Senin, 09 November 2009

BAHASA SEBAGAI ALAT BERPIKIR DALAM BELAJAR GEOMETRI BERDASARKAN TEORI VAN HIELE

Makalah Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu


Oleh :
NAMA : RETNI PARADESA
NIM : 20082012037

Dosen Pengampu:
Prof. H. WASPODO, Ph. D.


PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG
2008/2009
BAHASA SEBAGAI ALAT BERPIKIR DALAM BELAJAR GEOMETRI BERDASARKAN TEORI VAN HIELE
Oleh : Retni Paradesa

A. Pendahuluan
Tadi malam di rumah pak Pulan ada pencuri dan polisi segera diberitahukan. Komandan polisi yang datang memimpin pemeriksaan, sebuah jendela belakang dibongkar oleh pencuri itu. Dari jendela inilah mereka masuk pikir Komandan. Dengan segera ia tahu, bahwa yang mencuri itu lebih dari satu, karena dilihatnya dua macam jejak di bawah jendela itu. Tahukah tuan, barang-barang apa yang dicuri, tanya Komandan Polisi kepada pak Pulan, sebuah radio, satu set komputer jawab pak Pulan.
Dari cerita ini ada proses berpikir. Berpikir merupakan suatu aktivitas pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan atau keputusan dari sesuatu yang kita kehendaki. Menurut Jujun. S. Suriasumantri (2007),
”manusia – homo sapiens, makhluk yang berpikir. Setiap saat dari hidupnya, sejak dia lahir sampai masuk liang lahat, dia tak pernah berhenti berpikir. Hampir tak ada masalah yang menyangkut dengan perikehidupan yang terlepas dari jangkauan pikirannya, dari soal paling remeh sampai soal paling asasi”.

“Berpikir merupakan ciri utama bagi manusia, untuk membedakan antara manusia dengan makhluk lain. Maka dengan dasar berpikir, manusia dapat mengubah keadaan alam sejauh akal dapat memikirkannya. Berpikir merupakan proses bekerjanya akal, manusia dapat berpikir karena manusia berakal. Akal merupakan salah satu unsur kejiwaan manusia untuk mencapai kebenaran di samping rasa dan kehendak untuk mencapai kebaikan”,

menurut tim dosen filsafat ilmu (1992). Dengan demikian, “ciri utama dari berpikir adalah adanya abstraksi. Maka dalam arti yang luas kita dapat mengatakan berpikir adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi. Sedangkan dalam arti yang sempit berpikir adalah meletakkan atau mencari hubungan atau pertalian antara abstraksi-abstraksi dalam M. Ngalim Puswanti (1992).
Berpikir juga merupakan suatu proses yang terjadi di jaringan syaraf pada otak kita. Berpikir merupakan perubahan dalam agregat dari representasi diri. Berpikir merupakan ciri utama manusia yang membedakannya dengan makhluk lain. Dengan dasar berpikir manusia mengembangkan berbagai cara untuk dapat mengubah keadaan alam guna kepentingan hidupnya.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah yang baik perlu ditunjang dengan sarana berpikir ilmiah berupa bahasa, matematika, dan statistika. Dalam berpikir ilmiah khususnya dalam belajar geometri, peran bahasa ilmiah sangat berperan penting. Dalam belajar geometri menurut dua tokoh pendidikan matematika dari Belanda, yaitu Pierre Van Hiele dan isterinya, Dian Van Hiele-Geldof, pada tahun-tahun 1957 sampai 1959 mengajukan suatu teori mengenai proses perkembangan yang dilalui siswa dalam mempelajari geometri. Dalam teori yang mereka kemukakan, mereka berpendapat bahwa dalam mempelajari geometri para siswa mengalami perkembangan kemampuan berpikir melalui tahap-tahap tertentu. Dimana pada setiap tahapnya peran bahasa sangat berperan penting.
Dari pola berpikir di atas, maka akan dibahas pola berpikir ilmiah dan lebih khusus di fokuskan pada pembahasan “bahasa sebagai alat berpikir dalam belajar geometri berdasarkan teori Van Hiele”.

B. Berpikir Ilmiah
Menurut Jujun S. Suriasumantri (2007) mengatakan bahwa “Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan”. Oleh karena itu, proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan diperlukan sarana tertentu yang disebut dengan sarana berpikir ilmiah.
Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya juga diperlukan sarana tertentu pula. Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir ilmiah berupa: “[1] Bahasa Ilmiah, [2] Logika dan metematika, [3] Logika dan statistika. Bahasa ilmiah merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah kepada orang lain. Logika dan matematika mempunyai peran penting dalam berpikir deduktif sehingga mudah diikuti dan dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan logika dan statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif untuk mencari konsep-konsep yang berlaku umum”.






Berdasarkan
Metode-metode
Ilmiah

Sarana berpikir ilmiah digunakan sebagai alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode-metode ilmiah. “Sarana berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuan. Dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah pada dasarnya ilmu menggunakan penalaran induktif dan deduktif, dan sarana berpikir ilmiah tidak menggunakan cara tersebut. Berdasarkan cara mendapatkan pengetahuan tersebut jelaslah bahwa sarana berpikir ilmiah bukanlah ilmu, melainkan sarana ilmu yang berupa: bahasa, logika, matematika, dan statistika”. Sedangkan “fungsi sarana berfikir ilmiah adalah untuk membantu proses metode ilmiah, baik secara deduktif maupun secara induktif.
Kemampuan berpikir ilmiah yang baik sangat didukung oleh penguasaan sarana berpikir dengan baik pula. Maka dalam proses berpikir ilmiah diharuskan untuk mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah menyadarkan diri kepada proses metode ilmiah baik logika deduktif maupun logika induktif. Ilmu dilihat dari segi pola pikirnya merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif.
Menurut Jujun S. Suriasumantri (2007)
“Secara garis besar berpikir dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: berpikir alamiah dan berpikir ilmiah. Berpikir alamiah, pola penalaran yang berdasarkan kebiasaan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya [katakan saja : penalaran tentang api yang dapat membakar, dinginnya es dan sebagainya]. Sedangkan berpikir ilmiah, pola penalaran berdasarkan sasaran tertentu secara teratur dan cermat [dua hal yang bertentangan penuh tidak dapat sebagai sifat hal tertentu pada saat yang sama dalam satu kesatuan]”.

Yang terakhir ini penting kaitannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

C. Bahasa Ilmiah
1. Pengertian Bahasa
Menurut Jujun S. Suriasumantri (2007) menyatakan pertama-tama bahasa dapat dicirikan sebagai serangkaian bunyi. Dalam hal ini kita mempergunakan bunyi sebagai alat untuk berkomunikasi. Komunikasi dengan mempergunakan bunyi ini dikatakan sebagai komunikasi verbal. Kedua, bahasa merupakan lambang di mana serangkaian bunyi ini membentuk suatu arti tertentu.
Dengan adanya bahasa memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu dalam benak kepala kita, meskipun obyek yang sedang kita pikirkan tersebut tidak berada di dekat kita. Manusia dengan kemampuannya berbahasa memungkinkan untuk memikirkan sesuatu masalah secara terus menerus. Menurut Gorys Keraf (1997: 1) (dalam, Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin ada yang keberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukan satu-satunya alat untuk mengadakan komunikasi. Mereka menunjukkan bahwa dua orang atau pihak yang mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama. Lukisan-lukisan, asap api, bunyi gendang atau tong-tong dan sebagainya. Tetapi mereka itu harus mengakui pula bahwa bila dibandingkan dengan bahasa, semua alat komunikasi tadi mengandung banyak segi yang lemah.
Bahasa memberikan kemungkinan yang jauh lebih luas dan kompleks daripada yang dapat diperoleh dengan mempergunakan media tadi. Bahasa haruslah merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bukannya sembarang bunyi. Dan bunyi itu sendiri haruslah merupakan simbol atau perlambang.
Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah di mana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Ditinjau dari pola berpikirnya maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyandarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Matematika mempunyai peran yang penting dalam berpikir deduktif.
Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berpikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah ke arah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peran masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah tersebut.
Menurut Abdul Halim Fathoni (2008) mengatakan bahwa ”bahasa merupakan suatu sistem yang terdiri dari lambang-lambang, kata-kata, dan kalimat-kalimat yang disusun menurut aturan tertentu dan digunakan sekelompok orang untuk berkomunikasi”. Dalam tulisannya, Mudjia Rahardjo mengatakan: "Di mana ada manusia, di sana ada bahasa". Keduanya tidak dapat dipisahkan. Bahasa tumbuh dan berkembang karena manusia. Manusia berkembang juga karena bahasa. Keduanya menyatu dalam segala aktivitas kehidupan. Hubungan manusia dan bahasa merupakan dua hal yang tidak dapat dinafikan salah satunya. Bahasa pula yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain.
Bahasa adalah alat komunikasi verbal. Alat komunikasi verbal dilambangkan dengan penggunaan bunyi-bunyi. Bunyi-bunyi tersebut tersusun dalam suatu susunan bunyi yang mengandung makna.

2. Fungsi Bahasa
Menurut Jujun S. Suriasumantri (2007) dilihat dari segi fungsinya, bahasa memiliki dua fungsi yaitu:
a. sebagai alat untuk menyatakan ide, pikiran, gagasan atau perasaan,
b. sebagai alat untuk melakukan komunikasi dalam berinteraksi dengan orang lain.
Berdasar dua fungsi tersebut, adalah sesuatu yang mustahil dilakukan jika manusia dalam berinteraksi dan berkomunikasi tanpa melibatkan peranan bahasa. Komunikasi pada hakekatnya merupakan proses penyampaian pesan dari pengirim kepada penerima. Hubungan komunikasi dan interaksi antara si pengirim dan si penerima, dibangun berdasarkan penyusunan kode atau simbol bahasa oleh pengirim dan pembongkaran ide atau simbol bahasa oleh penerima.
Berkaitan dengan hal ini, dapat dikatakan bahwa syarat terjadinya proses komunikasi harus terdapat dua pelaku, yakni pengirim dan penerima pesan, sehingga yang perlu ditekankan selanjutnya adalah bagaimana cara kita menyampaikan pesan agar dapat berjalan secara efektif. Dalam hal ini, Badudu (1995), mengemukakan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu: a). orang yang berbicara; b). orang yang diajak bicara; c). situasi pembicaraan apakah formal atau non-formal; dan d). masalah yang dibicarakan (topik).
Para pakar memiliki perbedaan pendapat dalam hal fungsi bahasa. Aliran filsafat bahasa dan psikolinguistik melihat fungsi bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosi, sedangkan aliran sosiolinguistik berpendapat bahwa fungsi bahasa adalah sarana untuk perubahan masyarakat.
Namun walaupun tampak perbedaan, menurut Jujun S. Suriasumantri (2007) secara umum ”dapat dinyatakan bahwa bahasa pada dasarnya merupakan pernyataan pikiran atau perasaan sebagai alat komunikasi manusia. Sebagai pernyataan pikiran atau perasaan dan alat komunikasi manusia, bahasa mempunyai tiga fungsi pokok, yaitu
a. Fungsi ekspresif (emotif) tampak pada pencurahan rasa takut serta takjub yang dilakukan serta merta pada pemujaan-pemujaan, demikian juga pencurahan seni suara maupun seni sastra.
b. Fungsi afektif (praktis) tampak jelas untuk menimbulkan efek psikologis terhadap orang lain dan sebagai akibatnya mempengaruhi tindakan-tindakan mereka ke arah kegiatan atau sikap tertentu yang diinginkan.
c. Fungsi simbolik dipandang dalam artian yang luas, meliputi fungsi logik serta komunikatif, karena arti itu dinyatakan dalam simbol bukan hanya untuk menyatakan fakta saja, melainkan juga untuk menyampaikan kepada orang lain. ”
”Bahasa memegang peranan penting dan suatu hal yang lazim dalam hidup. Bahasa mempunyai pengaruh yang luar biasa dan termasuk yang membedakan manusia dari ciptaan lainnya”. Hal ini senada dengan apa yang diutarakan oleh Ernest Cassirer, bahwa ”keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya, melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa” (Amsal Bahtiar, 2004, hlm. 175). Oleh karena itu, Ernest Cassirer dalam Jujun S. Suriasumantri (2007) menyebut ”manusia sebagai animal symbolicum, yaitu makhluk yang mempergunakan simbol”.

D. Bahasa dalam Pembelajaran Geometri Berdasar Teori Belajar Van Hiele
Van Hiele (2008) berpendapat bahwa “dalam mempelajari geometri para siswa mengalami perkembangan kemampuan berpikir melalui tahap-tahap tertentu”. Tahapan berpikir atau tingkat kognitif yang dilalui siswa dalam pembelajaran geometri, menurut Van Hiele adalah sebagai berikut:
1. Level 0. Tingkat Visualisasi
Tingkat ini disebut juga tingkat pengenalan. Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan (wholistic). Pada tingkat ini siswa belum memperhatikan komponen-komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati ciri-ciri dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu suatu bangun bernama persegipanjang, tetapi ia belum menyadari ciri-ciri bangun persegipanjang tersebut.
Dengan mengenal nama suatu bangun pada tingkat ini anak sudah memerankan suatu bahasa. Peranan bahasa disini baru sebatas mengenal nama.
2. Level 1. Tingkat Analisis
Tingkat ini dikenal sebagai tingkat deskriptif. Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada tingkat ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut.
Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun merupakan persegipanjang karena bangun itu “mempunyai empat sisi, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku”
Pada tingkat analisis disini peranan bahasa merupakan sebagai alat menyatakan ide, pikiran, gagasan, atau perasaan. Siswa dapat menyatakan idenya berdasarkan apa yang dilihat dan mengerti tentang suatu bangun misalnya pada bangun persegipanjang. Karena peran bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir dan komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain.
3. Level 2. Tingkat Abstraksi
Tingkat ini disebut juga tingkat pengurutan atau tingkat relasional. Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu pada tingkat ini siswa sudah memahami perlunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tahap ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga persegipanjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegipanjang.
4. Level 3. Tingkat Deduksi Formal
Pada tingkat ini siswa sudah memahami peranan pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan teorema-teorema dalam geometri. Pada tingkat ini siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses berpikir tersebut.
Misalnya pada tingkat ini anak sudah bisa membuktikan suatu soal dengan menggunakan pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan teorema-teorema dalam geometri yang dimulai dengan pembuktian dari umum ke khusus (berpikir deduktif-aksiamatis). Contohnya dalam menemukan suatu luas persegi sebelumnya siswa bisa menggunakan sifat-sifat dari persegi dari unsure-unsur yang dapat dapat diturunkan menjadi suatu rumus luas persegi. Sangat jelas disini pada tingkat deduksi formal bahwa bahasa sangat berperan sebagai alat untuk menyampaikan ide, pikiran, gagasan, atau perasaan. Siswa dapat menyatakan idenya berdasarkan apa yang dilihat dan mengerti tentang persegi. Dan dapat menyimpulkan sendiri apa yang telah mereka analisis.
5. Level 4. Tingkat Rigor (akurat)
Tingkat ini disebut juga tingkat metamatematis. Pada tingkat ini, siswa mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri.
Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga akan berubah. Sehingga, pada tahap ini siswa sudah memahami adanya geometri-geometri yang lain di samping geometri Euclides.
Menurut Van Hiele, semua anak mempelajari geometri dengan melalui tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain.
Selain itu, menurut Van Hiele, proses perkembangan dari tahap yang satu ke tahap berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau kematangan biologis, tetapi lebih bergantung pada pengajaran dari guru dan proses belajar yang dilalui siswa.
Untuk meningkatkan suatu tahap berpikir ke tahap berpikir yang lebih tinggi Van Hiele mengajukan pembelajaran yang melibatkan 5 fase (langkah), yaitu; informasi (information), orientasi langsung (directed orientation), penjelasan (explication), orientasi bebas (free orientation), dan integrasi (integration).
Pada setiap tahap dalam tahapan berpikir atau tingkat kognitif yang dilalui siswa dalam pembelajaran geometri, menurut Van Hiele diatas berhubungan erat dengan bahasa. Dapat dikatakan bahwa bahasa mempunyai peranan penting sebagai proses berpikir siswa dalam pembelajaran geometri.

E. Penutup
Dari berbagai uraian yang dikemukakan di atas, penulis mencoba memberikan beberapa ringkasan sebagai berikut : [1] Dalam kegiatan atau kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus menggunakan atau didukung oleh sarana berpikir ilmiah yang baik pula, karena tanpa menggunakan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik. [2] Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. [3] fungsi bahasa pada dasarnya merupakan pernyataan pikiran atau perasaan sebagai alat komunikasi manusia. Sebagai pernyataan pikiran atau perasaan dan alat komunikasi manusia, bahasa mempunyai 3 fungsi pokok yaitu fungsi ekspresif atau emotif, fungsi afektif atau praktis dan fungsi simbolik.
Tahapan berpikir atau tingkat kognitif yang dilalui siswa dalam pembelajaran geometri, menurut Van Hiele adalah sebagai berikut: level 0: tingkat visualisasi, tingkat analisis, tingkat abstraksi, tingkat Rigor. Dimana pada setiap tahapan berpikir melibatkan bahasa. Dan bahasa mempunyai peranan penting sebagai alat berpikir dalam pembelajaran geometri berdasarkan teori Van Hiele.




DAFTAR PUSTAKA
AL, Kristiyanto. 2008. Pembelajaran Matematika Berdasar Teori. http://kris-21.blogspot.com/2007/12/pembelajaran-matematika-berdasar- teori.html/ diakses pada 29 November 2008.

Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Fathoni, Abdul Halim. 2008. Bahasa Matematika. http://www.math.uns.ac.id/simta/?act=berita&id=19/ diakses pada 29 November 2008.

Inisiasi Pengembangan Matematika SD. http://fip.uny.ac.id/pjj/wp-content/uploads/2008/04/inisiasi_pengembangan_matematika_sd_4.pdf/ diakses pada 29 November 2008

Jujun S, Suriasumantri. 2007. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kasmadi, Hartono, dkk. 1990. Filsafat Ilmu. Semarang: IKIP Semarang Press.

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 1992. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberti.

Puswanto, M. Ngalim. 1992. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar