Senin, 09 November 2009

LANDASAN PSIKOLOGI
Oleh: Retniparadesa

Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani. Dalam perkembangan jiwa dan jasmani inilah seyogianya anak-anak belajar, sebab pada masa ini mereka peka untuk belajar.
A. Psikologi Perkembangan
Ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan : (Nana Syaodih, 1988)
1. Pendekatan pentahapan.
Perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan tertentu, yang setiap tahap memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda.
2. Pendekatan diferensial.
Pendekatan ini memandang individu-individu itu memiliki kesamaan kesamaan dan perbedaan-perbedaan. Atas dasar ini lalu orang-orang membuat kelompok-kelompok.
3. Pendekatan ipsatif.
Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu. Pendekatan pentahapan ada dua macam yaitu bersifat menyeluruh dan bersifat khusus. Yang menyeluruh akan mencakup segala aspek perkembangan sebagai faktor yang diperhitungkan dalam menyusun tahap-tahap perkembangan. Sedangkan yang bersifat khusus hanya mempertimbangkan faktor tertentu saja sebagai dasar menyusun perkembangan anak.
Menurut Crijns (tt.) periode atau tahap perkembangan manusia secara umum adalah sebagai berikut :
1. Umur 0 – 2 tahun disebut masa bayi, yang sebagian besar hidupnya tidur, memandang, mendengarkan, kemudian belajar merangkak, dan berbicara.
2. Umur 2 – 4 tahun disebut masa kanak-kanak. Pada masa ini, pengamatan mulai bisa melihat struktur, permainan bersifat fantasi, mengalami masa egosentris.
3. Umur 5 – 8 tahun disebut masa dongeng. Pada masa ini, mulai sadar akan dirinya sebagai seseorang yang mempunyai kedudukan tersendiri, mulai bisa bermain bersama dan melakukan tindakan-tindakan yang konstruktif, kesadaran akan lingkungan mulai muncul namun objektivitas ini masih dipengaruhi oleh subjektivitasnya.
4. Umur 9 – 13 tahun disebut masa Robinson Crusoe. Dalam masa ini mulai berkembang pemikiran kritis, nafsu persaingan, minat-minat, dan bakat, Ingin mengetahui segala sesuatu secara mendalam, suka bertanya, dan menyelidiki, hidup berkelompok-kelompok, dan memainkan peranan-peranan nyata seperti di masyarakat.
5. Umur 13 tahun disebut masa pubertas pendahuluan. Pada masa ini mulai tertuju ke dalam dirinya sendiri, mulai belajar bersolek, suka menyendiri, melamun, dan segan olah raga, gelisah, cepat tersinggung, suka marah-marah, keras kepala, acuh tak acuh, dan senang bermusuhan. Terhadap jenis kelamin lain, ingin sama-sama tahu, tetapi masih canggung.
6. Umur 14 – 18 tahun disebut masa puber. Pada masa ini mulai sadar akan pribadinya sebagai seorang yang bertanggung jawab, mulai tahu bahwa setiap orang punya arah dan jalan hidup sendiri-sendiri, mulai mengoreksi diri sendiri. Ini merupakan periode pembentukan cita.
7. Umur 19 – 21 tahun disebut masa adolesen. Pada masa ini mulai menemui keseimbangan, punya rencana hidup tertentu dengan nilai-nilai yang sudah dipastikannya. Namum belum berpengalaman, maka timbullah sikap radikal.
8. Umur 21 tahu keatas disebut masa dewasa. Pada masa ini mulai insaf bahwa pekerjaan manusia tidak mudah dan selalu ada cacatnya, dan mulai berhati-hati.
Periode perkembangan tersebut di atas adalah merupakan periode secara umum. Artinya ada saja perkembangan anak atau remaja yang menyimpang dari perkembangan umum itu.
Psikologi perkembangan menurut Rouseau, yaitu :
1. Masa bayi dari 0 – 2 tahun yang sebagian besar merupakan perkembangan fisik.
2. Masa anak dari 2 – 12 tahun yang dinyatakan perkembangannya baru seperti hidup manusia primitif.
3. Masa pubertas dari 12 – 15 tahun, ditandai dengan perkembangan pikiran dan kemauan untuk berpetualang.
4. Masa adolesen dari 15 – 25 tahun, pertumbunhan seksual menonjol, sosial, kata hati, moral dan sudah mulai belajar berbudaya.
Sementara itu Stanley Hall penganut teori evolusi dan teori rekapitulasi membagi masa perkembangan anak sebagai berikut : (Nana Syaodih, 1988)
1. Masa kanak-kanak ialah umur 0 – 4 tahun sebagai masa kehidupan binatang.
2. Masa anak ialah umur 4 – 8 tahun merupakan masa sebagai manusia pemburu.
3. Masa muda ialah umur 8 – 12 tahun sebagai manusia belum berbudaya.
4. Masa adolesen ialah umur 12 – dewasa merupakan manusia berbudaya.
Havinghurst menyusun fase-fase perkembangan sebagai berikut : (mulyani, 1988)
1. Tugas perkembangan masa kanak-kanak :
Belajar berkata, makan makanan padat, berjalan, mengendalikan gerakan badan, mempelajari peran jenis kelaminnya sendiri, stabilitas fisiologi, membentuk konsep sederhana tentang sosial dan fisik, belajar menghubungkan diri secara emosional dengan orang lain, serta belajar membedakan yang benar dengan yang salah.
2. Tugas perkembangan masa anak :
Belajar keterampilan fisik, membentuk sikap diri sendiri, belajar bergaul secara rukun, mempelajari peran jenis kelamin sendiri, belajar keterampilan membaca, menulis, dan berhitung, mengembangkan konsep-konsep yang dibutuhkan dalam kehidupan, membentuk kata hati, moral, dan nilai, membuat kebebasan diri, dan mengembangkan sikap terhadap kelompok serta lembaga-lembaga sosial.
3. Tugas perkembangan masa remaja :
Membuat hubungan-hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya dari kedua jenis kelaminnya, menggunakan badan secara efektif, mendapatkan kebebasan diri dari ketergantungan pada orang lain, memilih dan menyiapkan jabatan, mendapatkan kebebasan ekonomi, mengadakan persiapan perkawinan dan kehidupan berkeluarga, mengembangkan keterampilan dan konsep-konsep yang diperlukan sebagai warga negara yang baik, mengembangkan perilaku bertanggung jawab, dan memperoleh seperangkat nilai serta etika sebagai pedoman berprilaku.
4. Tugas perkembangan masa dewasa awal :
Memilih pasangan hidup, belajar hidup rukun bersuami istri, memulai kehidupan punya anak, belajar membimbing dan merawat anak, mengendalikan rumah tangga, melaksanakan suatu jabatan atau pekerjaan, belajar bertanggung jawab sebagai warga negara, dan berupaya mendapatkan kelompok sosial yang tepat serta menarik.
5. Tugas perkembangan masa setengah baya :
Bertanggung jawab sosial dan menjadi warga negara yang baik, membangun serta mempertahankan standar ekonomi, membina anak remaja agar menjadi orang dewasa bertanggung jawab serta bahagia, mengisi waktu senggang dengan kegiatan-kegiatan tertentu, membina hubungan suami istri sebagai pribadi, menerima serta menyesuaikan diri dengan perubahan fisik diri sendiri, dan menyesuaikan diri dengan pertambahan umur.
6. Tugas perkembangan orang tua :
Menyesuaikan diri dengan semakin menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan, menyesuaikan diri terhadap menurunnya pendapatan atau karena pensiun, menyesuaikan diri sebagai duda atau janda, menjalin hubungan dengan klub lanjut usia, memenuhi kewajiban sosial sebagai warga negara yang baik, dan membangun kehidupan fisik yang memuaskan.
Tugas-tugas yang harus dijalankan oleh setiap individu sepanjang hidupnya seperti tertera diatas, memberi kemudahan kepada para pendidik pada setiap jenjang dan tingkat pendidikan untuk :
1. Menentukan arah pendidikan.
2. Menentukan metode atau model belajar anak-anak agar mereka mampu menyelesaikan tugas perkembangannya.
3. Menyiapkan materi pelajaran yang tepat.
4. Menyiapkan pengalaman belajar yang cocok dengan tugas perkembangan itu.
Konsep Jean Piaget memakai pendekatan pentahapan tetapi bersifat khusus yang menekankan tingkat-tingkat perkembangan khusus yaitu 4 kognisi: (Mulyani 1988, Nana Syaodih 1988, dan Callahan 1983).
1. Periode sensorimotor pada umur 0 – 2 tahun.
Kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks. Reaksi intelektual hampir seluruhnya karena rangsangan langsung dari alat-alat indra. Punya kebiasaan memukul-mukul dan bermain-main dengan permainannya. Mulai dapat menyebutkan nama-nama objek tertentu.
2. Periode praoperasional pada umur 2 – 7 tahun.
Perkembangan bahasa anak ini sangat pesat. Peranan intuisi dalam memutuskan sesuatu masih besar, menyimpulkan hanya berdasarkan sebagian kecil yang diketahui. Analisis rasional belum berjalan.
3. Periode operasi konkret pada umur 7 – 11 tahun.
Mereka sudah bisa berpikir logis, sistematis, dan memecahkan masalah yang bersifat konkret, sudah mampu mengerjakan penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.
4. Periode operasi formal pada umur 11 – 15 tahun.
Anak-anak ini sudah dapat berpikir logis terhadap masalah baik yang konkret maupun yang abstrak. Dapat membentuk ide-ide dan masa depannya secara realistis.
Perkembangan kognisi menurut Bruner sebagai berikut, (Toeti Soekamto, 1994).
1. Tahap enaktif, anak melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya memahami lingkungan.
2. Tahap ikonik, anak memahami dunia melalui gambaran-gambaran dan visualisasi verbal.
3. Tahap simbolik, anak telah memiliki gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika.
Selanjutnya Bruner mengatakan bahwa perkembangan kognisi seseorang bisa dimajukan dengan jalan mengatur bahan pelajaran, antara lain dengan kurikulum spiral.
Lawrence Kohlberg mengembangkan teori moral kognisi atas dasar teori Piaget. Menurut dia ada tiga tingkat perkembangan moral kognisi, yang masing-masing tingkat ada dua tahap sebagai berikut : (McNeil 1977, dan Nana Syaodih 1988).
1. Tingkat Prekonvensional
a. Tahap orientasi kepatuhan dan hukuman.
b. Tahap orientasi egois yang naif.
2. Tingkat Konvensional
a. Tahap orientasi anak yang baik.
b. Tahap orientasi mempertahankan peraturan dan norma sosial.
3. Tingkat Post-Konvensional
a. Tahap orientasi kontak sosial yang legal.
b. Tahap orientasi prinsip etika universal.
Inilah tingkat-tingkat perkembangan moral anak atas dasar pemahamannya tentang moral itu sendiri.
Dalam aspek afeksi, Erikson mencoba menyusun perkembangannya sebagai berikut : (Mulyani, 1988).
1. Bersahabat vs menolak pada umur 0 – 1 tahun.
Bayi yang diasuh dengan kasih sayang dan kebutuhan-kebutuhan terpenuhi akan merasa bersahabat dengan orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya bila dia disia-siakan dan kebutuhannya tak terpenuhi, maka ia akan menentang lingkungan.
2. Otonomi vs malu dan ragu-ragu pada umur 1 – 3 tahun.
Anak merasa memiliki otonomi dan kebanggaan. Ia merasa dapat mengendalikan otot-ototnya, mengendalikan diri dan lingkungan. Tetapi, bila orang tua terlalu memanjakan, timbul malu-malu dan keragu-r aguan anak itu tentang kemampuan.
3. Inisiatif vs perasaan bersalah pada umur 3 – 5 tahun.
Anak-anak pada masa ini banyak berinisiatif manakala diberi kesempatan lebih besar. Kalau mereka tidak diperlakukan seperti itu mereka akan merasa guilted (bersalah).
4. Perasaan produktif vs rendah diri pada umur 6 – 11 tahun.
Jika mereka dihargai dan diberi hadiah membuat peran produktif berkembang. Tetapi anak-anak yang bodoh cenderung punya perasaan rendah diri.
5. Identitas diri vs kebingungan pada umur 12 – 18 tahun.
Para remaja ini sudah mulai dapat mengidentifikasi dirinya berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lampau. Perasaan dan keinginan-keinginan baru mulai tumbuh. Mereka juga sudah bisa berpikir jernih tentang hal-hal disekelilingnya.
6. Intim vs mengisolasi diri pada umur 19 – 25 tahun.
Orang-orang ini sudah bisa intim dalam suami istri dan mampu berbagi rasa pada orang lain. Dan bila tidak berhasil, ia akan mengisolasi diri.
7. Generasi vs kesenangan pribadi pada umur 25 – 45 tahun.
Orang tua atau orang seumur ini sudah mulai memikirkan generasi muda, masyarakat, dan dunia tempat generasi ini tinggal. Bila tidak, orang tua ini hanya mengejar kesenangan pribadi saja.
8. Integritas vs putus asa pada umur 45 tahun ke atas.
Integritas muncul kalau orang tua ini dapat membawa diri secara memuaskan dalam pergaulan anak-cucunya. Bila tidak, maka orang ini akan berputus asa.
Seperti halnya dengan perkembangan kognisi, perkembangan afeksi ini pun memberi kemudahan kepada para pendidik dalam mengembangkan afeksi anak-anak, juga dalam mempengaruhi afeksi orang dewasa dan orang yang sudah tua. Sehubungan dengan hal ini perlu dikemukakan simpulan Baller dan Charles sebagai berikut, (Mulyani, 1988).
1. Anak yang berasal dari keluarga yang memberi layanan baik akan bersikap ramah, luwes, bersahabat, dan mudah bergaul.
2. Anak yang dilahirkan pada keluarga yang menolak kelahiran itu, akan cenderung menimbulkan masalah, agresif, menentang orang tua, dan sulit diajak berbicara.
3. Anak yang diberikan pada keluarga yang acuh tak acuh pada anak, cenderung bersikap pasif dan kurang populer di luar rumah.
Gagne membahas perkembangan kemampuan belajar, sebagai berikut : (McNeil, 1977).
1. Multideskriminasi, yaitu belajar membedakan stimuli yang mirip, misalnya huruf b dengan d.
2. Belajar konsep, yaitu belajar membuat respon sederhana, seperti huruf hidup, huruf mati, dan sebagainya.
3. Belajar prinsip, yaitu mempelajari prinsip-prinsip atau aturan-aturan konsep.
4. Pemecahan masalah, yaitu belajar mengkombinasikan dua atau lebih prinsip untuk memperoleh sesuatu yang baru.
Pembahasan tentang psikologi perkembangan ini memberi petunjuk yang sangat berharga bagi para pendidik dalam mengoperasikan pendidikannya.
B. Psikologi Belajar
Belajar adalah perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil pengalaman dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu mengkomunikasikannya kepada orang lain.
Ada sejumlah prinsip belajar menurut Gagne (1979) sebagai berikut :
1. Kontiguitas, memberikan situasi atau materi yang mirip dengan harapan pendidik tentang respon anak yang diharapkan, beberapa kali secara berturut-turut.
2. Pengulangan, situasi dan respon anak diulang-ulang atau dipraktekkan agar belajar lebih sempurna dan lebih lama diingat.
3. Penguatan, respon yang benar misalnya diberi hadiah untuk mempertahankan dan menguatkan respon itu.
4. Motifasi positif dan percaya diri dalam belajar.
5. Tersedia materi pelajaran yang lengkap untuk memancing aktivitas anak.
6. Ada upaya membangkitkan keterampilan intelektual untuk belajar, seperti apersepsi dalam mengajar.
7. Ada strategi yang tepat untuk mengaktifkan anak-anak dalam belajar.
8. Aspek-aspek jiwa anak harus dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam pengajaran.
Tiga butir pertama disebut Gagne sebagai faktor-faktor ekstern yang mempengaruhi hasil belajar, sedangkan sisanya adalah sebagai faktor intern. Ada sejumlah teori belajar secara sistematik adalah sebagai berikut : (Callahan, 1983, Nana Syaodih, 1988, dan Toeti Soekamto, 1994).
1. Teori belajar klasik :
a. Disiplin Mental Theistik
b. Disiplin Mental Humanistik
c. Naturalis atau aktualisasi diri
d. Apersepsi
2. Teori belajar modern ;
a. R-S Bond atau Asosiasi
b. Pengkondisian (kondisioning) Instrumental
c. Pengkondisian (kondisioning) Operan
d. Penguatan
e. Kognisi
f. Belajar bermakna
g. Insight atau Gestalt
h. Lapangan
i. Tanda (sign)
j. Fenomologi
Teori belajar modern diatas dapat pula dibagi dua kelompok, yaitu :
1. Behavioris yang mencakup nomor a sampai dengan d.
2. Kognisi yang mencakup nomor e sampai dengan j.
Teori belajar Disiplin Mental Theistik berasal dari Psikologi Daya atau Psikologi Fakulti. Menurut teori ini individu atau anak memiliki sejumlah daya mental (pikiran, ingatan, perhatian, kemampuan, keputusan, observasi, tanggapan) yang dapat ditingkatkan kemapuannya melalui latihan-latihan.
Teori belajar Disiplin Mental Humanistik bersumber dari Psikologi Humanistik Kalsik ciptaan Plato dan Aristoteles. Teori ini sama dengan Disiplin Mental Theistik, yaitu manakala daya itu dilatih, mereka akan semakin kuat, dan manakala sudah kuat, maka individu bersangkutan dengan mudah dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Bedanya adalah teori diatas melatih bagian demi bagian daya, maka Disiplin Mental Humanistik menekankan keseluruhan sebagai potensi individu secara utuh.
Teori belajar Naturalis atau Aktualisasi Diri berpangkal dari Psikologi Naturalis Romantik yang dipimpin Rousseau. teori Naturalis memandang setiap anak memiliki sejumlah potensi yang juga harus dikembangkan, tetapi bukan oleh pendidik dengan cara melatih, melainkan oleh anak itu sendiri.
Teori belajar Apersepsi yang berasal dari Psikologi Struktur atau Herbatisme ciptaan Herbart. Psikologi ini memandang bahwa jiwa manusia merupakan struktur yang bisa berubah dan bertambah manakala orang yang bersangkutan belajar. Pertambahan ini didapat melalui asosiasi antara struktur yang sudah ada dengan hal-hal yang dipelajari.
Langkah-langkah belajar menurut Herbart adalah sebagai berikut :
1. Pendidik harus mengadakan persiapan dengan cermat.
2. Pendidikan harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga anak-anak merasa jelas memahami pelajaran itu, yang memudahkan asosiasi-asosiasi baru terbentuk.
3. Asosiasi-asosiasi baru terbentuk antara materi yang dipelajari dengan struktur jiwa atau apersepsi anak yang telah ada.
4. Mengadakan generalisasi, pada saat ini terbentuklah suatu struktur baru dalam jiwa anak.
5. Mengaplikasikan pengetahuan yang baru didapat agar struktur terbentuk semakin kuat.
Teori Psikologi Belajar Klasik, walaupun sudah tua, untuk hal-hal tertentu masih bisa dipakai. Teori Disiplin Mental misalnya masih bermanfaat dalam melatih anak-anak menguasai perkalian dibawah 100. dengan dilatih berkali-kali mereka akan hafal perkalian itu diluar kepala. Begitu pula halnya dengan latihan-latihan mengerjakan soal adalah memakai teori Belajar Disiplin Mental. Latihan-latihan ini menggunakan sejumlah soal yang sudah tentu ada kesamaan satu dengan yang lain untuk setiap jenisnya.
Sekarang mari kita teruskan pembahasan ini dengan teori-teori belajar modern. Teori Belajar R-S Bond atau Asosiasi yang dicetuskan oleh kelompok Behavioris, dengan tokohnya Thorndike. Teori ini disebut juga Psikologi Koneksionisme atau Asosiasinisme yang memandang belajar akan terjadi kalau ada kontak hubungan antara orang yang bersangkutan dengan benda-benda yang ada diluar. Ini yang dinamakan S-R Bond, yaitu S adalah Stimulus dari luar diri seseorang dan R adalah Respon orang yang bersangkutan, sedangkan Bond adalah hubungan atau asosiasi. Contohnya, anak-anak disuruh membaca oleh gurunya sebagai stimulus dan anak-anak membaca sebagai respon. Dengan melakukan kegiatan membaca berarti anak-anak sudah belajar serta mendapatkan pengetahuan.
Berkaitan dengan teori Belajar Asosiasi ini, Thorndike mencetuskan tiga hukum belajar sebagai berikut :
1. Hukum kesiapan, artinya semakin siap anak itu semakin mudah terbentuk hubungan antara stimulus dengan respon.
2. Hukum latihan atau pengulangan. Hubungan stimulus dengan respon akan terbentuk bila hubungan itu sering diulang atau dilatih berkali-kali.
3. Hukum dampak, maksudnya ialah hubungan antara stimulus dan respon akan terjadi bila hubungan itu memberikan dampak yang menyenangkan.
Teori belajar Pengkondisian Instrumental atau R-S Bond berawal dari teori belajar Pengkondisian Klasik, dengan tokohnya adalah Watson dan Thorndike. Belajar menurut mereka adalah masalah melekatkan atau menguatkan respon yang benar dan menyisihkan respon yang salah akibat pemberian hadiah dan tidak dihiraukannya konsekuensi respon yang salah. Contohnya, diatas meja belajar disiapkan permen yang enak, anak-anak tidak boleh mengambil permen itu sebelum mereka selesai belajar. Setelah berlangsung beberapa kali, maka kemudian hari tanpa permen pun anak-anak belajar dengan rajin.
Teori belajar Pengkondisian Operan diperkenalkan oleh Skiner. Kalau teori Pengkondisian Instrumental memberi kondisi sebelum respon, maka teori belajar Pengkondisian Operan memberikan kondisi sesudah terjadinya respon.
Teori belajar Penguatan atau Reinforcement lahir dari Psikologi Reinforcement yang dipimpin oleh Hull. Pada prinsipnya teori ini memberi penguatan pada respon-respon yang benar atau yang sesuai dengan har apan. Bila siswa mendapat skor tinggi, ia diberi pujian. Pujian, hadiah, dan penghargaan adalah merupakan penguatan-penguatan agar individu-individu bersangkutan tetap konsisten dengan tindakannya yang sudah baik itu, bila perlu bisa ditingkatkan lagi.
Dalam kaitannya dengan teori Penguatan ini, dikenal ada dua macam penguatan, yaitu :
1. Penguatan positif, ialah setiap stimulus yang dapat memantapkan respon pada Pengkondisian Instrumental dan setiap hadiah yang dapat memantapkan respon pada Pengkondisian Operan.
2. Penguatan negatif, ialah stimulus yang perlu dihilangkan untuk memantapkan respon yang terjadi. Misalnya tugas-tugas yang terlalu berat perlu dihilangkan agar siswa tetap rajin belajar.
Ada perbedaan antara penguatan positif dan negatif dengan hukuman. Penguatan adalah pemberian stimulus positif atau penghilangan stimulus negatif. Sementara itu hukuman adalah pemberian stimulus negatif atau penghilangan stimulus positif.
Pada hakikatnya, teori belajar Behaviorisme ini hanya ada dua yaitu teori Pengkondisian Instrumental dan teori Pengkondisian Operan. Teori-teori ini amat bermanfaat untuk mengembangkan tingkah laku yang nyata, tetapi untuk belajar memahami sesuatu terutama hal-hal yang rumit, memecahkan masalah, mengkreasikan sesuatu, dan sejenisnya cukup sulit melaksanakannya.
Kini mari kita beralih kepada teori-teori kognitivisme. Pertama adalah teori Kognisi ciptaan Bruner (Connell, 1974) yang menekankan pada cara individu mengorganisasikan apa yang telah ia alami dan pelajari. Sistem pengorganisasian ini merupakan kunci untuk memahami tingkah laku seseorang, merupakan alat untuk berpikir dan memecahkan masalah. Para siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep dan prinsip-prinsip serta kesempatan untuk mengembangkan pola dan teknik meneliti.
Kedua adalah teori Belajar Bermakna yang diciptakan oleh Ausubel. Agar belajar menjadi bermakna, maka materi baru haruslah bertalian dan sebagai bagian dari konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognisi. Proses menghubungkan informasi baru dengan elemen-elemen dalam struktur kognisi disebut subsumption atau menyatukan menjadi bagian dari struktur itu. Dalam pendidikan ditekankan ceramah yang terorganisir dengan baik, dengan cara ini ada keterkaitan konsep lama dengan konsep baru, dan dapat juga dipasangkan konsep yang berlawanan sehingga belajar menjadi bermakna.
Teori belajar Insight atau Gestalt (Callahan, 1983) memandang anak-anak telah memiliki sikap dan keterampilan yang kompleks dari hasil belajarnya. Anak-anak memandang situasi belajar sebagai satu kesatuan atau gestalt dan merespon terhadap keseluruhan itu merupakan suatu yang penting untuk memahaminya. Dalam hal ini belajar juga menggunakan insight atau pemahaman, suatu yang lepas dari kebingungan sehingga menemukan keteraturan dalam materi yang baru.
Dalam pendidikan, teori belajar Gestalt ini sering dicontohkan pada gambar muka manusia. Bila gambar muka manusia itu dilihat satu persatu, tidak akan mudah melihatnya sebagai muka manusia. Tetapi bila dilihat sebagai keseluruhan, maka dengan cepat kita akan mengatakan gambar muka manusia.
Teori lapangan atau Field dalam belajar dipelopori oleh Lewin (Callahan, 1983). Lewin mencoba menjelaskan perilaku manusia melalui cara mereka merespon terhadap faktor-faktor lingkungan, terutama lingkungan sosial. Belajar adalah usaha untuk menilai kembali dan mendapatkan kejelasan dari ruang kehidupan, sehingga ruang kehidupan berkembang.
Callahan (1983) melanjutkan teori lapangan dengan teori tanda atau sign dan teori fenomologi. Teori tanda dipeloporioleh Toman, yang mengatakan bahwa perilaku itu mengarah kepada tujuan. Belajar adalah suatu harapan bahwa stimulus akan diikuti oleh situasi yang jelas.
Teori belajar fenomologi diciptakan oleh Snygg dan Combs, yang memandang individu itu berada dalam keadaan dinamis yang stabil dan memiliki persepsi bersifat fenomologi.
C. PSIKOLOGI SOSIAL
Psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari psikologi seseorang di masyarakat, yang mengkombinasikan ciri-ciri pskologi dengan ilmu sosial untuk mempelajari pengaruh masyarakat dengan kondisi individu dan antarindividu (Hollander, 1981).
Pembentukan kesan pertama ditentukan oleh :
a. kepribadian orang yang diamati
b. perilaku orang tersebut
c. latar belakang situasi waktu mengamati persepsi diri sendiri bersumber dari perilaku kita yang overt dan persepsi kita terhadap lingkungan, serta banyak dipengaruhi oleh sikap dan perasaan.
Sikap muncul bisa secara alami dan dapat juga dengan pengkondisian serta dengan mempelajari sikap para tokoh.
Motivasi ditentukan oleh faktor-faktor :
1. minat dan kebutuhan individu.
2. persepsi terhadap tugas yang menantang
3. harapan sukses keintiman hubungan yang disebut penetrasi sosial akan terjadi manakala perilaku antarpribadi diikuti oleh perasaan subjektif.
Perilaku agresif disebabkan oleh :
a. insting berkelahi
b. gangguan dari pihak lain
c. putus asa
jenis-jenis perilaku agresif adalah :
a. agresif anti social, seperti memaki-maki
b. agresif proposial, seperti menembak teroris
c. agresif sanksi, seperti menampar orang yang melecehkannya.
Altruisme adalah hasil kasih sayang yang tidak mengharapkan balasan.
Kesepakatan atau kepatuhan memudahkan proses pembinaan dalam suatu kelompok. Ada sejumlah perbedaan kemampuan dan sifat antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Perbedaan ini di samping bersifat alami, juga karena pengalaman dan pendidikan. Peranan pemimpin cukup menentukan keberhasilan tugas-tugas kelompok.
D. KESIAPAN BELAJAR DAN ASPEK-ASPEK INDIVIDU
Kesiapan belajar secara umum adalah kemampuan seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari pengalaman yang ia temukan. Kesiapan belajar yang bersifat afektif dan kognitif perlu diperhatikan oleh pendidik agar materi yang dipelajari anak-anak dapat dipahami dan diinternalisasi dengan baik. Kesiapan afeksi harus dikembangkan dengan model pengembangan motivasi sedangkan kesiapan kognisi dipelajari dari tingkat-tingkat perkembangan kognisi mereka.
Fungsi jiwa dan tubuh atau aspek-aspek individu yang akan dikembangkan adalah sebagai berikut :
1. rohani
a. umum
1). agama
2). perasaan
3). kemauan
4). pikiran
b. sosial
1). kemasyarakatan
2). cinta tanah air
2. jasmani
a. keterampilan
b. kesehatan
c. keindahan tubuh kesembilan aspek individu harus diberi perhatian yang sama oleh pendidik serta dilayani secara berimbang.
Wujud perkembangan total atau berkembang seutuhnya memenuhi tiga kriteria, yaitu :
a. semua potensi berkembang secara proposional atau berimbang atau harmonis.
b. Potensi-potensi itu berkembang secara optimal
c. Potensi-potensi berkembang secara integratif.
E. Implikasi Konsep Pendidikan
Implikasinya kepada konsep pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Psikologi perkembangan yang bersifat umum, yang berorientasi pada afeksi, dan pada kognisi, semuanya memberi petunjuk pada pendidik bagaimana seharusnya ia menyiapkan dan mengorganisasi materi pendidikan serta bagaimana membina anak-anak mereka agar mau belajar dengan sukarela.
2. Psikologi belajar
a. yang klasik
1) Disiplin mental bermanfaat untuk menghafal perkalian dan melatih soal-soal.
2) Naturalis/aktualisasi diri bermanfaat untuk pendidikan seumur hidup.
3) Behavior bermanfaat atau cocok untuk membentuk perilaku nyata.
4) Kognisi cocok untuk mempelajari materi-materi pelajaran yang lebih rumit yang membutuhkan pemahaman, untuk memecahkan masalah dan, untuk berkreasi menciptakan sesuatu bentuk atau ide baru.
3. Psikologi sosial
a. Persepsi diri atau konsep tentang diri sendiri ternyata bersumber dari perilaku yang overt dan persepsi kita terhadap lingkungan dan banyak dipengaruhi oleh sikap serta perasaan kita.
b. Pembentukan sikap bisa secara alami, dikondisi, dan meniru sikap para tokoh.
c. Sama halnya dengan sikap, motivasi anak-anak juga perlu dikembangkan pada saat yang memungkinkan melalui,
1) Pemenuhan minat kebutuhannya.
2) Tugas-tugas yang menantang.
3) Menanamkan harapan yang sukses dengan cara sering memberikan pengalaman sukses.
d. Hubungan yangintim diperlukan dalam proses konseling, pembimbingan, dan belajar dalam kelompok.
e. Pendidik perlu membendung perilaku agresif anti sosial, tetapi mengembangkan agresif prososial dan sanksi.
f. Pendidik perlu mengembangkan kemampuan memimpin dikalangan anak-anak.
4. Kesiapan belajar yang bersifat afektif dan kognitif perlu diperhatikan oleh pendidik agar materi yang dipelajari anak-anak dapat dipahami dan diinternalisasi dengan baik.
5. Kesembilan aspek individu harus diberi perhatian yang sama oleh pendidik dan dilayani secara berimbang.
6. Wujud perkembangan total atau berkembang seutuhnya memenuhi 3 kriteria:
a. Semua potensi berkembang secara proporsional atau berimbang dan harmonis.
b. Potensi-potensi itu berkembang secara optimal.
c. Potensi-potensi berkembang secara integratif.
REFERENSI :
Pidarta, Made. 2007. LANDASAN KEPENDIDIKAN Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Cetakan pertama. Rineka Cipta : Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar