Kamis, 15 Juli 2010

Pendidikan Swasta dan Demokrasi

Oleh: Ign.Sumaryo SJ

Pada suatu hari ketika saya menjabat sebagai Ketua Majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung Semarang, Jawa Tengah, saya didatangi oleh pejabat Litbank P dan K Jateng. Yang bersangkutan menanyakan tentang visi, misi dan kebijakan pengelolaan sekolah katolik. Mendengar permintaan itu saya balik bertanya:"Lho bapak khan pejabat pendidikan pemerintah, mengapa bertanya kepada kami, yang swasta?". Bapak tersebut menjawab:"Lho pendidikan atau persekolahan swasta khan lebih dulu ada daripada sekolah yang diselenggarakan pemerintah, c.q. pemerintah Indonesia". Mendengar jawaban itu, dalam hati saya mengakui: benar juga, memang sekolah swasta ada lebih dulu dari sekolah pemerintah, entah itu yang diselenggarakan oleh umat Katolik, Kristen, Islam, Budha atau Hindu atau "swasta" pada umumnya alias masyarakat.

Maka yang menjadi pertanyaan refleksif adalah mengapa 'swasta' menyelenggarakan persekolahan. Sejauh saya mencoba mencermati dan meneliti berbagai sumber, tujuan utama adalah untuk mencerdaskan anak bangsa. Kecerdasan ini menjadi penting dan mutlak agar orang/anak yang bersangkutan dapat tumbuh dan berkembang, dapat menerima kebenaran-kebenaran dan keutamaan-keutamaan hidup yang menyelamatkan, yang menjiwai 'kelompok swasta' yang bersangkutan, entah kelompok agama atau sadar pendidikan. Bukankah masing-masing agama memiliki misi untuk menyampaikan keselamatan atau kesejahteraan hidup bagi siapapun, tanpa pandang bulu. Harus diakui tawaran-tawaran tersebut merupakan hal baru, yang tidak begitu mudah untuk dicerna dan hanya mereka yang cerdas akan dengan mudah mencerna serta menghayatinya dengan benar. Di situlah pentingnya pendidikan atau persekolahan.

Dari sisi visi atau misi katolik, perkenankan kami mensharingkan atau berbagi rasa. Kami, orang katolik atau kristen, ingin mengikuti Yesus, Penyelamat Dunia. Dunia harus selamat itulah misi kita, maka di mana ada dunia belum selamat disitu kami merasa dipanggil untuk berkarya. Kebodohan merupakan kendala untuk selamat atau sejahtera. Dan saya yakin visi misi ini merupakan visi umum. Itulah yang menjadi visi misi pada awal abad 20 dimana para pastor dan umat katolik mendirikan sekolah-sekolah, jauh sebelum NKRI berdiri. Dan saya yakin pada awal abad yang sama umat Islam dan yang lain juga mendirikan menyelenggarakan pendidikan yang sama. Produk dari penyelenggaraan pendidikan tersebut kemudian menjadi 'bapa-bapa bangsa' yang cerdas dan beriman.

Harus diakui bahwa penyelenggaran pendidikan pada masal awal itu tidak terlalu banyak aturan yang mengikat alias demokratis. Jiwa demokratis ini sesuai dengan visi pendidikan katolik yaitu "kebebasan dan cintakasih" sebagaimana telah saya coba uraikan sebelumnya. Dalam suasana kebebasan dan cintakasih tidak banyak aturan. Sejauh saya cermati dari waktu ke waktu pemerintah memiliki kecenderungan mau mengatur semuanya. Apakah hal ini tidak bertentangan dengan prinsip 'kebebasan dan cintakasih'. Sekali lagi saya katakan di sini "manusia/anak diadakan, dilahirkan, dibesarkan/dididik" oleh orangtuanya dalam dan oleh kasih serta kebebasan. Dalam suasana itu pula penyelenggaran pendidikan yang baik perlu diusahakan. Orangtua adalah pendidikan pertama dan utama bagi anak-anaknya, maka proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah perlu ada, bahkan mutlak ada, kerjasama dengan orangtua. Jika para orangtua tidak mampu baru minta bantuan masyakarat umum, dan baru kemudian dari pemerintah . Itulah kisah perjalanan pendidikan swasta, yang telah sukses melahirkan "bapa-bapa bangsa" yang cerdas dan beriman.

Maka hormati dan hargai penyelenggaraan pendidikan swasta, jangan terlalu banyak diatur.

Menjadi Guru Profesional, Mungkinkah?

Oleh: Afrianto Daud

Membaca judul tulisan diatas, sepintas barangkali kita akan menjawab kenapa tidak mungkin. Tak ada yang mustahil di dunia ini, termasuk untuk bisa menjadi guru yang profesional. Bahkan mungkin ada diantara kita yang berfikir kalau pertanyaan diatas sedikit silly, pertanyaan yang sesungguhnya tak perlu disampaikan. Namun kalau kita mau jujur, menjawab pertanyaan di atas dalam konteks dunia pendidikan nasional kita, maka minimal kita tidak berani untuk segera menjawab pertanyaan itu secara sederhana dengan jawaban why not?

Ketidakberanian kita barangkali disebabkan karena begitu kompleksnya permasalahan guru di tanah air tercinta ini. Telah ada begitu banyak diskusi, seminar, lokakarya, dan pertemuan ilmiah lainnya yang membicarakan betapa rumitnya permasalahan guru di negri ribuan pulau ini. Guru kita sering berada pada posisi yang sangat dilematis karena pada satu sisi menjadi tumpuan harapan keberlangsungan masa depan anak bangsa ini dalam bidang pendidikan di masa yang akan datang, namun pada saat yang sama guru sulit keluar dari permasalahan klasik yang melilit mereka, seperti kesejahteraan, penghargaan, dan isu tentang profesionalisme.

Menurut saya, masalah profesionalisme guru adalah isu yang paling serius diantara permasalahan lain yang dihadapi guru kita. Pembicaraan mengenai problematika guru sering sampai pada kesimpulan bahwa sampai hari ini sepertinya guru "belum percaya diri" menyebut profesi mereka sebagai sebuah profesi yang sejajar dengan profesi lainnya, seperti dokter, pengacara, hakim, atau psikolog. Dengan kata lain, guru seperti "tak bisa" menyebut diri mereka sebagai seorang profesional yang sejajar dengan para profesional di bidang yang lain.

Hal ini disebabkan karena mereka sadar bahwa suatu jenis pekerjaan yang disebut profesi idelnya memiliki kedudukan lebih dibanding dengan pekerjaan lain yang tidak dianggap sebagai profesi. Kedudukan lebih itu bisa berupa materiil maupun sprirituil. Disamping itu, untuk menjadi profesional harus memenuhi kriteria dan persyaratan tertentu. Seorang profesional menunjukkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap lebih dibanding pekerja lainnya. Maka untuk menjadi profesional, seseorang harus memenuhi kualifikasi minimun, sertifikasi, serta memiliki etika profesi (Nurkholis, 2004).

Kalau kita bandingkan dengan profesi guru dengan profesi terhormat lainnya, seperti dokter, pengacara, dan akuntan, maka kita akan melihat betapa besarnya perbedaan profesi guru dengan profesi lainnya itu. Lazim diketahui bahwa untuk menjadi seorang dokter, pengacara, dan akuntan, misalnya, membutuhkan proses yang panjang dan waktu yang lama. Mereka harus mengikuti berbagai jenis jenjang pendidikan formal, praktek lapangan, atau magang dalam waktu tertentu di bidangnya masing-masing. Bahkan, di negara-negara maju, seperti Jerman dan Amerika, konon untuk mendapatkan status guru seseorang harus magang di lembaga pendidikan minimal dua tahun. Hal ini dilakukan sebagai salah satu jaminan bahwa yang bersangkutan profesional dalam menjalankan tugasnya.

Bagaimana untuk menjadi seorang guru di negeri ini? Di Indonesia, setelah lulus dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan bekerja di lembaga pendidikan, maka seseorang langsung disebut guru. Bahkan, banyak pula lulusan non-LPTK, namun bekerja di lembaga pendidikan, juga disebut guru. Untuk disebut sebagai guru sangatlah mudah, sehingga profesi ini sering dijadikan pelarian oleh banyak sarjana kita setelah gagal memeperoleh pekerjaan lain yang mereka anggap "lebih baik".

Kemudian, untuk mendapatkan izin kerja, pada ketiga profesi yang disebut di atas, harus memiliki izin praktik dari lembaga terkait atau sertifikat dari lembaga profesi. Izin atau sertifikat itu diperoleh melalui serangkaian tes kompetensi yang terkait dengan profesi maupun sikap dan perilaku. Organisasi profesi memiliki kontrol yang ketat terhadap anggotanya, bahkan berani memberikan sanksi jika terjadi penyalahgunaan izin. Tetapi di negeri ini, izin kerja sebagai guru, berupa akta mengajar, diperoleh secara otomatis begitu seseorang lulus dari LPTK.

Apalagi kalau kita membandingkannya dari sisi kesejahteraan, maka perbedaannya akan semakin kentara. Tiga profesi yang dijadikan model perbandingan di atas memiliki standar gaji dan renomerasi yang jelas. Sebagai seorang profesional, mereka mampu menghargai diri sendiri, mereka juga mampu menjaga etika profesi dengan baik. Namun banyak guru di pelosok negeri ini yang bergaji Rp. 60.000 per bulan. Banyak guru yang gajinya di bawah buruh pabrik. Gaji guru tidak mengikuti standar UMK, karena kebanyakan dibayar berdasarkan jumlah jam mengajar, dan kebanyakan guru tidak memiliki serikat pekerja, sehingga tidak bisa menuntut hak-haknya. Akhirnya, untuk mencukupi kebutuhan hidup harus membanting tulang di luar profesi keguruan, seperti mengojek atau berjualan. Padahal mereka dituntut untuk mencerdaskan anak bangsa, sebuah tuntutan yang amat berat. Jika kualitas pendidikan di negeri ini rendah, pantaskah kita menyalahkan, gurunya tidak profesional?

Harapan Di Balik UU Nomor 14/2005

Tumpukan permasalahan guru memang kadang membuat dada kita sesak, sampai kemudian pemerintah bersama DPR mengesahkan UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen tanggal 30 Desember 2005, harapan barupun kemudian muncul. Banyak pihak berharap bahwa Undang Undang ini bisa menjadi tonggak bersejarah untuk bangkitnya profesi ini menjadi profesi mulia yang betul-betul setara dengan profesi lainnya. Sebuah profesi yang tak hanya dihargai dengan ungkapan "pahlawan tanpa tanda jasa", tapi sebuah profesi yang betul-betul diakui sejajar dengan profesi lainnya.

Undang-Undang Guru dan Dosen lahir melengkapi dan menguatkan semangat perbaikan mutu pendidikan nasional yang sebelumnya juga sudah tertuang dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kita berharap, kedua undang-undang ini mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi lahirnya para guru yang betul-betul profesional dalam makna yang sesungguhnya. Lebih jauh kita berharap, kedua undang-undang ini akan membuka jalan terang bagi segenap anak bangsa ini untuk secara perlahan tapi pasti keluar dari berbagai krisis yang melilit bangsa ini melalui perbaikan mutu pendidikan nasional dengan membentuk guru yang profesional sebagai entry point.

Sebagai implementasi dari undang-undang yang baru ini, pemerintah telah merencanakan akan melakukan program sertifikasi guru dalam waktu dekat. Seperti yang dikatakan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Fasli Jalal bahwa pemerintah sedang menyiapkan peraturan pemerintah (PP) untuk sertifikasi para guru, dan diharapakan dalam enam bulan telah keluar PP dan telah ditunjuk LPTK penyelenggara sertifikasi. Setelah itu, dilangsungkan pendidikan profesi serta uji sertifikasi bagi para guru yang sudah sarjana (Kompas, 27/02/2006)

Sekalipun masih ada perdebatan tentang siapa yang paling berhak menyelenggarakan program sertifikasi dan yang melakukan uji komptensi guru, namun terlepas dari siapa yang meyelenggarakan, program sertifikasi dan uji kompetensi jelas akan berdampak positif bagi proses terbentuknya guru yang profesional di masa datang. Selain karena dengan program sertifikasi dan uji kompetensi akan ada proses terukur bagi seseorang layak disebut sebagai guru, juga karena program ini bisa menjawab permasalahan klasik guru menyangkut kesejahteraan karena pasal 16 ayat (1) dan (2) UU 14/2005 menyebutkan bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik akan memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok dan diberikan oleh pemerintah kepada guru sekolah negeri maupun swasta.

Apalagi kalau pemeritah berkomitmen menjalankan amanat undang undang yang menegaskan bahwa pemerintah harus mengalokasikan 20 persen anggaran negara ke sektor pendidikan, dampaknya akan diyakini begitu luar biasa kepada kualitas dunia pendidikan kita secara umum, dan terbentuknya guru yang profesional secara khusus.

Dengan lahirnya guru yang profesional dalam makna yang sesungguhnya, maka diyakini masyarkat tidak akan lagi melihat "sebelah mata" kepada profesi ini. Efek dominonya adalah akan banyak para siswa pintar kita kembali secara sadar memilih profesi ini sebagai alaternatif karir mereka di masa datang. Jadi, menjadi guru profesional di negeri ini memang bukan tidak mungkin, tapi sepertinya butuh waktu lama dan komitmen yang kuat dari berbagai pihak