingkar menyerupai gelang). Lelaki itu harus dibunuh, keempat anggota badannya ditanam di empat penjuru angin, batas wilayah Surakarta.
Mendengar suara tanpa wujud itu, Sunan Paku Buwono V tertegun. Hati beliaupun gelisah. Bagaimana mungkin seorang manusia akan dibunuh sebagai korban? Biasanya, wangsit (suara aneh) seperti itu, mempunyai makna tersembunyi di balik arti kata-katanya. Oleh karena itu, raja ingin mencari tahu apa gerangan maksud wangsit itu. Sebagai raja bijaksana, beliau tidak ingin mengumumkan apa yang telah didengarnya karena berita itu dapat menimbulkan ketakutan di kalangan rakyat. Oleh karena itu, cara lain harus ditempuh. Dalam hal ini, tidak ada jalan lain kecuali raja sendiri yang harus mencari tahu apa gerangan makna suara itu. Raja pun menyamar sebagai orang biasa yang setiap pagi hingga malam menelusuri kampung-kampung, mendengarkan omongan rakyat jelata.
Perjalanan pun semakin jauh dan akhirnya sampailah di wilayah Gunung Kidul. Pada waktu itu, hari sudah larut malam. Dapat dibayangkan, betapa gelapnya jalan-jalan di desa yang masih penuh pohon besar, tinggi, dan menakutkan. Tidak mengherankan, ketika raja melihat cahaya pelita tampak dari jauh, segera didekatinya. Ternyata cahaya itu memancar dari dalam rumah berdinding bambu yang dihuni seorang tokoh desa itu, namanya Ki Demang Keduwang. Begitu tiba di depan pintu, sang penyamar mengetuk. Cukup lama ia berdiri, baru kemudian dari dalam seseorang membukakan pintu. Itulah dia Ki Demang Keduwang. Begitu melihat ada laki-laki dengan pakaian kumal berdiri di depan pintu, Ki Demang langsung mengucapkan kata-kata menyakitkan dan penuh kecurigaan. Dengan sedih, sang penyamar pun meninggalkan rumah Ki Demang. Akan tetapi, raja mulai sadar, ternyata ada juga rakyatnya yang mudah bersikap curiga kepada sesamanya tanpa alasan.
Sambil terhuyung-huyung, tibalah sang penyamar di sebuah rumah lain, tidak jauh dari rumah Ki Demang. Mula-mula ragu-ragu, tetapi karena didorong oleh rasa penat, lelah, dan lapar, sang penyamar memberanikan diri mengetuk pintu rumah itu. Dengan segera, pintu dibuka leber-lebar, dan dari dalam muncul seorang wanita tua yang menyilakan masuk. Tanpa diminta, begitu melihat seorang tamu yang tampak lelah, wanita itu segera menyajikan teh hangat yang sebenarnya sudah disiapkan untuk diminum sendiri. Tidak hanya itu, ia juga menawarkan sepiring nasi dengan lauk pauk sederhana, yang sebenarnya akan dimakan sendiri.
Melihat tindakan itu, Sunan Paku Buwaono V tersentuh hatinya. Hampir-hampir raja menangis karena terharu. Alangkah mulia jiwa wanita miskin itu. Keikhlasan wanita tua miskin itu membuka hati sang raja bahwa mutiara-mutiara sejati tidak berada di tempat-tempat yang mewah dan megah.
Setelah selesai makan, wanita tua itu menawarkan tempat tidurnya yang amat sederhana. Karena penat yang berat, sang penyamar pun menerimanya. Begitu tubuhnya rebah, sang penyamar pun tertidur. Menjelang subuh, barulah sang penyamar terbangun.
Tatkala makan pagi, sang penyamar menanyakan segala sesuatu kepada wanita itu. Wanita itu menjelaskan bahwa dia bernama Nini Mita. Adapun lelaki yang mengusirnya semalam adalah Ki Demang Keduwang. Ketika raja menanyakan lebih jauh apa dan siapa Ki Demang itu, Nini Mita menjelaskan bahwa lelaki itu juga dikenal dengan nama Ki Demang Pancal Panggung. Raja sangat terkejut, tetapi masih dapat menguasai diri. Nini Mita juga bercerita bahwa Ki Demang Pancal Panggung adalah penjual beras yang sangat kikir dan serakah. Setelah itu, Nini Mita tidak lupa menceritakan bahwa desa itu juga dilanda wabah sampar. Panen juga sudah cukup lama kurang berhasil. Pohon-pohon makin berkurang buahnya dan ternak-ternak tidak berkembang biak.
Ketika tiba kembali di Keraton Surakarta, Sunan Paku Buwono V segera memanggil punggawa untuk menengok keadaan Nini Mita, apakah kehidupannya sudah berubah. Sebab, raja meninggalkan uang sebanyak 200 dinar, nilai sekarang kurang lebih 10 juta rupiah, di bawah tikar tempat tidur sederhana itu sebelum ia pergi.
Lima hari kemudian, sesudah melaksanakan perintah raja, punggawa tiba kembali di keraton. Ia melaporkan kepada raja bahwa keadaan Nini Mita sama saja. Ia juga mengatakan bahwa benar Nini Mita menemukan uang 200 dinar di bawah tikar. Akan tetapi, karena Nini Mita merasa tidak memiliki uang itu, ia melaporkan penemuan uang itu kepada Ki Demang Pancal Panggung. Ternyata Ki Demang mengaku bahwa uang itu miliknya yang tertinggal ketika beberapa hari yang lalu menagih utang kepada Nini Mita.
Sunan Paku Buwono V hampir murka mendengar laporan punggawa. Hanya karena kebijaksanaannya, raja mampu menahan amarah. Pada malam harinya, raja kembali tidak dapat tidur. Dalam benaknya muncul gagasan bahwa memang benar si Pancal Panggung harus dihukum mati sesuai dengan wangsit itu. Tatkala subuh tiba dan dari jauh terdengar panggilan bersujud, Sunan Paku Buwono seakan-akan mendengar suara lagi. Menurut suara itu, Ki Demang Pancal Panggung tidak perlu dihukum mati untuk mengembalikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Surakarta. Akan tetapi, yang harus dibuang jauh-jauh adalah sifat tamak, dengki, kikir, dan merendahkan sesama manusia. Artinya, jika penduduk dan rakyat Surakarta sedang dilanda wabah, yang harus dilakukan adalah saling menolong. Orang kaya menolong orang miskin; yang miskin menunjukkan terima kasih karena ditolong. Orang sehat membantu orang sakit; yang sedang sakit menerima bantuan dengan ikhlas dan penuh syukur atas rahmat yang diberikan Tuhan melalui uluran kasih dari yang sehat.
Raja Paku Buwono V segera mengumumkan perintah itu. Secara perlahan-lahan, wabah penyakit berkurang dan akhirnya lenyap. Pohon-pohon di wilayah Gunung Kidul kembali berbuah, ternak-ternak berkembang biak, dan padi pun tumbuh lebat menguning di sawah.
Beberapa saat kemudian, terdengar berita bahwa Ki Demang Pancal Panggung meninggal karena tertindih berkarung-karung beras yang disimpannya.

2 komentar: